Di tengah derasnya kritik dan berita negatif, data berbicara lain. Hingga 7 November 2025, Program MBG telah menjangkau lebih dari 41 juta penerima manfaat, mulai dari anak sekolah, balita, hingga ibu hamil dan menyusui, melalui 14.483 dapur umum atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di 38 provinsi dan 509 kabupaten/kota.
Program ini juga menyerap lebih dari 525 ribu tenaga kerja, dengan 411 daerah mencatat nol insiden keamanan pangan. Capaian ini bukan sekadar angka; ia menunjukkan bagaimana sistem yang terencana, disiplin, dan terbuka mampu menumbuhkan kepercayaan secara organik.
Di balik dapur MBG, hadir sosok Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI), manajer lapangan yang ditempatkan di setiap dapur oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Mereka tidak hanya mengawasi operasional, tapi juga menjadi jembatan antara kebijakan pusat dan pelaksanaan lokal. Dengan pelatihan ketat mulai dari produksi pangan, distribusi rantai pasok, hingga pengolahan makanan, SPPI memastikan setiap piring yang disajikan bukan hanya bergizi, tetapi juga aman dan bermartabat.
BGN, yang menginstitusionalisasi MBG sejak Januari 2025, menerapkan standar yang nyaris setara dengan industri pangan yaitu sertifikasi halal, sertifikat laik higiene dan sanitasi, audit rutin, serta pengujian bahan dan air secara berkala. Semua prosedur ini menegaskan bahwa kebijakan sosial pun wajib dikelola dengan disiplin mutu.
Kisah sukses dari Kota Solo menjadi contoh bagaimana kepercayaan dibangun dari bawah.
Di sana, pengawasan dilakukan secara partisipatif dan terbuka. Orang tua boleh datang ke dapur, melihat langsung proses memasak, hingga berbincang dengan juru masak. Menu disusun oleh ahli gizi dan menggunakan bahan pangan lokal, memastikan manfaat ekonomi mengalir ke pasar tradisional dan petani sekitar. Bahkan apresiasi publik untuk tim dapur menjadi pemacu motivasi yang menjaga kualitas tanpa paksaan birokratis.
MBG membuktikan bahwa kebijakan sosial tidak bisa hanya diukur dari volume bantuan, melainkan dari dampak nyata, yakni peningkatan kesehatan, presensi belajar, dan ekonomi lokal. Transparansi data, pelibatan masyarakat, dan pengawasan lintas lembaga menjadi kunci untuk mempertahankan kredibilitas. Komunikasi publik pun harus berbasis bukti, bukan sekadar narasi optimisme.
Secara global, arah Indonesia sejalan dengan praktik terbaik dunia. Jepang menjaga keamanan pangan sekolah dengan pencatatan suhu dan tenaga ahli gizi di setiap sekolah. Brasil mewajibkan 30 persen bahan pangan berasal dari petani keluarga, sementara Finlandia menjadikan makan sekolah bagian dari kurikulum pendidikan gizi. Indonesia kini menapaki jalur yang sama, menggabungkan keamanan pangan, pendidikan gizi, dan partisipasi sosial dalam satu kerangka nasional.
Namun, kepercayaan publik bukan hasil sekali jadi. Ia tumbuh dari sistem yang mau belajar dari kesalahan. Jika terjadi insiden, investigasi harus dilakukan secara independen dan transparan, bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk memperkuat sistem agar lebih tangguh. Pendekatan policy learning system seperti ini membuat kebijakan bergerak adaptif, bukan reaktif.
Capaian 411 daerah tanpa insiden keamanan pangan adalah sinyal bahwa fondasi sudah kuat. Di tengah lanskap sosial yang sering skeptis, MBG menjadi bukti bahwa kepercayaan publik dapat tumbuh bila negara berbicara dengan data dan bekerja dengan disiplin.
Ketika anak-anak makan dengan aman, guru fokus mengajar, orang tua merasa tenang, dan petani lokal memperoleh manfaat ekonomi sehingga negara bukan sekadar memberi makan, tetapi memberi rasa percaya.
Program Makan Bergizi Gratis akhirnya menjadi lebih dari sekadar kebijakan gizi. Ia adalah cermin kematangan tata kelola publik Indonesia yang terukur, adaptif, dan dapat dipercaya.
Penulis adalah Peneliti Senior pada IFSR

