Jakarta –
Ribuan keluarga transmigran di seluruh Indonesia masih hidup dalam ketidakpastian. Lahan yang telah mereka garap dan tinggali selama puluhan tahun ternyata masih berstatus kawasan hutan, membuat mereka tak bisa mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang seharusnya menjadi hak mereka.
Persoalan pelik ini menjadi agenda utama Komisi V DPR RI saat menggelar Rapat Kerja dengan Kementerian Transmigrasi pada Senin (30/6). Meskipun Kelompok Kerja (Pokja) yang bekerja sejak tahun 2007, sudah berhasil melepaskan sejumlah lahan transmigrasi dari kawasan hutan, masih banyak pekerjaan rumah yang tersisa.
Pemerintah mengakui ada 17.655 bidang tanah transmigrasi di 12 provinsi yang legalitasnya terkatung-katung karena masalah ini. Menteri Transmigrasi Iftitah Sulaiman menegaskan bahwa ini bukan sekadar angka statistik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Di balik angka-angka ini, ada manusia, ada keluarga, dan ada generasi penerus. Mereka bukan penjarah hutan, melainkan warga negara yang dijanjikan kehidupan baru melalui program transmigrasi,” tegasnya dihadapan para anggota dewan seperti dalam keterangan tertulis, Senin (30/6/2025).
Komitmen kemanusiaan ini dibuktikan Kementerian Transmigrasi di kawasan pemukiman kembali (resettlement) transmigrasi di Kabupaten Sukabumi. Setelah 24 tahun menunggu, lebih dari seribu warga transmigran lokal akhirnya bisa tersenyum lega.
Mereka secara resmi menerima Sertipikat Hak Milik (SHM) dalam acara simbolis di Jakarta pada Rabu (18/6) lalu. Penyerahan sertipikat ini dihadiri langsung oleh Menko Infrastruktur Pembangunan dan Kewilayahan (Menko IPK) Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri Transmigrasi Iftitah Sulaiman, Wamen ATR/BPN Ossy Darmawan, dan Bupati Sukabumi Asep Japar.
“Dulu saat program ini dijalankan, banyak kawasan memang belum punya batas yang jelas. Sekarang, masyarakat yang patuh dan bekerja keras justru berada di posisi sulit. Inilah saatnya negara hadir untuk meluruskan sejarah,” kata Iftitah.
Menurut data kementerian, masalah tumpang tindih lahan ini paling banyak terjadi di Pulau Sumatra (5.601 bidang), diikuti Sulawesi (3.756 bidang), dan Kalimantan (3.643 bidang).
Untuk mengatasi kebuntuan ini, Kementerian Transmigrasi bekerja sama erat dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, serta Badan Informasi Geospasial (BIG).
Salah satu terobosannya adalah melalui platform satu peta ILASPP, yang diharapkan bisa mempercepat proses pelepasan status hutan dari kawasan transmigrasi.
“Kami tidak menuntut hutan dilepaskan sembarangan,” jelas Iftitah.
“Tapi, kita juga tidak bisa membiarkan rakyat hidup dalam ketidakpastian. Solusinya harus adil bagi lingkungan dan juga bagi warga.”
Desakan agar pemerintah segera bertindak datang dari berbagai fraksi di DPR. Pimpinan sidang Komisi V, Ridwan Bae, menyimpulkan permintaan dewan dengan lugas.
“Komisi V DPR meminta pemerintah mengeluarkan seluruh kawasan transmigrasi dari status kawasan hutan. Status itu harus dilepaskan,” tegasnya.
Anggota dewan lainnya juga menyuarakan hal serupa. Adian Napitupulu dari Fraksi PDIP menyebut para transmigran sebagai pahlawan pembangunan yang haknya harus dijamin oleh negara.
Sementara itu, Ishak Mekki dari Fraksi Demokrat menambahkan bahwa SHM akan menjadi modal bagi para transmigran untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Ke depan, masalah yang harus diselesaikan bukan hanya soal kawasan hutan, tapi juga tumpang tindih dengan area tambang dan lainnya, agar status tanah warga menjadi jelas,” ujar Ishak.
Kementerian Transmigrasi memastikan bahwa pelepasan lahan transmigrasi dari kawasan hutan ini bukanlah bentuk legalisasi perambahan hutan. Pelepasan status hanya akan berlaku bagi lahan yang secara nyata sudah menjadi permukiman dan lahan usaha warga, bukan di kawasan konservasi aktif. Seluruh prosesnya pun akan tetap melewati verifikasi ketat dari Kementerian Kehutanan.
“Ini bukan soal penggusuran hutan. Ini soal pengakuan hak atas tanah yang sudah ditempati puluhan tahun oleh warga negara yang patuh. Ini adalah perjuangan untuk keadilan,” kata Iftitah.
Ke depan, pemerintah juga menyiapkan pendekatan baru untuk program transmigrasi agar lebih modern dan tepat sasaran. Program seperti Transmigrasi Tematik, Transmigrasi Digital, hingga beasiswa S1-S3 bagi keluarga transmigran terus dikembangkan.
“Kita tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu, Transmigrasi ke depan harus berbasis data, terintegrasi, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat tanpa merusak lingkungan” tutup Menteri Iftitah.
Tonton juga “Kementerian Transmigrasi Bekali Pegawainya agar Terhindar Korupsi” di sini:
(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini