HUKUM semestinya menjadi mercusuar moral bagi peradaban bangsa -sumber cahaya yang menuntun negara menuju keadilan dan kebenaran. Namun, di tengah turbulensi sosial, ekonomi, dan politik, integritas hukum Indonesia kian redup. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Akan tetapi, dalam praktiknya, hukum justru sering menjelma alat kekuasaan yang berat sebelah, tumpul terhadap elit, dan kehilangan dimensi nurani.
Rechtstaat dan Erosi Keadilan Substantif
Secara konseptual, Rechtstaat (negara hukum) merupakan puncak peradaban politik—sebuah tatanan di mana kekuasaan tunduk pada norma, bukan pada figur penguasa. Namun, idealisme ini di Indonesia perlahan tergerus oleh praktik impunitas, kooptasi, dan kriminalisasi yang mengaburkan esensi keadilan substantif.
Krisis moral hukum tampak jelas dalam ketimpangan penegakan hukum. Operasi terhadap Pertambangan Tanpa Izin (PETI) memang gencar dilakukan, tetapi penindakan umumnya berhenti di tingkat operator kecil. Sementara itu, para pemodal besar dan aktor politik di balik jaringan industri tetap aman berlindung di bawah naungan kekuasaan. Hukum akhirnya menyerupai jaring laba-laba -mampu menjerat serangga kecil, tetapi koyak saat menghadapi elit dan korporasi raksasa.
Kegagalan menegakkan keadilan substantif inilah yang meruntuhkan legitimasi hukum. Ia bukan lagi sarana mencari kebenaran, melainkan instrumen pengendalian kekuasaan. Montesquieu pernah mengingatkan: “Tidak ada kebebasan bila kekuasaan kehakiman tidak terpisah dari kekuasaan eksekutif.” Sayangnya, prinsip ini semakin kabur dalam realitas hukum Indonesia.
Digitalisasi Kekuasaan dan Dilema Regulator–Eksekutor
Era digital membawa lanskap baru bagi konsep negara hukum. Perubahan nomenklatur Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) diharapkan mendorong transparansi dan akuntabilitas publik. Namun, perubahan ini justru menimbulkan kekhawatiran serius: regulator kini memegang peran ganda sebagai eksekutor sekaligus pengendali arus informasi.
Dalam konteks pemberantasan judi online, misalnya, Komdigi telah memblokir puluhan ribu situs. Namun, laporan PPATK menunjukkan bahwa perputaran dana lintas negara justru meningkat signifikan, memperlihatkan keterkaitan erat antara aktivitas judi daring dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan sistem perbankan. Penegak hukum kini menghadapi dilema: menindak semua pelaku ekonomi digital secara merata, atau menyesuaikan diri dengan tekanan politik dan kepentingan pasar?
Kondisi ini melahirkan regulatory paradox -situasi di mana lembaga yang semestinya menjadi wasit, justru bermain sebagai pemain sekaligus hakim. Prinsip due process of law kehilangan makna di ruang digital, sementara negara hukum bergeser menjadi sistem teknokratis yang cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan sosial.
Kasus Blok Medan: Krisis Independensi Peradilan
Kerapuhan integritas hukum Indonesia mencapai puncaknya dalam kasus Blok Medan, yang menyeret sejumlah pejabat daerah ke dalam pusaran konflik kepentingan proyek strategis. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Medan, majelis hakim sempat meminta jaksa menghadirkan seorang pejabat penting untuk memberikan klarifikasi terhadap kebijakan yang dinilai relevan dengan perkara tersebut.
Tak lama kemudian, rumah salah satu hakim yang menangani kasus itu terbakar. Polisi masih menyelidiki penyebab kebakaran, namun publik segera menduga adanya tekanan politik dan bentuk teror terhadap independensi peradilan. Peristiwa ini mengguncang kepercayaan masyarakat: jika seorang hakim bisa terancam keselamatannya saat menjalankan tugas konstitusional, bagaimana rakyat kecil dapat merasa dilindungi oleh hukum?
Kasus Blok Medan menjadi simbol nyata bahwa perlindungan terhadap aparatur peradilan masih lemah. Ia menyingkap wajah muram dari lembaga yudikatif yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, namun kini turut menjadi korban dari ketegangan antara kekuasaan dan kebenaran.
Pancasila dan Pengikisan Moral Konstitusi
Keruntuhan integritas hukum Indonesia tak dapat dipisahkan dari degradasi moral konstitusional. Pancasila sebagai Philosophische Grondslag (dasar filosofis negara) menuntut agar hukum ditegakkan dengan semangat kemanusiaan dan keadilan sosial.
Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menegaskan bahwa hukum harus berpihak pada nilai kemanusiaan, bukan pada kekuasaan. Sementara Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menolak segala bentuk diskriminasi dan penyalahgunaan diskresi negara. Ketika kedua sila ini diabaikan, hukum berubah menjadi sekadar alat legitimasi tanpa etika.
Notonagoro menegaskan bahwa cita hukum Indonesia adalah hukum yang mengabdi kepada keadilan sosial. Namun kini, cita itu tergantikan oleh hukum yang tunduk pada kepentingan politik dan ekonomi. Rechtstaat bergeser menjadi Regierungsstaat -negara pemerintahan yang lebih mementingkan loyalitas daripada moralitas, serta kepentingan daripada kebenaran.
Jalan Restorasi: Menyalakan Kembali Integritas
Penyelamatan hukum Indonesia bukan sekadar proyek administratif, tetapi agenda moral bangsa. Restorasi hukum harus dimulai dari keberanian politik untuk menempatkan hukum di atas segala bentuk kekuasaan. Tanpa integritas, reformasi hanya akan melahirkan negara hukum kosmetik -tampak rapi di permukaan, tetapi rapuh di dalam.
Langkah-langkah restorasi yang mendesak dilakukan antara lain:
1. Perlindungan Yudikatif: Menjamin keamanan dan kebebasan hakim serta aparat penegak hukum dari segala bentuk intervensi politik atau tekanan eksternal.
2. Transparansi Digital: Mengoptimalkan sistem e-court, publikasi putusan terbuka, dan pendidikan etika hukum sebagai fondasi moral aparatur.
3. Sinergi Antarlembaga: Memperkuat koordinasi antara PPATK, OJK, Polri, dan Komdigi dalam pemberantasan TPPU dan judi online dengan kerangka hukum yang terintegrasi.
4. Etika Konstitusional: Menghidupkan kembali Pancasila sebagai norma pembatas kekuasaan, bukan sekadar semboyan retoris dalam dokumen negara.
Cicero pernah berkata, “Hukum adalah akal yang benar yang tertanam dalam diri manusia.” Tanpa akal yang benar, hukum hanya menjadi topeng bagi kekuasaan yang menyamar sebagai keadilan.
Kesimpulan
Integritas hukum Indonesia kini berada di ujung tanduk. Dari kasus tambang ilegal hingga judi online, dari tekanan politik terhadap hakim hingga lemahnya etika konstitusional, semua memperlihatkan bahwa hukum kita tidak sedang buta terhadap keadilan—melainkan sengaja memejamkan mata.
Namun, di balik kegelapan itu masih ada secercah harapan. Sebab setiap kali moralitas hukum diuji, selalu terbuka peluang untuk menyalakan kembali api keadilan. Selama masih ada keberanian untuk menegakkan kebenaran, hukum akan kembali menjadi mercusuar moral bangsa -menyinari jalan bagi keadilan, kemanusiaan, dan kemerdekaan sejati.
* Advokat, pendiri Research and Education Center for Humanitarian Transparency Law (RECHT) Institute.

