Fokus utama keterlibatan Polri, menurut BHM, adalah mengantisipasi kegagalan eksekusi yang bisa memicu krisis kesehatan. Ia mencontohkan tragedi keracunan makanan di India, yang menjadi inspirasi program ini, di mana 22 anak meninggal akibat makanan tercemar.
“Mimpi buruk saya adalah kalau program yang baik ini, gara-gara dalam eksekusi ada masalah, malah berbalik menjadi bumerang,” ujar BHM, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu 13 November 2025.
Ia kemudian menyoroti kerentanan fisiologis masyarakat Indonesia, seperti mayoritas anak yang alergi susu atau kacang, yang bisa berakibat fatal jika tidak dikelola dengan benar. Oleh karena itu, intelijen Polri perlu masuk di masa transisi ini untuk memastikan masalah keamanan tidak muncul.
Namun begitu, BHM menyinggung keunggulan Polri dalam mengelola SPPG yang menurutnya, terletak pada kemampuan menyusun Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat.
“Polri termasuk Indonesia yang jagoan dalam soal standar operasional, apalagi SPPG POLRI itu kemarin mendapat apresiasi Presiden Prabowo yang pengelolaannya paling baik,” katanya.
Ia mengusulkan beberapa protokol penting dalam hal pelaksanaan program MBG ini di antaranya; sekolah harus mencatat siswa yang memiliki alergi makanan tertentu. Sebelum pemberian makanan, harus dikonfirmasi dulu potensi alergi. Guru-guru harus dilatih mengenali gejala dan respons cepat jika ada masalah kesehatan. Prosedur cuci tangan dan penanganan darurat harus diajarkan dengan jelas.
“Jika perlu tambahan suplemen makanan untuk anak-anak seperti vitamin yang fungsinya untuk menekan angka stunting,” ujar Bambang.
Data terbaru menunjukkan program ini telah menjangkau 29,6 juta penerima manfaat, dengan 9.406 dapur SPPG beroperasi di 514 kabupaten/kota. Yang lebih mengesankan, model SPPG yang dikelola POLRI berhasil mencatat tingkat keamanan pangan 99,1 persen dengan waktu distribusi rata-rata hanya 2,3 jam.
BHM kemudian membandingkan keterlibatan Polri dengan konsep “community policing” (kepolisian warga) yang ia pelajari di Jepang. Disana, polisi tidak hanya menjaga keamanan tetapi juga terlibat dalam kehidupan masyarakat, termasuk membantu anak-anak mengerjakan PR.
Menurutnya di Jepang, keamanan itu bukan hanya tugas Polisi, tapi juga peran serta aktif masyarakat membantu menciptakan keamanan untuk seluruh masyarakat.
“Jadi sama halnya dengan Program MBG yang ditujukan untuk keperluan masyarakat ini. Masyarakat harus bisa berkontribusi untuk mewujudkan program MBG yang aman dan bermanfaat,” katanya.
BHM menekankan pentingnya pengelolaan narasi publik untuk program MBG yang menyentuh 80 juta anak dan lebih dari 100 juta orang tua.
“Dari sisi narasi, kan bahaya 100 juta orang ini kalau tidak dimanage soal isu MBG yang berkembang, tugas Polisi itu menjadi katup pengaman agar tidak meledak akibat dari isu negatif yang muncul, pertama SPPG POLRI ini menjadi contoh bagi SPPG lainnya, kemudian menjadi pembimbing setelahnya posisi POLRI bisa menjadi pengawas,” katanya.
Dalam strategi komunikasi, BHM menekankan pentingnya kejujuran dan edukasi: mengakui insiden jika terjadi, namun fokus pada solusi dan pemulihan anak.
Pada intinya, MBG adalah investasi jangka panjang.BHM mengutip data PBB bahwa investasi 1 Dolar AS dalam program gizi dapat menghasilkan return* 9 Dolar AS bagi generasi penerima manfaat di masa depan. Peran Polri memastikan investasi ini tidak sia-sia karena masalah eksekusi atau keamanan.
BHM berharap, keberhasilan Polri mengawal program ini dapat menjadi model bagi seluruh pelaksana MBG, memastikan program ini aman dan benar-benar mengubah masa depan generasi Indonesia.

