“Langsung ke San Diego untuk dimakamkan,” kata kuasa hukum Antasari, Boyamin Saiman saat dikonfirmasi.
Antasari dimakamkan usai disalatkan di Masjid Asy-Syarif, Serpong, Tangerang Selatan, pada pukul 15.50 WIB.
Sanak keluarga dan kerabat pun mengiringi kepergian jenazah Antasari.
Pada salat jenazah juga tampak mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie hadir.
Kepergian Antasari meninggalkan kenangan mendalam, terutama dalam sejarah penegakan hukum di Tanah Air.
Antasari Azhar lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, pada 18 Maret 1953. Ia menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri).
Sebelum namanya melambung tinggi sebagai pimpinan KPK, Antasari adalah seorang jaksa yang meniti jabatan awal sebagai BPHN Departemen Kehakiman (1981-1985), Jaksa Fungsional di Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang (1989-1992), Kasi Penyidikan Korupsi Kejaksaan Tinggi Lampung (1992-1994), Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (1994-1996) hingga Kepala Kejaksaan Negeri Baturaja (1997-1999).
Ia juga pernah menjabat di berbagai posisi strategis di Kejaksaan Agung, antara lain Kasubdit Upaya Hukum Pidana Khusus Kejaksaan Agung (1999) dan Kasubdit Penyidikan Pidana khusus Kejaksaan Agung (1999-2000).
Puncak pengabdiannya terjadi saat ia dipercaya menjabat sebagai Ketua KPK periode 2007-2009 di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Di bawah komandonya, lembaga antirasuah ini menjelma menjadi momok bagi para pejabat korup.
Sejumlah kasus besar berhasil diungkap, termasuk kasus suap alih fungsi hutan di Tanjung Api-api yang melibatkan anggota DPR, kasus cek pelawat terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, dan kasus korupsi proyek pembangunan di Departemen Agama.
Selama berkarier, Antasari banyak meninggalkan jejak di bidang hukum dan pemberantasan korupsi.
Namun demikian, masa kepemimpinan Antasari Azhar di KPK harus berakhir secara dramatis dan kontroversial pada tahun 2009.
Ia terseret dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, yang membuatnya divonis 18 tahun penjara.
Meski divonis bersalah, ia tetap menegaskan tidak terlibat dalam kasus tersebut. Setelah mendekam di balik jeruji besi selama dua pertiga masa hukuman, tim kuasa hukumnya mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo pada 2015.

