Situasi ini harus mendapatkan respon dengan cepat, namun tetap berdasar pada prinsip-prinsip perlindungan terhadap kepentingan yang terbaik bagi anak dan keberhati-hatian yang tinggi.
Bullying, merupakan bentuk perilaku kekerasan, yang dapat berbentuk kekerasan fisik, verbal, seksual, ekonomi dan gabungan di antaranya.
Perilaku ini memiliki pola dan bukan merupakan perilaku tunggal, namun berpotensi diulangi dari waktu ke waktu.
Bullying merupakan perilaku agresif diantara anak usia sekolah yang bersumber pada adanya power yang tidak seimbang (baik yang terlihat secara nyata ataupun yang dirasakan) antara pelaku dan korban. Pelaku merasa punya power, korban merasa tidak punya power.
Bullying bukan sekedar konflik antar individu, atau antar dua orang, melainkan perilaku kelompok, pada kasus ini korban di-bully karena kondisi fisiknya .
Seringkali korban bullying, mengalami menjadi korban berulang-ulang, dari pelaku yang sama maupun yang berbeda.
Pada titik korban tidak kuasa menerima perlakuan yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya, maka bisa muncul perilaku perlawanan dan pembalasan, seorang korban kemudian dapat menjadi pelaku kekerasan (victim-offender overlap).
Pembalasan ini tidak hanya ditujukan pada pelaku bullying tetapi juga pada orang-orang yang dianggap membiarkan terjadinya bullying dan tidak menolong korban, serta objek dan fasilitas di sekolah.
Korban yang kemudian menjadi pelaku memaknai penonton, orang yang mengetahui bahwa ada/terjadi/akan terjadi bullying, tetapi tidak melakukan apa-apa untuk mencegahnya adalah kaki tangan dari pelaku bullying (co-offend) orang yang turut berpartisipasi dalam terjadinya kekerasan, dan dianggap mendukung pelaku.
Oleh karenanya perilaku bullying, khususnya di antara siswa tidak bisa dianggap sebagai masalah yang akan selesai dengan sendirinya.
Siklus korban yang menjadi pelaku (victim-offender overlap) memperlihatkan bahwa masalah yang serius dimana pelaku dan korban harus mendapatkan intervensi menggunakan pendekatan multidisiplin.
Anak pelaku bullying harus dilihat sebagai anak korban dari tidak berfungsinya sistem yang harusnya dapat memberikan perlindungan, karenannya bagi anak pelaku harus dipertimbangan asas proporsionalitas antara pelanggaran, kemampuan bertanggung jawab, dan makna perbuatan.
Dr. Ni Made Martini Puteri
Dosen Tetap pada Departemen Kriminologi FISIP-UI

