Hal ini dikupas dalam gelaran International Conference on Global Issues (ICGI) 2025 bertema Future of World: Making Peace Against All Odds yang digelar di Gedung Auditorium Universitas Nasional (Unas), Jakarta, Rabu, 12 November 2025.
Konferensi ini turut dihadiri para duta besar dan perwakilan dari berbagai negara, di antaranya Dubes Malaysia untuk Indonesia, Dato’ Syed Mohamad Hasrin Tengku Hussin; Dubes Turki untuk Indonesia, Prof Talip Küçükçan; Dubes Indonesia untuk Ukraina periode 2017-2021 sekaligus Guru Besar Unas, Prof Yuddy Chrisnandi; Kepala Staf TNI AU periode 2002 -2005 dan founder Pusat Studi Air Power Indonesia, Chappy Hakim dan beberapa narasumber lain.
“Saat ini banyak tantangan dan ketegangan politik yang muncul dan dikhawatirkan berpotensi konflik besar di masa depan. Melalui forum ini, kita berupaya membangun kembali semangat perdamaian dengan melibatkan para pemimpin, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat global,” kata Ketua Pelaksana ICGI 2025, Robi Nurhadi.
Lebih lanjut ia menegaskan, perdamaian bukan hanya tanggung jawab para pemimpin politik, melainkan tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat.
“Melalui ICGI, UNAS berkomitmen menjadi jembatan bagi dialog lintas negara dan budaya untuk menciptakan dunia yang lebih damai,” tambahnya.
Dalam paparannya, Prof Yuddy Chrisnandi menegaskan pentingnya kolaborasi global berlandaskan etika dan realisme politik dalam membangun perdamaian dunia.
Dalam pidatonya yang bertajuk How Can The World Move Beyond Cycles Of Conflict And Build A Sustainable Future Where Peace Prevails, Prof Yuddy mengulas dinamika konflik internasional yang masih terus terjadi di berbagai belahan dunia, seperti di Ukraina, Sudan, Suriah, dan Myanmar.
Ia menyebut bahwa tantangan utama hubungan internasional saat ini terletak pada dilema antara idealisme global dan kepentingan nasional.
“Dunia modern membutuhkan kolaborasi politik yang etis tanpa kehilangan identitas dan kedaulatan nasional,” ujar Prof Yuddy.
Sementara itu, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menekankan pentingnya transformasi peran militer dari sekadar alat pertahanan menjadi instrumen diplomasi dan perdamaian global. Ia menyoroti bagaimana kekuatan udara kini menjadi elemen paling strategis dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas nasional.
“Kemenangan tertinggi bukanlah mengalahkan musuh, melainkan mencegah konflik itu sendiri,” ujar Chappy.
Chappy menegaskan kepemimpinan militer modern harus memiliki dimensi moral kuat, yaitu mengutamakan kebijaksanaan, tanggung jawab, dan empati dalam setiap keputusan strategis. Menurutnya, pergeseran paradigma dari defense ke diplomacy bukanlah tanda kelemahan, tetapi ekspresi tertinggi dari kekuatan dan kematangan bangsa.
Chappy juga menyerukan perlunya pendidikan militer yang lebih holistik, tidak hanya mengajarkan taktik dan strategi, tetapi juga etika, sejarah, dan psikologi agar perwira masa depan mampu menjadi ‘arsitek perdamaian’, bukan sekadar prajurit.

