Bolehkah Anak Terlibat dalam Sidang Perceraian Orangtua? Hati-Hati Dampaknya (Foto: Freepik)

JAKARTA – Bolehkah anak terlibat dalam sidang perceraian orangtua? Perceraian bukan hanya menyisakan luka bagi pasangan suami istri yang berpisah, tetapi juga berdampak besar pada kondisi psikologis anak. Dalam beberapa kasus, anak bahkan turut dihadirkan sebagai saksi dalam proses hukum perceraian orang tuanya. Meski tidak dilarang secara hukum, banyak pihak menilai hal ini kurang bijak dari sisi etika dan kesehatan mental anak.

Salah satu contoh terbaru yang menarik perhatian publik adalah kasus perceraian antara Andre Taulany dan Rien Wartia Trigina, alias Erin. Dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Agama Tigaraksa pada 4 Agustus 2025, pihak Erin melalui kuasa hukumnya membawa dua anak kandung mereka, Dio (18) dan Kenzy (16), sebagai saksi.

Mengutip penjelasan Mohammad Sholahudin selaku juru bicara PA Tigaraksa, “Kami mendengar dari para majelis bahwa itu cuma diajukan untuk saksi,” ungkapnya. Namun, hingga kini majelis hakim masih mempertimbangkan validitas dan urgensi kesaksian tersebut.

Apa Kata Hukum?

Secara hukum, tidak ada larangan eksplisit yang melarang anak menjadi saksi dalam proses perceraian. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 serta Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menganjurkan agar saksi berasal dari pihak-pihak terdekat.

Namun dalam praktiknya, banyak majelis hakim yang menolak anak kandung sebagai saksi, terlebih jika masih di bawah umur. Alasannya bukan semata-mata hukum, tetapi pertimbangan etika serta dampak psikologis yang bisa terjadi pada anak.

Risiko Psikologis Anak

Melibatkan anak dalam proses perceraian, apalagi sebagai saksi, berpotensi menimbulkan tekanan emosional yang tinggi. Anak berada di posisi sulit: harus memilih antara ayah atau ibu, atau bahkan membeberkan hal-hal yang bersifat pribadi dalam forum hukum.

Menurut studi jurnal “Reconciling Mixed Findings on Children’s Adjustment Following High‑Conflict Divorce” yang diterbitkan dalam Journal of Child and Family Studies, ditemukan bahwa sekitar 45,8% anak yang terlibat dalam perceraian penuh konflik menunjukkan gejala stres pasca-trauma (PTSD) dalam kategori klinis.

Penelitian ini menyoroti bahwa anak-anak yang dipaksa memilih atau mendukung salah satu pihak, terutama dalam situasi yang penuh tekanan seperti persidangan, berisiko mengalami gangguan emosi, kesulitan menjalin relasi, serta masalah perilaku jangka panjang.

Dampak psikologis ini bahkan bisa terbawa hingga anak dewasa, memengaruhi cara mereka membangun hubungan dan menyelesaikan konflik dalam kehidupan pribadi mereka kelak.

 



Source link

Share.