Jakarta –
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan rekomendasi Bawaslu dalam pelanggaran administrasi pilkada harus dimaknai sebagai bentuk putusan yang harus dijalankan. Hal tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 104/PUU-XXII/2025. Dengan adanya putusan itu, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan rekomendasi Bawaslu menjadi mengikat dan harus dijalankan KPU.
“Iya, jadi rekomendasi dianggap sebagai putusan ya,” kata Bagja kepada wartawan, Kamis (31/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagja menyinggung ada beberapa kasus rekomendasi Bawaslu yang tidak dijalankan KPU. KPU memang memiliki waktu rekomendasi apakah akan diikuti atau tidak.
“KPU punya waktu untuk me-review itu, dia mengkaji putusan rekomendasi Bawaslu 3 atau 7 hari. Saya lihat lagi 3 atau 7 hari, 7 hari untuk kemudian dia menindaklanjuti putusan Bawaslu tersebut, menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu tersebut. Jadi dia (KPU) punya untuk mengkajinya di undang-undang disebutkan di situ. Jadi kadang-kadang (rekomendasi) tidak dilakukan,” sebutnya.
Bagja menilai, dengan adanya putusan MK ini, kedudukan hukum rekomendasi Bawaslu itu menjadi lebih kuat dan mengikat untuk dijalankan. Namun, dalam UU Pilkada, tidak diatur mengenai sanksi apabila KPU tidak mengikuti rekomendasi Bawaslu.
“Ada beberapa kasus yang kemudian KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi tersebut, tidak mengikuti rekomendasi tersebut karena dia sudah me-review gitu loh,” ucapnya.
Sebelumnya, MK menyatakan Bawaslu dapat memutuskan pelanggaran administrasi pilkada. MK menyatakan hasil pengawasan Bawaslu terhadap pelanggaran administrasi dalam pilkada tidak hanya berupa rekomendasi.
Hal itu disampaikan Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan perkara Nomor 104/PUU-XXIII/2025 di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (30/7). Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian gugatan pemohon.
“Menyatakan kata ‘rekomendasi’ pada Pasal 139 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘putusan’,” kata Suhartoyo.
“Menyatakan frasa ‘memeriksa dan memutus’ dan kata ‘rekomendasi’ pada Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai frasa ‘memeriksa dan memutus’ menjadi ‘menindaklanjuti’ dan kata ‘rekomendasi’ menjadi ‘putusan’,” sambungnya.
(ial/maa)