Koalisi UMKM, yang terdiri dari pedagang kaki lima, warung kelontong, warteg, asongan hingga kopi keliling, menyampaikan bahwa aturan tersebut tidak hanya sulit diterapkan, tetapi juga menunjukkan minimnya empati para anggota DPRD DKI Jakarta terhadap kondisi ekonomi rakyat kecil.
“Pedagang kecil saat ini situasinya terseok-seok. Sekarang, kita makin dibelenggu dengan Raperda KTR yang tak bisa diterima, tak rasional. Jangan asal ketuk palu lah,” ujar Izzudin Zindan, juru bicara Koalisi UMKM Jakarta, saat Diskusi Jaga Jakarta, Tolak Raperda KTR, Senin, 17 November 2025.
Menurut para pedagang, aturan pelarangan penjualan rokok dan perluasan kawasan tanpa rokok hingga ke rumah makan dan pasar sama saja dengan mematikan usaha rakyat. Zindan mencontohkan, warteg rata-rata hanya berukuran 4×6 meter.
“Gimana caranya kami diharuskan buat ruang merokok terpisah, sementara luas warteg maksimal hanya 4×6 meter? Tidak mungkin! Ini berarti kami disuruh kucing-kucingan sama aparat. Ngeri banget ini!” tegasnya.
Dalam forum itu, Koalisi UMKM menandatangani petisi bersama yang ditujukan kepada DPRD DKI Jakarta. Petisi tersebut meminta dewan tidak gegabah mengesahkan Ranperda KTR, serta meninjau ulang pasal-pasal yang berpotensi mematikan usaha kecil.
“DPRD DKI Jakarta harus mendengarkan aspirasi dan suara penolakan rakyat kecil yang terdampak langsung, termasuk meninjau ulang pasal-pasal pelarangan dan perluasan kawasan tanpa rokok dengan langsung turun dan cek ke lapangan,” demikian bunyi petisi itu.
Petisi tersebut ditandatangani oleh berbagai komunitas pedagang, mulai dari Komunitas Warteg Merah Putih (WMP), Koperasi Warteg (Kowarteg), Paguyuban Pedagang Warteg dan Kaki Lima (Pandawakarta), Komunitas Warung Nusantara (Kowantara), Koperasi Warung Cipta Niaga Mandiri (Kowartami), hingga UMKM Remojong.
Tanuri, perwakilan Kowarteg, menyampaikan kekecewaan mendalam kepada DPRD yang dianggap tidak peka. Dia berharap Dewan Kebon Sirih turun langsung mengecek kondisi di lapangan.
“Saya saja yang jualan warteg 24 jam, sekarang jam 10 sudah sepi banget. Pedagang kecil sudah setengah mati, jungkir balik mempertahankan sewa ruko. Wakil rakyat sadar gak sih? Ekonomi kita lagi susah,” ujarnya.
Pedagang warteg yang kini jumlahnya menyusut drastis dari lebih dari 50.000 warteg di Jabodetabek menjadi hanya 25.000 yang bertahan, tetap menjadi penopang ekonomi rakyat kecil. Mereka bukan hanya menyediakan makanan terjangkau, tapi juga menciptakan lapangan kerja bagi ribuan warga.

