Pelarangan impor pakaian bekas memang langkah yang benar demi melindungi industri tekstil nasional, namun kebijakan itu akan kehilangan makna bila rakyat kecil justru menjadi korban. Pemerintah harus hadir bukan hanya sebagai penegak larangan, tetapi juga sebagai pemberi jalan keluar yang berkeadilan. Para pedagang kecil dan kuli panggul ini tidak bersalah. Mereka adalah korban sistem yang rusak, bukan pelakunya.
Maraknya praktik thrifting barang impor ilegal adalah akibat dari gagalnya negara menciptakan sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil. Ketika barang ilegal lebih mudah masuk daripada produk dalam negeri dijual, maka yang menderita adalah produsen lokal dan pelaku usaha mikro.
Larangan thrifting barang ilegal jangan berhenti pada razia dan pemusnahan barang. Negara mestinya mengurus nasib orang-orang di belakang tumpukan baju itu. Para pedagang kecil, buruh bongkar muat, dan kuli panggul di pasar yang kehilangan mata pencaharian.
Solusi bagi mereka tidak bisa sekadar bantuan tunai atau program karitatif ataupun pelatihan yang seringkali hanya bersifat seremonial. Solusinya harus berupa sistem ekonomi baru yang mampu menampung tenaga kerja informal ke dalam kegiatan produktif dan legal dan disinilah lembaga penting milik rakyat seperti koperasi seharusnya dihadirkan.
Koperasi dapat menjadi wadah transisi ekonomi rakyat untuk mengalihkan tenaga dan kreativitas pedagang thrifting ilegal ke sektor-sektor yang sah dan produktif. Selain memperkuat koperasi, industri garmen lokal dan industri kreatif yang menyertainya.
Pengalaman Jepang dan Amerika Serikat yang menggunakan koperasi untuk memperkuat pelaku usaha mikro dan kecil. Di Jepang, ada koperasi Usaha Mikro dan Kecil. Fungsinya adalah mengkonsolidasikan UMK baik di bidang industri kecil dan kreatif serta perdagangan.
Untuk usaha di bidang industri kecil dan kreatif, mereka fungsikan koperasi untuk pembelian bersama bahan baku agar lebih efisien, kontrol kualitas, dan pemasaran baik lokal maupun internasional serta kegiatan pendukung lainya seperti pendidikan dan pelatihan dan bahkan hingga riset dan pemgembangan. Untuk usaha perdagangan, koperasi berfungsi sebagai grosir untuk pembelian bersama (joint buying), distributor dan grosir selain fungsi pendukungan yang sama seperti di sektor industri.
Hal yang menarik lagi untuk khusus di Jepang misalnya, muncul juga koperasi pekerja (worker cooperatives) yang berfungsi mengkonsolidasikan pekerja pekerja di sektor UMK seperti pekerja industri terkait dari kuli panggul, pekerja eksebisi, hingga designer dan lain sebagainya.
Peranan pemerintah bukan hanya membentuk regulasi dan kebijakan yang mendukung. Pemerintah harus memberikan banyak insentif bagi UMK yang bergabung di koperasi seperti insentif keringanan dan pembebasan pajak, kebijakan trade off seperti subsidi logistik agar harganya terjangkau bagi konsumen, serta paket kebijakan pendukung lainnya seperti pendukungan pembiayaan bagi koperasi untuk selenggarakan pendidikan dan pelatihan dan lain sebagainya.
Selain itu, pemerintah juga sungguh sungguh memberikan affirmative action policy untuk UMK dapat bersaing di industri. Misalnya seperti dimasukkannya pengecualian bagi koperasi untuk bertindak monopoli dalam banyak hal yang bertujuan melindungi keberlangsungan bisnis mereka.
Kita bisa adopsi model serupa untuk konteks Indonesia. Misalnya, pemerintah memfasilitasi pembentukan Koperasi Tekstil dan Garmen Rakyat. Koperasi Pemasaran Tekstil yang mengorganisasi pedagang kecil. Kemudian Koperasi Pekerja penjahit rumahan, dan kuli panggul hingga pekerja kreatif lainya hingga seperti designer dan pekerja eksebisi , serta pelaku thrifting produk lokal ke dalam ekosistem produksi dan distribusi legal.
Lebih penting dari itu semua. Koperasi yang dibentuk harus benar benar pelaku dan dikembangkan secara demokratis dan menjalankan prinsip koperasi. Bukan koperasi abal abal.
Pemerintah melalui Lembaga Penyaluran Dana Bergulir (LPDB) yang merupakan lembaga taktis di bawah Kementerian Koperasi sebetulnya dapat diarahkan langsung untuk memberikan dukungan pembiayaan bagi mereka. Sehingga perdagangan thrifting industri lokal yang legal, Higienis, menyerap tenaga kerja, dan memperkuat produksi lokal, dapat berkembang dan memberi nilai tambah ekonomi nasional.
Namun demikian, penegakan hukum terhadap penyelundupan pakaian bekas impor harus tegas dan menyeluruh. Ia menilai selama ini aparat hanya berani menindak pelaku kecil di lapangan, sementara pelaku besar di balik jaringan impor ilegal justru tidak tersentuh.
Selama ini yang disasar oleh aparat hanya kuli panggul dan pedagang kecil, tapi para bandar besar dan oknum Bea Cukai yang bermain di pelabuhan tidak pernah tersentuh. Padahal barang itu ada dalam bentuk kontainer dan beredar di pasaran secara luas jadi mustahil tidak dapat diusut oleh aparat siapa importirnya.
Pemerintah dalam hal ini juga harus segera melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan impor, serta menetapkan indikator kinerja (KPI) yang terukur bagi Kementerian Perdagangan dan Perindustrian. Industri tekstil dalam negeri yang terus merosot dan pasar dibanjiri barang ilegal itu menunjukkan jika kementeriannya gagal. Evaluasi harus dilakukan secara terbuka. Pemerintah harus membangun kembali sistem industri rakyat yang berdaulat ?” dari bahan baku, produksi, hingga distribusi.
Negara harus wajibkan sistem penandaan produk nasional atau local content mark agar setiap produk menunjukkan berapa persen kandungan lokalnya. Dengan begitu, publik tahu mana produk yang benar-benar mendukung ekonomi nasional.
Lebih dari semua itu, kedaulatan ekonomi bukan slogan, melainkan tindakan nyata. Presiden harusnya berani menegakkan hukum, mencopot pejabat yang gagal, dan membangun sistem ekonomi yang berpihak pada produksi rakyat.
Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)

