Close Menu
IDCORNER.CO.ID

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

    What's Hot

    Meski Makin Tajam, Lennart Karl Tak Terlalu Berharap ke Piala Dunia 2026

    November 23, 2025

    Program Food Heroes Generation Ajak Gen Z Ciptakan Solusi Pangan

    November 23, 2025

    Live Sore Hari! Ini Jadwal Siaran Langsung Timnas Indonesia U-22 vs Timnas Filipina U-22 di SEA Games 2025 di RCTI : Okezone Bola

    November 23, 2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    IDCORNER.CO.IDIDCORNER.CO.ID
    • Homepage
    • Berita Nasional
    • Berita Teknologi
    • Berita Hoaks
    • Berita Dunia
    • Berita Olahraga
    • Program Presiden
    • Berita Pramuka
    IDCORNER.CO.ID
    Home»Berita Nasional»Makna Baru Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia

    Makna Baru Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia

    PewartaIDBy PewartaIDNovember 21, 2025No Comments12 Mins Read
    Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email




    Kajian ini menguraikan bagaimana diplomasi track-1, track-2, dan track-1.5 berperan dalam membentuk persepsi, memitigasi risiko salah tafsir, dan membangun kepercayaan jangka panjang di tengah perbedaan kepentingan strategis. Analisis diperluas pada implikasi bagi prinsip non-alignment Indonesia, dinamika Australia sebagai mitra AUKUS, serta dampaknya terhadap stabilitas Asia Tenggara. Kajian ini menawarkan rekomendasi implementasi kebijakan yang dapat memperkuat tata kelola keamanan bilateral dan regional.


    Perkembangan terbaru dalam hubungan keamanan Australia-Indonesia mengalami akselerasi signifikan ketika pada 13 November 2025 Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengumumkan penyelesaian substantif Australia-Indonesia Treaty on Common Security. Perjanjian ini menyusul penandatanganan upgraded Defence Cooperation Agreement pada tahun sebelumnya, serta merupakan kelanjutan logis dari intensifikasi dialog dan kerja sama pertahanan yang berlangsung selama satu dekade terakhir. Hubungan ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang fluktuasi kepercayaan bilateral, mulai dari Agreement on Maintaining Security (AMS) 1995 yang kemudian dibatalkan oleh pemerintahan Presiden B. J. Habibie pada 1999 setelah Australia berpartisipasi dalam misi stabilisasi perdamaian di Timor Timur, hingga lahirnya Lombok Treaty 2006 yang sejak itu menjadi dasar formal hubungan keamanan kedua negara. Perjanjian baru tahun 2025 ini dipandang sebagai penguatan struktur formal serupa, tetapi dengan cakupan konsultasi dan mekanisme respons yang lebih maju dan bersifat multidimensi.
     
    Dalam suasana Indo-Pasifik yang ditandai rivalitas kekuatan besar, modernisasi militer yang cepat, dan meningkatnya insiden di kawasan maritim, kebutuhan Australia dan Indonesia untuk berbagi pemahaman terhadap lanskap ancaman menjadi lebih mendesak. Pernyataan Albanese dalam konferensi pers bersama bahwa kedua pihak “berkewajiban untuk berkonsultasi dan mempertimbangkan langkah apa yang dapat dilakukan secara individual atau bersama apabila salah satu pihak terancam” menunjukkan elemen tingkat kepercayaan yang semakin naik. 



    Walaupun perjanjian tersebut tidak menciptakan komitmen pertahanan otomatis seperti dalam aliansi formal, model bahasa yang digunakan serupa dengan ANZUS, Pukpuk Treaty antara Australia dan Papua Nugini, serta Five Power Defence Arrangements yang menghubungkan Australia, Inggris, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru. Perbedaannya terletak pada posisi Indonesia yang secara konsisten mempertahankan doktrin free and active foreign policy dan prinsip non-alignment yang telah menjadi DNA strategi diplomatiknya sejak 1948.
     
    Dalam konteks ini, perjanjian baru tersebut tidak dapat dipahami sebagai deviasi dari prinsip bebas-aktif, tetapi lebih tepat dimaknai sebagai perluasan instrumen diplomasi keamanan yang memberikan ruang konsultasi yang lebih sistematis. Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menegaskan dalam wawancara dengan ABC News bahwa Australia harus “mengikat keamanannya pada wilayah melalui jaringan hubungan” yang bersifat komplementer dan bukan menggantikan kemitraan strategis lainnya. Pernyataan ini relevan bagi Indonesia yang dalam lima tahun terakhir secara aktif membangun hubungan pertahanan dengan berbagai kekuatan seperti Kanada, Prancis, Inggris, Uni Emirat Arab, Rusia, dan Brasil. Di bawah Presiden Prabowo, diplomasi pertahanan Indonesia menekankan diversifikasi mitra melalui kehadiran dalam pameran militer internasional, memperluas kanal kerja sama industri pertahanan, serta menjalin dialog strategis yang bertumpu pada kejelasan posisi dan konsistensi kepentingan nasional.
     
    Konteks hubungan ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika geopolitik kawasan yang sarat ketidakpastian. Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok yang semakin intens tidak hanya menimbulkan risiko kontestasi militer tetapi juga kompetisi teknologi dan tekanan geopolitik terhadap negara-negara menengah seperti Australia dan Indonesia. Di satu sisi, Australia adalah mitra utama Amerika Serikat dalam AUKUS dan bagian dari security architecture Barat di Indo-Pasifik. Di sisi lain, Indonesia mempertahankan peran sebagai negara non-blok yang memiliki kedekatan pragmatis dengan berbagai kekuatan global. Situasi inilah yang menjadikan perjanjian baru 2025 sebagai konstruksi kompleks yang perlu dipahami bukan sebagai langkah menuju blok tertentu, tetapi sebagai instrumen diplomatik yang memperluas koordinasi keamanan di tengah pluralitas hubungan internasional yang dijalankan kedua negara.

    Keberadaan foto Prabowo mengenakan topi HMAS Canberra di Sydney beriringan dengan foto dirinya pada parade militer di Beijing bersama Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong-un menunjukkan karakter omni-directional foreign policy Indonesia yang tetap “bersahabat dengan semua pihak.” Dengan demikian, perjanjian keamanan terbaru ini tidak membuat Indonesia terikat secara eksklusif kepada Australia, tetapi memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara yang dapat membangun kepercayaan strategis dengan berbagai mitra tanpa menimbulkan distorsi pada prinsip politik luar negeri bebas-aktif. Hal ini nantinya sangat relevan ketika membahas peran diplomasi track-1, track-2, dan track-1.5 dalam memfasilitasi persepsi, ekspektasi, dan komunikasi strategis antara kedua negara. 
     
    Analisis Masalah
     
    Permasalahan utama dalam hubungan keamanan Australia-Indonesia bukan terletak pada ketiadaan kerja sama formal, tetapi pada fluktuasi persepsi ancaman, ketimpangan kapabilitas militer, serta ketidakselarasan ekspektasi strategis antara dua negara yang berada pada posisi geopolitik berbeda. Australia memiliki komitmen aliansi yang kuat dengan Amerika Serikat dan intens terlibat dalam jaringan keamanan Barat, sementara Indonesia memiliki sensitivitas mendalam terhadap kedaulatan, non-alignment, dan arsitektur ASEAN-centric. 

    Ketika perjanjian keamanan baru 2025 diperkenalkan sebagai bagian dari intensifikasi konsultasi, timbul pertanyaan mengenai bagaimana mekanisme tersebut dapat mengelola potensi asimetri kepentingan, khususnya terkait isu-isu seperti operasi militer di wilayah archipelagic waters Indonesia, aktivitas intelijen, dan respons terhadap krisis regional seperti Taiwan, Laut Tiongkok Selatan, dan ancaman non-militer seperti kejahatan lintas batas.
     
    Ketiadaan komitmen otomatis untuk saling membantu secara militer memperlihatkan bahwa perjanjian tersebut masih berkarakter consultation-based framework, sehingga efektivitasnya sangat bergantung pada relasi interpersonal pemimpin dan birokrasi keamanan. Contoh paling relevan adalah bagaimana ANZUS hanya mewajibkan konsultasi, namun pada 2001 interpretasi politis oleh Perdana Menteri John Howard menjadikan ANZUS sebagai dasar partisipasi Australia dalam operasi militer di Afghanistan. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian keamanan seringkali memiliki fleksibilitas interpretatif yang dapat berubah sesuai konteks politik domestik. Dalam hubungan Australia-Indonesia, risiko serupa dapat muncul, terutama jika terjadi perubahan pemerintahan di Canberra atau Jakarta yang memiliki orientasi keamanan berbeda.
     
    Masalah lainnya adalah persepsi historis bahwa Australia lebih dekat dengan Washington dibandingkan dengan Asia Tenggara, sehingga sering dipandang sebagai ekstensi kepentingan kekuatan besar. Hadirnya AUKUS pada 2021 mempertegas persepsi tersebut, terutama karena rencana pengembangan kapal selam bertenaga nuklir yang menimbulkan sensitivitas politik di kawasan. Meskipun Australia berupaya menegaskan bahwa perjanjian 2025 bertumpu pada hubungan regional, tetap terdapat kekhawatiran bahwa koordinasi keamanan bilateral dapat berpotensi digunakan sebagai mekanisme perluasan pengaruh strategis Barat di sekitar perairan Indonesia.
     
    Masalah tambahan yang signifikan adalah kurang terintegrasinya dialog lintas tingkat antara aktor negara dan non-negara. Meskipun hubungan antar-personel militer kedua negara meningkat melalui latihan gabungan seperti Indo-Pacific Endeavour, Ausindo Exercise, dan kerja sama maritime domain awareness, jalur komunikasi antara akademisi, analis keamanan, think-tank, dan institusi masyarakat sipil masih terfragmentasi. Ketika terjadi krisis atau insiden militer, narasi di ruang publik seringkali terpolarisasi, khususnya mengenai tuduhan pelanggaran wilayah, operasi kapal selam, atau dukungan Australia terhadap kebijakan tertentu di Papua. Fragmentasi informasi ini menunjukkan absennya instrumen diplomasi track-2 dan track-1.5 yang mampu menyediakan shared narrative yang stabil di tingkat masyarakat kebijakan.

    Indonesia sendiri memiliki sensitivitas historis yang tinggi terhadap upaya campur tangan asing. Pengalaman tahun 1999 di Timor Timur menimbulkan memori kolektif yang mempengaruhi bagaimana birokrasi keamanan Indonesia merespons inisiatif pertahanan Australia. Adanya persepsi ketidaksetaraan kapabilitas militer menambah kompleksitas hubungan, di mana Australia memiliki belanja pertahanan mencapai lebih dari 2 persen PDB sementara Indonesia berkisar 0,8 persen. Ketimpangan ini kadang menimbulkan kekhawatiran apakah hubungan keamanan benar-benar berdiri di atas asas kesetaraan strategis atau hanya menciptakan ketergantungan.
     
    Dalam hubungan ini, diplomasi track-1, track-2, dan track-1.5 memainkan peran yang sangat penting. Diplomasi track-1 melalui mekanisme formal antarnegara seperti pertemuan tingkat pemimpin, menteri, dan pejabat senior menjadi fondasi perjanjian 2025. Namun, diplomasi track-1 tidak dapat mengatasi keseluruhan persoalan seperti perbedaan persepsi di tingkat masyarakat, kecurigaan di kalangan militer, serta dinamika media yang seringkali memicu kesalahpahaman. Diplomasi track-2 yang melibatkan think-tank seperti CSIS Jakarta, Lowy Institute, ANU National Security College, ISI (Indopacific Strategic Intelligence) dan LIPI/BRIN menjadi arena untuk membangun pemahaman konsep dan skenario keamanan tanpa tekanan politik formal. Sementara diplomasi track-1.5, yang menggabungkan pejabat pemerintah dan akademisi secara informal, menyediakan ruang untuk confidence-building measures yang bersifat sensitif namun tidak mengikat.
     
    Ketiga jalur diplomasi tersebut, bila tidak diintegrasikan, dapat justru memperbesar jurang persepsi. Absennya koordinasi lintas jalur menciptakan risiko bahwa keputusan politik tidak selaras dengan opini publik dan komunitas epistemik. Inilah inti masalah yang menjadikan perjanjian keamanan baru belum cukup kuat tanpa penguatan multilapis melalui track-1, track-2, dan track-1.5.

    Solusi

    Solusi utama untuk memperkuat efektivitas perjanjian keamanan Australia-Indonesia adalah mengintegrasikan tiga jalur diplomasi sehingga terbentuk arsitektur koordinasi yang bersifat holistik. Diplomasi track-1 harus diperluas dari sekadar forum konsultasi ke mekanisme scenario-based dialogue yang memungkinkan kedua negara melakukan penilaian risiko bersama terhadap kemungkinan kontingensi keamanan. Misalnya, konsultasi berkala tidak hanya membahas ancaman aktual, tetapi juga menyusun contingency assessment yang memproyeksikan bagaimana masing-masing negara akan bertindak dalam situasi hipotesis, seperti krisis Taiwan, gangguan terhadap jalur pelayaran Selat Lombok atau Sunda, atau insiden udara di dekat FIR (Flight Information Region). Penyusunan skenario bersama akan memperkuat kesadaran situasional dan mencegah kesalahan interpretasi.
     
    Di dalam track-1 juga perlu ada institutional connectivity antara kementerian pertahanan, kementerian luar negeri, kepolisian, dan badan keamanan perbatasan. Kerja sama tidak boleh hanya terjadi dalam bentuk kunjungan dan latihan, tetapi harus mencakup pertukaran data maritime domain awareness secara real-time, mekanisme hotline, dan integrasi awal sistem radar tertentu yang tidak mengancam kedaulatan. Hal ini dapat dirancang melalui kerangka “mutually beneficial security activities” sebagaimana disebutkan dalam pernyataan awal perjanjian.

    Solusi berikutnya terletak pada penguatan diplomasi track-2. Think-tank kedua negara harus membentuk Joint Strategic Forum yang bertemu setidaknya dua kali setahun, dengan ruang pembahasan meliputi isu non-tradisional seperti kejahatan siber, proliferasi teknologi militer, dan perubahan iklim. Forum ini dapat menjadi laboratorium pemikiran strategis yang menghasilkan policy options tanpa tekanan politik dan dapat menjadi masukan substantif bagi track-1. Kehadiran lembaga seperti Lowy Institute, CSIS Indonesia, serta pusat kajian strategis universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Pertahanan, University of Sydney, ISI dan Australian National University dapat memperkaya kerangka analisis yang lebih objektif.
     
    Diplomasi track-1.5 menjadi penghubung penting untuk mengalirkan gagasan track-2 ke dalam kebijakan formal. Melalui pertemuan semi-resmi yang dihadiri pejabat Kemenhan, Kemlu, TNI, ADF, serta akademisi, kedua negara dapat mengurangi policy-misalignment dan menciptakan early-warning mechanism yang mendeteksi potensi konflik persepsi sebelum menjadi krisis politik. Model yang dapat diadopsi adalah Shangri-La Dialogue, tetapi dalam skala bilateral, sehingga memungkinkan pembahasan isu sensitif seperti potensi operasi militer gabungan pada masa krisis tanpa memicu kontroversi publik.
     
    Solusi lainnya adalah membangun trust architecture baru yang menempatkan transparansi sebagai inti hubungan. Kedua negara harus membangun mekanisme berbagi informasi yang tidak hanya berorientasi ancaman, tetapi juga meliputi rencana modernisasi militer, pengembangan teknologi pertahanan, dan pengaturan logistik. Transparansi ini dapat menekan rumor di media dan mencegah politisasi hubungan.

    Solusi selanjutnya adalah memperkuat keterlibatan publik dan media. Kajian kebijakan keamanan harus diterjemahkan ke dalam narasi publik yang tidak menimbulkan ketakutan atau persepsi bahwa salah satu pihak sedang “menggiring” pihak lain ke dalam blok tertentu. Dalam konteks Indonesia, penting untuk menegaskan bahwa perjanjian baru tetap sesuai dengan doktrin bebas-aktif dan tidak mengikat Indonesia dalam komitmen militer otomatis. Edukasi publik dapat dilakukan oleh Kemenhan dan Kemlu melalui kerja sama dengan universitas dan media nasional.
     
    Solusi terakhir adalah menempatkan ASEAN sebagai kerangka rujukan sehingga perjanjian 2025 tidak dipersepsikan sebagai upaya melampaui arsitektur regional. Indonesia sebagai negara kunci ASEAN dapat menegaskan bahwa perjanjian bilateral justru memperkuat ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) melalui peningkatan kapasitas maritim, kesadaran kawasan, dan stabilitas jalur pelayaran.
     
    Aksi
     
    Implementasi solusi harus dilakukan melalui beberapa langkah aksi yang terintegrasi secara strategis. Pertama, di tingkat track-1, kedua negara harus menginstitusionalisasi Leaders’ Security Consultation dan Ministerial Security Dialogue yang bertemu secara reguler, minimal dua kali setahun, dan mendiskusikan shared operating picture secara komprehensif. Aksi ini tidak hanya berfungsi sebagai forum komunikasi, tetapi juga sebagai sarana untuk melatih konsistensi strategis antara visi pemimpin dan kapasitas birokrasi keamanan yang menjalankannya. Konsultasi tingkat menteri harus dilengkapi dengan pertemuan pejabat senior (SOM) yang memiliki struktur sekretariat tetap, termasuk tim analis yang diawaki oleh pejabat dari Indonesia dan Australia.
     
    Aksi kedua adalah integrasi sistem pelaporan maritim dan intelijen non-sensitif melalui Maritime Security Fusion Mechanism. Mekanisme ini dapat beroperasi dengan prinsip kedaulatan, di mana data yang dibagikan adalah data bersifat umum seperti pergerakan kapal komersial, indikasi kejahatan lintas batas, dan aktivitas illegal fishing. Indonesia dapat memanfaatkan pengalaman Australia dalam membangun sistem pengawasan North West Shelf dan mengadaptasinya ke kawasan Laut Natuna Utara. Kerja sama semacam ini tidak mengancam non-alignment, karena fokusnya adalah pada keamanan non-tradisional.
     
    Aksi ketiga adalah revitalisasi latihan gabungan Ausindo dan IPE (Indo-Pacific Endeavour) agar mencakup joint planning cell. Unsur ini memungkinkan perwira muda TNI dan ADF berlatih bersama untuk menyusun skenario krisis multidimensi, termasuk evakuasi warga negara, pencarian dan penyelamatan, dan humanitarian assistance and disaster relief. Aksi ini penting sebagai investasi jangka panjang dalam membangun kepercayaan interpersonal yang terbukti lebih berkelanjutan daripada perjanjian formal.
     
    Aksi keempat adalah penguatan track-2 melalui pendirian Australia-Indonesia Strategic Studies Consortium. Konsorsium ini berfungsi sebagai wadah penelitian bersama, publikasi akademik, pertukaran peneliti, dan penyusunan white paper bilateral terkait isu keamanan. Untuk meningkatkan legitimasi publik, hasil penelitian konsorsium dapat disampaikan secara berkala kepada parlemen kedua negara. Pengetahuan strategis yang dibangun melalui track-2 akan menyediakan ruang epistemik yang lebih solid bagi pembuatan kebijakan.
     
    Aksi kelima adalah penyelenggaraan Track-1.5 Strategic Dialogue yang diadakan setiap tahun di Jakarta dan Canberra secara bergantian. Forum ini mengundang pejabat Kemlu, Kemenhan, Panglima TNI, Kepala ADF, serta akademisi dan think-tank kedua negara, seperti forum SAG-IKAHAN (Senior Advisory Group-Ikatan Alumni Pertahanan Australia-Indonesia). Format semi-resmi memungkinkan pembahasan isu sensitif seperti kemungkinan penyelarasan SOP ketika salah satu pihak menghadapi ancaman luar, serta bagaimana mekanisme konsultasi dalam perjanjian 2025 dapat digunakan ketika terjadi perkembangan cepat seperti konflik di Laut Tiongkok Selatan. Forum ini dapat menjadi peredam ketegangan jika terjadi mispersepsi, karena diskusi dapat dilakukan secara informal tanpa tekanan publik.
     
    Aksi keenam adalah memperkuat kapasitas diplomasi publik dengan menghadirkan narasi yang menekankan hubungan setara dan saling menguntungkan. Kemenhan RI, Kementerian Pertahanan Australia, dan Kemlu kedua negara dapat menyusun Strategic Communication Framework yang menjelaskan secara terbuka bahwa perjanjian 2025 bukan aliansi militer, tetapi mekanisme koordinasi regional. Narasi ini dapat membantu meredam resistansi domestik serta mencegah perjanjian tersebut dipolitisasi oleh kekuatan politik yang berorientasi nasionalis ekstrem.
     
    Aksi ketujuh adalah mengintegrasikan ASEAN sebagai bagian dari implementasi perjanjian. Indonesia dapat memanfaatkan posisinya sebagai key maritime state di Asia Tenggara untuk mengusulkan ASEAN Maritime Security Coordination Initiative yang melibatkan Australia sebagai mitra dialog. Dengan demikian, hubungan bilateral dapat berfungsi sebagai proof of concept bagi kerja sama multilateral yang lebih luas.
     
    Aksi terakhir adalah merumuskan mekanisme evaluasi tahunan yang mengukur efektivitas kerja sama. Indikator utama mencakup transparansi informasi, peningkatan interoperabilitas non-tempur, stabilitas persepsi publik, dan kontribusi terhadap stabilitas kawasan.

    Dr. Surya Wiranto, SH MH
    Purnawirawan Laksamana Muda TNI, sehari-hari sebagai Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, dan Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia. 

     





    Source link

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    PewartaID

    Related Posts

    Program Food Heroes Generation Ajak Gen Z Ciptakan Solusi Pangan

    November 23, 2025

    Prinsip Pemerintah sebagai Subyek Hukum

    November 23, 2025

    SPPG Dramaga Ciherang Layak jadi Percontohan

    November 23, 2025

    Leave A Reply Cancel Reply

    Demo
    Don't Miss

    Meski Makin Tajam, Lennart Karl Tak Terlalu Berharap ke Piala Dunia 2026

    Berita Olahraga November 23, 2025

    Ligaolahraga.com -Berita Liga Jerman: Pemain muda Bayern Munich berusia 17 tahun, Lennart Karl, kembali tampil…

    Program Food Heroes Generation Ajak Gen Z Ciptakan Solusi Pangan

    November 23, 2025

    Live Sore Hari! Ini Jadwal Siaran Langsung Timnas Indonesia U-22 vs Timnas Filipina U-22 di SEA Games 2025 di RCTI : Okezone Bola

    November 23, 2025

    Bali United Gagal Menang Lagi, Sulit Tembus Pertahanan Persis Solo

    November 23, 2025
    Stay In Touch
    • Facebook
    • Twitter
    • Pinterest
    • Instagram
    • YouTube
    • Vimeo
    Our Picks

    Meski Makin Tajam, Lennart Karl Tak Terlalu Berharap ke Piala Dunia 2026

    November 23, 2025

    Program Food Heroes Generation Ajak Gen Z Ciptakan Solusi Pangan

    November 23, 2025

    Live Sore Hari! Ini Jadwal Siaran Langsung Timnas Indonesia U-22 vs Timnas Filipina U-22 di SEA Games 2025 di RCTI : Okezone Bola

    November 23, 2025

    Bali United Gagal Menang Lagi, Sulit Tembus Pertahanan Persis Solo

    November 23, 2025

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

    Demo
    © 2025 ID Corner News

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.