Dalam rapat kabinet pada Minggu, 16 November 2025, Netanyahu mengatakan posisi Israel tidak berubah sedikit pun. Ia menilai negara Palestina hanya akan menguntungkan Hamas dan berpotensi menciptakan entitas yang lebih besar dan berbahaya di perbatasan Israel.
Netanyahu juga menegaskan bahwa ia telah menggagalkan berbagai upaya menuju negara Palestina selama bertahun-tahun dan tidak terpengaruh tekanan internasional. “Saya tidak membutuhkan ceramah siapa pun,” ujarnya, dikutip dari AFP, Senin 18 November 2025.
Rancangan resolusi AS tersebut muncul setelah tercapainya gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang ditengahi Presiden Donald Trump. Dokumen itu mencakup pembentukan pemerintahan transisi dan penempatan pasukan keamanan internasional sementara, serta untuk pertama kalinya memasukkan kemungkinan berdirinya negara Palestina di masa depan — hal yang langsung ditolak pemerintah Israel.
Di dalam negeri, Netanyahu mendapat tekanan dari sekutu koalisinya. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mendesaknya mengeluarkan sikap tegas bahwa Israel tidak akan pernah menyetujui negara Palestina. Menteri Pertahanan Israel Katz juga menulis bahwa “kebijakan Israel jelas: tidak akan ada negara Palestina,” sementara Menteri Luar Negeri Gideon Saar menyebut negara itu tak akan menerima “negara teror” di jantung wilayah Israel. Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir bahkan menyebut identitas Palestina sebagai “penemuan.”
Penolakan Israel semakin keras sejak beberapa negara Barat, termasuk Inggris, Australia, dan Kanada secara resmi mengakui negara Palestina pada September lalu. Netanyahu menuduh pengakuan tersebut sebagai “hadiah” untuk Hamas di tengah perang Gaza yang masih berlangsung.
Sementara itu, tahap pertama gencatan senjata telah menghasilkan pembebasan 20 sandera Israel dan hampir semua jenazah 28 sandera yang telah tewas. Sebagai imbalannya, Israel membebaskan hampir 2.000 tahanan Palestina dan mengembalikan sekitar 330 jenazah.

