Anggota Komisi II DPR sekaligus Waketum Golkar Ahmad Doli Kurnia mengajak seluruh wakil rakyat di parlemen lebih serius dalam menyerap dan mengakomodasi aspirasi masyarakat terhadap perubahan sistem ketatanegaraan. Menurutnya, DPR memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk merespons kegelisahan publik atas stagnasi demokrasi dan ketimpangan struktural.
“DPR jangan hanya menjadi tempat formal untuk menyetujui kebijakan, tetapi harus menjadi kanal utama yang menggerakkan aspirasi rakyat, terutama saat mereka menuntut pembaruan konstitusi,” kata Doli dalam keterangannya, Sabtu (2/8/2025).
Pernyataan ini disampaikan Doli karena bertepatan dengan momen penting dalam kalender ketatanegaraan Indonesia, yakni Hari Konstitusi yang diperingati setiap 18 Agustus. Momentum ini disebutnya sebagai saat yang tepat untuk membuka kembali ruang dialog nasional mengenai arah reformasi sistemik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dukungan terhadap evaluasi menyeluruh terhadap UUD 1945 juga datang dari Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia. Menurut Doli, Bahlil secara tegas mendorong wacana reformasi sistem ketatanegaraan sebagai bagian dari komitmen Partai Golkar dalam menjaga demokrasi dan memperkuat sistem pemerintahan.
“Ketua Umum Golkar menyambut baik langkah ini. Beliau mendukung langkah-langkah strategis yang bertujuan memperkuat institusi demokrasi dan menjawab tantangan zaman,” ujar Doli.
Menurut pimpinan Badan Legislasi DPR itu, sudah saatnya bangsa ini kembali duduk bersama untuk membahas secara fundamental berbagai persoalan ketatanegaraan, termasuk penguatan lembaga, desain pemilu, hingga isu otonomi daerah.
Doli menyebut, amandemen tidak harus ditakuti selama tujuannya untuk memperbaiki sistem. Ia menyarankan agar pembicaraan soal amandemen tidak hanya sebatas wacana, tapi masuk ke ranah institusional agar bisa ditindaklanjuti.
“Kalau sistem bisa kita perbaiki, maka kemajuan akan lebih cepat tercapai,” pungkas Doli.
Sementara itu Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi (FOKO) Purnawirawan TNI Bambang Darmono mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk segera melakukan evaluasi terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pascareformasi. Evaluasi dianggap penting karena konstitusi saat ini dinilai belum mampu membawa Indonesia pada kemajuan yang signifikan. Ia menilai bahwa pascareformasi, Indonesia justru tertinggal dari negara-negara tetangga yang merdeka jauh setelah Indonesia.
“MPR kita dorong untuk melakukan evaluasi konstitusi setelah 27 tahun reformasi ini. Sebab UUD 1945 pascareformasi tidak membawa kemajuan bangsa hingga saat ini,” ujar Bambang.
Bambang bahkan mengutip pernyataan dari buku Presiden Terpilih Prabowo Subianto, yang membandingkan kemajuan Indonesia dengan negara seperti Singapura dan Tiongkok.
“Singapura dan China telah melakukan lompatan besar berkali-kali, sementara kita yang lebih dulu merdeka dan kini masuk usia 80 tahun, justru jauh tertinggal dari mereka,” ujarnya.
Dosen FISIP UI Reni Suwarso menambahkan, isu evaluasi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali mencuat di tengah sorotan terhadap dinamika sosial dan politik nasional. Salah satu perhatian utama adalah persoalan rendahnya tingkat saling percaya di masyarakat Indonesia atau yang disebut sebagai low trust society.
Menurut Reni, kondisi ini menjadi tantangan besar bagi masa depan bangsa dan menghambat upaya untuk memperkuat persatuan nasional. Hal ini bentuk keprihatinan terhadap kondisi sosial Indonesia saat ini, yang dinilai belum mencerminkan cita-cita bangsa yang termaktub dalam UUD 1945.
“Kita ini masyarakat yang low trust society, satu sama yang lainnya itu tidak percaya. Ini kan susah, bagaimana kita akan menjadi bangsa yang bersatu kalau di antara kita ada ketidakpercayaan,” ujarnya.
“Ini menjadi PR bagi MPR, apakah UUD 1945 pascareformasi itu cocok dengan keadaan sekarang. Tolong dengar aspirasi kami ini dan evaluasi,” lanjutnya.
Halaman 2 dari 3
(eva/idh)