Skema ini mencakup setoran modal tunai sebesar Rp17,02 triliun serta konversi utang pemegang saham Rp6,65 triliun.
Langkah besar ini seharusnya menjadi titik balik Garuda sekaligus menandai dimulainya peran strategis Danantara dalam menyehatkan BUMN secara struktural.
Bersamaan dengan keputusan ini justru membuka pertanyaan publik yang lebih luas: apa sebenarnya strategi Danantara untuk memperbaiki performa BUMN secara menyeluruh?
Kritik sebelumnya dari Menteri Keuangan tentang praktik Danantara yang menempatkan dana pada instrumen surat berharga semakin mempertebal kegelisahan tersebut.
Bagi publik, pengingat itu bukan sekadar peringatan teknis, tetapi penanda bahwa peran Danantara tidak boleh menyimpang dari mandat utamanya.
Lembaga ini dibentuk bukan sebagai pengelola portofolio yang bermain aman, melainkan sebagai katalis transformasi BUMN dan stabilisator fiskal jangka panjang negara. Jika Danantara hanya berputar pada instrumen finansial yang minim risiko, publik wajar bertanya: di mana letak nilai tambahnya bagi perekonomian?
Danantara menyandang mandat yang sangat fundamental: mengelola aset negara, mengonsolidasikan kekuatan BUMN, mengoptimalkan dividen untuk investasi strategis, hingga menggantikan mekanisme Penyertaan Modal Negara (PMN) dengan suntikan modal berbasis kelayakan bisnis.
Dengan kata lain, Danantara adalah jantung dari strategi besar pemerintah untuk mengurangi ketergantungan BUMN terhadap APBN. Besarnya mandat itu membuat publik berharap Danantara segera tampil sebagai institusi yang transparan, tegas, dan mampu menunjukkan arah jangka pendek maupun jangka panjangnya.
Di atas semua itu, publik juga berharap Danantara mampu menjadi penyebar optimisme nasional. Dengan mandat dan skala intervensi yang begitu besar, Danantara seharusnya tampil sebagai aktor utama dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi tinggi, penciptaan lapangan kerja, serta pengentasan kemiskinan, yang merupakan tiga agenda utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Setiap kebijakan, setiap investasi, dan setiap restrukturisasi harus memberi sinyal kuat bahwa BUMN sedang bergerak menuju kontribusi maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Optimisme ini bukan sekadar narasi, tetapi fondasi untuk menumbuhkan kepercayaan pasar, mendorong investasi, dan mempercepat sirkulasi ekonomi.
Tantangan terbesar Danantara adalah kemampuan mengidentifikasi dan mengklasifikasikan karakter setiap BUMN dan holding. Tidak semua BUMN dapat diperlakukan sebagai mesin pencetak laba. Ada yang memikul mandat strategis negara yang hasilnya baru terlihat dalam jangka panjang. Ada yang menjalankan layanan publik dengan margin tipis. Ada pula yang beroperasi di pasar global yang sarat risiko.
Karena itu, pendekatan “satu resep untuk semua” tidak mungkin diterapkan. Danantara harus mampu memahami lanskap bisnis, risiko, posisi strategis, dan model pendapatan setiap entitas untuk menentukan intervensi yang paling tepat.
Dalam konteks itu, publik mulai menunggu arah jelas Danantara dalam beberapa sektor utama. Pertamina membutuhkan efisiensi, konsolidasi rantai pasok, dan peningkatan tata kelola. PLN perlu penguatan arsitektur energi yang lebih modern dan lebih kompetitif. BUMN karya harus direstrukturisasi agar tidak terus menambah beban fiskal akibat proyek yang tidak terukur.
Garuda harus dipulihkan dengan perubahan mendasar pada struktur biaya, tata kelola rute, dan model bisnisnya. BUMN pangan perlu jaminan integrasi hulu–hilir untuk menjaga stabilitas harga. Semua tantangan ini berbeda, dan publik ingin melihat langkah Danantara yang konkret untuk masing-masingnya.
Ketiadaan penjelasan yang terstruktur bukan berarti Danantara tidak bekerja. Tetapi dalam tata kelola modern, ketiadaan komunikasi sering terbaca sebagai ketiadaan strategi.
Di era keterbukaan informasi, publik tidak hanya menunggu hasil akhir, publik juga menunggu arah. Dengan mandat sebesar ini, Danantara perlu membuka ruang transparansi yang lebih luas. Masyarakat berhak mengetahui kerangka besar transformasi yang sedang dipersiapkan, termasuk prioritas investasi, jadwal konsolidasi, dan peta jalan penguatan BUMN dalam beberapa tahun ke depan.
Efektivitas Danantara juga sangat ditentukan oleh kualitas kepemimpinan profesional yang ditempatkan pada jajaran direksi dan komisaris BUMN. Di Indonesia, sejarah panjang BUMN menunjukkan bahwa pemilihan pimpinan yang tidak tepat sering menjadi akar dari berbagai inefisiensi.
Karena itu, Danantara harus berani memastikan bahwa setiap posisi strategis hanya diisi kandidat yang benar-benar kompeten dan relevan dengan industri. Tidak boleh ada titipan dari mana pun bila tidak sesuai dengan kebutuhan BUMN. Keberanian menempatkan orang yang tepat pada kursi yang tepat adalah fondasi dari transformasi jangka panjang.
Namun tata kelola internal tidak cukup tanpa ekosistem yang mendukung. Danantara perlu memperkuat koordinasi dengan Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Teknis, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan BKPM. Kebijakan fiskal, regulasi industri, arus barang, teknologi, dan investasi saling berkaitan erat dengan kinerja BUMN.
Transformasi tidak akan efektif bila Danantara, kementerian, dan regulator bergerak dengan arah yang berbeda. Sinkronisasi kebijakan lintas sektor inilah yang akan menentukan apakah transformasi BUMN berjalan cepat atau tersendat.
Selain strategi, ada hal penting lain yang tidak boleh diabaikan: komunikasi korporasi. Sebanyak apapun pembenahan BUMN, tidak akan pernah diketahui publik jika tidak dikomunikasikan dengan baik.
Padahal reputasi adalah aset strategis. Tanpa komunikasi yang jelas, publik tidak akan pernah tahu bahwa perusahaan-perusahaan negara sedang berbenah. Danantara harus memastikan bahwa setiap langkah perbaikan, setiap restrukturisasi, dan setiap pencapaian dikomunikasikan secara transparan, sistematis, dan mudah dipahami masyarakat.
Komunikasi krisis juga harus menjadi prioritas. Ketika sebuah BUMN menghadapi tekanan, baik karena isu hukum, operasional, maupun keuangan, narasi harus segera dikendalikan agar persepsi publik tidak terlanjur buruk. Komunikasi krisis bukan sekadar upaya meredam isu, tetapi mekanisme untuk melindungi reputasi, menjaga stabilitas pasar, dan memberi publik informasi yang akurat. Tanpa sistem komunikasi krisis yang kuat, upaya perbaikan internal dapat runtuh hanya karena salah kelola narasi.
Selain itu, Danantara harus berani mengambil risiko investasi strategis seperti yang terjadi pada proyek Kereta Cepat, Garuda, PLN, Krakatau Steel, BUMN karya, dan lainnya. Keberanian ini menunjukkan bahwa Danantara adalah lembaga solusi persoalan BUMN, bukan sekadar lembaga administrasi aset.
Danantara tidak hanya harus berani, tetapi juga harus siap menjadi entitas baru pengganti peran Kementerian BUMN, entitas yang menjanjikan masa depan gemilang bagi semua BUMN dan holding-nya. Publik perlu diyakinkan bahwa setiap keputusan investasi bukan untuk menghindari risiko, tetapi untuk memulihkan, memperkuat, dan menciptakan nilai tambah bagi negara.
Dengan mandat dan ekspektasi sebesar ini, publik sebenarnya tidak menaruh tuntutan berlebihan. Yang diharapkan bukan keajaiban dalam semalam, melainkan kejelasan arah, transparansi langkah, keberanian mengambil keputusan, dan komunikasi yang konsisten.
Danantara memiliki potensi besar menjadi mesin transformasi BUMN dan penopang fiskal negara dalam jangka panjang. Tetapi potensi itu harus dibuktikan melalui strategi nyata dan kemampuan mengeksekusi proyek-proyek strategis.
Untuk saat ini, publik masih menunggu, menunggu transparansi, efektivitas, keberanian, dan arah nyata yang akan ditunjukkan Danantara dalam membenahi BUMN, memperkuat fondasi ekonomi negara, serta menyebarkan optimisme nasional sesuai agenda besar pemerintahan Prabowo Subianto.
Menanti transparansi, efektivitas, dan keberanian Danantara berarti menanti masa depan BUMN itu sendiri dan tentu saja masa depan ekonomi Indonesia.
Ketua Bidang Kajian Kebijakan Nasional IA-ITB

