Hal itu disampaikan pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid yang menilai bahwa secara konstitusional, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
“Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat, final and binding, dengan demikian putusan MK itu harus ditindalanjuti sebagaimana mestinya
secara doktriner,” kata Fahri kepada RMOL, Minggu, 16 November 2025.
Fahmi mengatakan, putusan MK bersifat prospektif atau berlaku ke depan, karena mengikuti prinsip bahwa suatu UU tetap berlaku sampai ada putusan yang menyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, MK memiliki kewenangan untuk membuat putusan yang retroaktif atau berlaku surut, dalam kasus-kasus tertentu yang dianggap mendesak dan penting demi keadilan, meskipun hal tersebut kurang umum dan dapat menimbulkan perdebatan hukum.
“Nah saya berpendapat bahwa status putusan MK dalam perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 ini termasuk corak hukum yang berlaku ke depan prospektif, sehingga tentunya dalam konteks perubahan UU Polri tentunya kaidah putusan MK ini wajib diadopsi dalam tata hukum kita, sebab telah menjadi ‘ius constitutum’ atau telah menjadi hukum positif berdasarkan putusan MK ‘all law is judge-made law’,” jelas Fahri.
Sehingga kata Fahri, yang harus dipikirkan pemerintah adalah membuat sebuah instrumen berupa legal policy atau legal rules dalam rangka mengatur pranata transisi terhadap keberadaan anggota Polri aktif yang saat ini sedang menduduki beberapa jabatan publik existing strategis dalam pemerintahan saat ini.
Hal itu perlu dilakukan agar di satu sisi prinsip konstitusionalisme yang telah termanifestasi lewat putusan MK dapat dipedomani.
Tetapi di sisi yang lain sedapat mungkin meminimize berbagai dampak kompleksitas ketatanegaraan dan pemerintahan saat ini atas beberapa jabatan publik yang terdampak dengan putusan MK yang kebetulan sedang diemban anggota Polri.
“Pilihan kebijakan ini penting untuk mengatur transisi ini agar tercipta keadaan hukum yang tertib ‘legal order’,” tutur Fahri.
Sedangkan secara yuridis kata Fahri, putusan MK tersebut merupakan hal penting yang mengandung mandat konstitusional, sehingga penting untuk diakomodir Tim Reformasi Polri dalam rangka merumuskan kebijakan reformasi Polri dalam format rencana amandemen UU Polri ke depan.
“Ini merupakan sebuah keniscayaan dan pedoman konstitusional ‘constitutional guidelines’,” terang Fahri.
Fahri berpendapat, bahwa pertimbangan hukum yang dibuat MK secara eksplanatif yang menegaskan bahwa konstruksi substansi Pasal 10 Tap MPR nomor VII/MPR/2000 dan Pasal 28 UU 2/2002, yang secara teleologis pertimbangan hukum harus difokuskan pada Pasal 10 Ayat 3 Tap MPR nomor VII/MPR/2000 yang menyatakan “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”.
Dan Pasal 28 Ayat 3 UU 2/2002 yang menyatakan “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”.
“Secara substansial, kedua ketentuan tersebut menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian. Artinya, apabila dipahami dan dimaknai secara tepat dan benar, ‘mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian’ adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar kepolisian,” jelas Fahri.
Menurut Fahri, tidak ada keraguan, rumusan demikian adalah rumusan norma yang expressis verbis yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain. Berkenaan dengan hal itu, MK perlu menegaskan, “jabatan” yang mengharuskan anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian.
“Pertimbangan yuridis dan konstitusional yang dirumuskan MK tersebut adalah telah sebangun dengan desain konstitusional sebagaimana terdapat dalam rumusan norma Pasal 30 Ayat 4 UUD NRI tahun 1945,” kata Fahri.
Pasal 30 Ayat 4 dimaksud berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
“Ini merupakan mandat konstitusional utama untuk Polri dan menjadi landasan hukum bagi fungsi dan kewenangan mereka dalam menjaga keutuhan bangsa. Hal tersebut tidak terlepas dari posisi Polri dalam sistem pertahanan, yang mana konstitusi menentukan secara tegas bahwa Polri merupakan bagian dari sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) bersama TNI sebagai kekuatan utama, sementara rakyat menjadi kekuatan pendukung,” pungkas Fahri.

