Jakarta

    Ketua Yayasan Lohjinawi, Yasmin, menuturkan perjalanannya dalam mendorong pengelolaan sampah di Indonesia. Bermula sebagai seorang agen promosi, tahun 2005 ia diajak langsung oleh Unilever Indonesia untuk terlibat dalam program Berantas Bersih, program yang menggerakkan masyarakat untuk mengelola sampah.

    Lalu pada 2012, Yasmin mendirikan Yayasan Lohjinawi yang lagi-lagi bermitra dengan Unilever Indonesia, memberikan edukasi serta pelatihan kepada masyarakat perihal pengelolaan dan pengolahan sampah.

    “Dulunya ngga ada basic sama sekali untuk mengajari orang, untuk memberikan edukasi, pelatihan. Alhamdulillah, tahun 2005 ada program (Berantas Bersih) dari Unilever,” ungkap Yasmin dalam detikcom Leaders Forum 2025 bertajuk “Bebas Plastik 2040: Mimpi atau Misi?” beberapa waktu lalu.


    SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

    “Kemudian, 2012 kita membentuk Yayasan Lohjinawi Surabaya yang sekarang menjadi Yayasan Lohjinawi Jawa Timur karena area kita sudah di-ekspansi ke banyak kota. Saat itu, kita tidak hanya mengajari Jawa Timur saja, tapi juga Balikpapan, Banjarmasin, dan kota-kota yang ada di Indonesia Timur,” jelasnya.

    Kini, Yayasan Lohjinawi secara konsisten mampu membantu reduksi sampah sebesar 20-ton setiap bulannya. Yasmin pun berharap bahwa ke depannya, yayasannya dapat meningkatkan jumlah sampah yang direduksi.

    Meskipun begitu, Yasmin tetap menegaskan bahwa masyarakat memegang peran yang amat penting dalam membantu penyelesaian masalah sampah di Indonesia.

    “Mulai memilah dari diri kita sendiri, kemudian orang terdekat, keluarga kita, dan masyarakat sekitar. Dengan begitu, saya optimis, semua akan bergerak untuk mewujudkan Indonesia bebas polusi plastik. Setiap dari kita punya peran dan harus sadar akan peran yang kita jalankan tersebut,” tegasnya.

    Senada, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah KLHK, Rasio Ridho Sani, mengatakan keberhasilan pengelolaan sampah, khususnya plastik, tak bisa dibebankan ke satu pihak saja. Ia menekankan perntingnya kolaborasi swasta, pemerintah dan masyarakat.

    “Kita meyakini, ini adalah misi kita bersama untuk mengatasi persoalan plastik ini. Semua harus menjalankan perannya-pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha,” ujarnya.

    Pihaknya pun mendorong agar pendekatan Extended Producer Responsibility (EPR) tak lagi bersifat sukarela, tapi menjadi kewajiban.

    Sementara, Founder Greeneration Indonesia, Waste4Change, dan Ecoxyztem, Bijaksana Junerosano (Sano), menilai bahwa persoalan utama terletak pada belum matangnya infrastruktur pengelolaan sampah serta lemahnya penegakan hukum.

    “Critical point-nya adalah memastikan bagaimana para pemimpin di pemerintah kota dan kabupaten benar-benar menerapkan dan menjalankan perannya karena masyarakat adalah bagian dari yang dipimpin. Penegakan aturan penting, tapi perlu didukung pengawasan dan kepemimpinan yang kuat,” ujarnya.

    Ia menekankan bahwa perubahan perilaku masyarakat dan penegakan hukum harus didorong melalui teknologi digital.

    “Penegakan hukum harus pakai teknologi informasi dan digitalisasi. Membangun peran semua pihak harus melibatkan digitalisasi karena hampir kita semua memegang gadget,” ujarnya.

    Selain itu, ia juga menilai pentingnya peran perusahaan produsen seperti Unilever yang konsisten mendampingi pelaku pengelolaan sampah sejak dini.

    Selain mendorong gerakan-gerakan masyarakat, Unilever juga terus mengembangkan inovasi kemasan ramah lingkungan, membangun sistem yang mendorong perubahan perilaku, mendukung edukasi publik dan keterlibatan komunitas, hingga turut menggencarkan digitalisasi monitoring rantai pengelolaan sampah. Tercatat bahwa di tahun 2024, Unilever Indonesia mengumpulkan dan memproses sampah plastik sebesar 90.000 ton, lebih banyak daripada yang digunakan untuk menjual produknya.

    (prf/ega)


    Hoegeng Awards 2025


    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini



    Source link

    Share.