Close Menu
IDCORNER.CO.ID

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

    What's Hot

    Javier Tebas Lontarkan Tuduhan Serius ke Florentino Perez

    November 24, 2025

    Kunjungan Empat Hari di Indonesia, Ratu Belanda Bakal Temui Prabowo

    November 24, 2025

    Di Hadapan DPR, Freeport Targetkan Produksi Emas Tembus 43 Ton Mulai 2028 : Okezone Economy

    November 24, 2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    IDCORNER.CO.IDIDCORNER.CO.ID
    • Homepage
    • Berita Nasional
    • Berita Teknologi
    • Berita Hoaks
    • Berita Dunia
    • Berita Olahraga
    • Program Presiden
    • Berita Pramuka
    IDCORNER.CO.ID
    Home»Berita Nasional»Putusan MK Tak Cukup, Prabowo Perlu Pegang Komando Reforma Agraria

    Putusan MK Tak Cukup, Prabowo Perlu Pegang Komando Reforma Agraria

    PewartaIDBy PewartaIDNovember 14, 2025No Comments7 Mins Read
    Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email




    Dasar pemberian HGU di IKN itu adalah Undang Undang Ibu Kota Negara (UU 3/2022 yang diubah menjadi UU 21/2023) yang tidak hanya mengatur pemberian Hak Atas Tanah selama total 190 tahun untuk HGU, tetapi juga 180 tahun untuk Hak Guna Bangunan dan total 140 untuk Hak Pakai.


    Namun, putusan MK itu tentu saja masih jauh dari cukup untuk mewujudkan Konstitusi dan UU PA tentang ideologi keadilan akses atas lahan. HGU selama 95 tahun juga merupakan klausul yang ditetapkan dalam UU Cipta Kerja (UU 11/2020 yang diubah menjadi UU 6/2023), di mana regulasi tersebut memperpanjang masa pengelolaan HGU dari 25 tahun dalam UUPA menjadi 35 tahun, dan setelahnya dapat diperpanjang menjadi 25 tahun dan diperbarui paling lama 35 tahun, totalnya 95 tahun.

    Tentu saja konsesi pengelolaan tanah berupa HGU dalam UU Cipta Kerja dan UU IKN bisa berlangsung selama hampir 1 abad, karena otak penyusun dua UU ini sama saja, yakni Presiden Joko Widodo. Dua UU hasil pikiran Jokowi ini sama saja, dinyatakan inkonstitusional di MK.



    UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional karena tidak memenuhi kaidah pembentukan UU yang demokratis, sementara UU IKN dinyatakan inkonstitusional karena peraturan HGU 190 tahun atau hampir dua abad bertentangan dengan UUD 1945.

    Dengan demikian, proses gugatan masyarakat warga (civil society) melalui mekanisme Mahkamah Konstitusi sangatlah tidak cukup. Presiden Prabowo yang bercita-cita menegakkan Pancasila dan Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945 serta UU Pokok Agraria yang berideologikan sosialisme kerakyatan itu, perlu memegang komando penuh atas upaya rezimnya mewujudkan keadilan pengelolaan Hak Atas Tanah.

    Singkatnya, Prabowo perlu memegang komando penuh atas Reforma Agraria Sejati, sebagaimana saya sampaikan dalam siniar berjudul Reforma Agraria Perlu Dipimpin Langsung Presiden Prabowo.

    Tentang Keadilan Pengelolaan Hak Atas Tanah (HAT)

    Dalam amar putusan MK yang dibacakan pada hari Kamis (13/11/2025) itu, Stepanus Febyan Babaro yang merupakan Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat sebagai pemohon I menyebutkan bahwa pemberlakuan HGU total 190 tahun tersebut berpotensi menyebabkan konflik berkepanjangan di masa depan dan akan sering terjadi penyerobotan tanah yang dimiliki masyarakat adat, sehingga akan menyebabkan hilangnya hak ulayat dan hilangnya tanah masyarakat adat.

    Hak ulayat, adalah HAT yang unik dalam sistem ekonomi masyarakat kita yang mengutamakan kolektivisme alih-alih individualisme. Kita tentu sudah mafhum, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan di atas ratusan kerajaan dan kolektivitas adat.

    Hal yang unik dari sistem hak ulayat ini adalah, bahwa kerajaan-kerajaan tersebut tidaklah mengenal prinsip domein verklaring atau ‘Tanah Milik Raja’ dalam UU Agraria 1870 yang dihapus dengan berlakunya UUPA.

    Kerajaan, atau lebih tepatnya keratuan (keraton) dan dalam skala kecil disebut kedatuan (kedaton), pada dasarnya hanyalah pelindung tanah masyarakat. Keraton dan Kedaton itu diberi mandat oleh masyarakat yang diwakili para rama (wakil rakyat) dan resi (pemuka agama) untuk memegang kekuasaan yang mengatur agar sumber-sumber daya lahan yang bersifat kolektif seperti tanah, air dan kekayaan alam di dalamnya dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara bersama-sama. 

    Maka Tan Malaka, sang penggagas Indonesia sebagai negara bangsa berbentuk Republik itu, sudah mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tak perlu diajarkan sosialisme, karena sistem adatnya sendiri pengelolaan HAT ulayat sendiri sudah berwatak sosialistik.

    Maka prinsip dasar pengelolaan HAT khas masyarakat adat itulah yang menjadi klausul dalam UUD 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai, dimandatkan kepada negara untuk dilindungi, agar dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk memakmurkan rakyat.

    Hak Ulayat Berkali-kali Diabaikan Rezim Penguasa

    UUPA sendiri adalah satu langkah lebih maju, karena mengakui hak ulayat milik masyarakat adat. Sayangnya, pengelolaan hak ulayat tersebut dalam pelaksanaannya cenderung diabaikan oleh rezim-rezim yang menggantikan Soekarno, Presiden yang mengesahkan UU Pokok Agraria.

    Rezim Orde Baru misalnya, mengabaikan hak ulayat melalui pengesahan UU Pokok Pertambahan dan UU Pokok Kehutanan tahun 1967.

    Bahasa Orba dalam UU Pokok Kehutanan, memang bahasa khas langgam kuasa Mataraman yang mengutamakan majas eufemisme, bahwa hak ulayat diakui negara sepanjang masih ada, namun pelaksanaannya harus sesuai kepentingan nasional.

    Yang menjadi soal, negara dalam UU Pokok Kehutanan dapat menguasai hutan yang bukan hak milik. Secara tidak langsung, UU Pokok Kehutanan versi Orba ini memungkinkan adanya hutan milik negara, yang tentu saja memunculkan potensi konflik tanah antara negara versus rakyat.

    Dan konflik lahan itupun terjadi semasa Orde Baru, walaupun Jenderal Soeharto sebagai pemimpin tunggal Rezim Orba dikoreksi secara keras oleh aktivis prodemokrasi dalam peristiwa Malari 1974, Buku Putih 1978 dan gerakan advokasi tanah oleh aktivis 1980-an dan 1990-an yang prinsip dasar gerakannya adalah menegakkan UU Pokok Agraria. Walaupun Soeharto merepresi para aktivis tersebut, ia menerima koreksinya.

    Terpenuhinya swasembada beras pada tahun 1985 dan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen selama Rezim Orba berkuasa itulah bukti bahwa Soeharto menerima koreksi dari para aktivis atas kebijakannya. Bahkan, sensus pertanian BPS pada tahun 1983 menunjukkan rasio gini penguasaan lahan turun dari 0,70 menjadi 0,64 pada tahun 1973.

    Artinya, 1 persen penduduk terkaya menguasai lahan sebesar 70 persen tahun 1973, turun menjadi 64 persen pada 1983. Tentu saja, peranan masyarakat dalam mewujudkan swasembada beras dan pertumbuhan tinggi era Orba itu hanya pelengkap penyerta, di mana Rezim Penguasa memegang kekuasaan sentralistik atas penyelenggaraan negara.

    Sayangnya, Soeharto tetap lebih mendengarkan saran kebijakan dari mafia Berkeley yang mendorong kebijakan deregulasi. Memang, paket kebijakan deregulasi Juli 1983 (Pakjul 83) dan Oktober 1988 (Pakto 88) terbatas pada deregulasi keuangan dan liberalisasi perbankan.

    Tetapi, dampaknya adalah munculnya oligarki sipil dan militer yang memerlukan lahan untuk memutar modal mereka demi menumpuk keuntungan mereka sendiri.

    Krisis moneter 1998 adalah bukti bahwa ketimpangan ekonomi yang ditopang oleh represi atas demokrasi, ibarat rumah kartu yang menunggu keruntuhan. Reformasi dimaksudkan sebagai koreksi atas kebijakan represif dan tidak adil tersebut, maka salah satu koreksinya adalah Ketetapan MPR nomor IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam.

    Tapi apa yang terjadi, rezim penguasa era Reformasi tetap membentuk regulasi yang mengabaikan HAT yang berkeadilan sebagaimana mandat UUD dan UUPA. UU nomor 25 tahun 2007 yang disahkan Pemerintahan SBY-Jusuf Kalla misalnya, selain menghapus perbedaan modal dalam negeri dan modal asing, juga menetapkan penguasaan HGU selama 95 tahun, yang dapat diperpanjang di muka selama 60 tahun, lalu dapat diperpanjang lagi selama 35 tahun, atau total HGU selama 180 tahun.

    Ini artinya, memang UU Penanaman Modal yang disahkan Rezim SBY, UU Cipta Kerja dan UU Ibu Kota Negara yang disahkan Rezim Jokowi, sama-sama inkonstitusional. Tiga UU tersebut, sama-sama mengabaikan prinsip keadilan HAT dan perlindungan terhadap hak ulayat.

    Padahal, pengabaian terhadap keadilan HAT dan perlindungan hak ulayat itulah penyebab semakin banyaknya konflik lahan dan semakin timpangnya penguasaan atas lahan.

    Prabowo Perlu Pimpin Komando Reforma Agraria

    Presiden Prabowo Subianto, sebenarnya selain berwatak militeristik, adalah seorang berjiwa sosialis ekstrem. Lihat saja, bagaimana Prabowo memerintahkan Korps Marinir mencabuti patok-patok bambu yang dipasang lepas pantai. Belum lagi bagaimana Prabowo memerintahkan TNI untuk merebut 3,1 juta hektar lahan sawit milik para pengusaha berwatak serakahnomics.

    Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang merupakan orang kepercayaan Prabowo, pada akhir September 2025 lalu mendorong pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) dan Pansus DPR untuk Penyelesaian Konflik Agraria.

    Belum lagi awal November ini, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin bersama Panglima TNI menyaksikan penertiban tambang nikel ilegal di Morowali.

    Presiden Prabowo, Wakil Ketua DPR Dasco, dan Menhan Sjafrie ini bagaikan triumvirat yang memimpin komando negara dalam pelaksanaan reforma agraria yang imbang antara kebijakan politik demokratis di DPR dengan tindakan militeristik dalam merebut lahan-lahan kebun dan tambang milik para oligarki.

    Jika BPRA ini terbentuk, saya menyarankan agar Prabowo memimpin langsung BPRA, tentunya dalam sebuah lembaga yang sesuai dengan marwahnya sebagai Presiden, misalnya Dewan Pengarah. Dengan demikian, BPRA dapat menjadi lembaga yang efektif dalam mewujudkan tiga hal:

    Pertama, segala regulasi yang berkaitan dengan penguasaan lahan, termasuk UU Investasi era SBY, UU Cipta Kerja dan UU IKN era Jokowi, harus disesuaikan dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3, serta Undang-Undang Pokok Agraria.

    Kalau tidak bisa disesuaikan, maka sebaiknya dibatalkan seluruhnya. Tidak boleh lagi ada regulasi yang memungkinkan berlakunya prinsip ‘tanah milik negara’. Sehingga hanya ada satu aturan pokok mengenai pengelolaan hak atas tanah.

    Kedua, seluruh penyelenggara negara yang terkait penguasaan lahan, serta perusahaan milik negara dan swasta yang memiliki HGU, perlu dievaluasi. Lahan-lahan yang dimiliki penyelenggara negara, perusahaan negara dan swasta dalam status terlantar perlu dijadikan tanah objek reforma agraria (TORA), untuk kemudian diserahkan kepada rakyat terutama masyarakat adat untuk mereka kelola demi mencapai keadilan dan kemakmuran.

    Ketiga, BPRA perlu memiliki Deputi Tafsir Tegas yang menetapkan secara pasti dan cermat tentang siapa entitas yang berhak atas lahan untuk mengakhiri konflik agraria yang berkepanjangan.

    Alih-alih diselesaikan dengan mekanisme peradilan umum yang hakimnya belum tentu memahami prinsip dasar Reforma Agraria, lebih baik diserahkan kepada Pemerintah melalui Deputi Tafsir Tegas BPRA.

    Jadi, jika terjadi konflik lahan antara orang kecil melawan pengusaha besar, cepat diselesaikan oleh Pemerintah. Jangan karena orang besar mantan Wapres Jusuf Kalla era SBY dan Jokowi itu tanahnya direbut jenderal dan kasusnya viral, baru diperhatikan publik.

    Hanief Adrian
    Kepala Desk Politik GREAT Institute





    Source link

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    PewartaID

    Related Posts

    Kunjungan Empat Hari di Indonesia, Ratu Belanda Bakal Temui Prabowo

    November 24, 2025

    Prabowo Panggil Pimpinan BRIN dan Gubernur BI ke Istana

    November 24, 2025

    Mayoritas Publik Nilai Program Kemendikdasmen Berjalan Baik

    November 24, 2025

    Leave A Reply Cancel Reply

    Demo
    Don't Miss

    Javier Tebas Lontarkan Tuduhan Serius ke Florentino Perez

    Berita Olahraga November 24, 2025

    Ligaolahraga.com -Berita Liga Spanyol: Pernyataan Florention Perez baru-baru ini di Sidang Umum klub pada hari…

    Kunjungan Empat Hari di Indonesia, Ratu Belanda Bakal Temui Prabowo

    November 24, 2025

    Di Hadapan DPR, Freeport Targetkan Produksi Emas Tembus 43 Ton Mulai 2028 : Okezone Economy

    November 24, 2025

    Prabowo Panggil Pimpinan BRIN dan Gubernur BI ke Istana

    November 24, 2025
    Stay In Touch
    • Facebook
    • Twitter
    • Pinterest
    • Instagram
    • YouTube
    • Vimeo
    Our Picks

    Javier Tebas Lontarkan Tuduhan Serius ke Florentino Perez

    November 24, 2025

    Kunjungan Empat Hari di Indonesia, Ratu Belanda Bakal Temui Prabowo

    November 24, 2025

    Di Hadapan DPR, Freeport Targetkan Produksi Emas Tembus 43 Ton Mulai 2028 : Okezone Economy

    November 24, 2025

    Prabowo Panggil Pimpinan BRIN dan Gubernur BI ke Istana

    November 24, 2025

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

    Demo
    © 2025 ID Corner News

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.