Setiap kali bangsa ini menuju Pemilu, kita selalu berbicara tentang visi, elektabilitas, dan strategi kampanye. Namun ada satu pertanyaan sederhana yang justru paling sering terlewat: bagaimana memastikan kita benar-benar memilih sosok yang layak memimpin negeri?
Di atas kertas, pemeriksaan kesehatan capres-cawapres seharusnya menjawab itu. Tetapi praktik selama ini menunjukkan hal yang menggelitik: sembilan dari sepuluh aspek yang diuji adalah fisik. Hanya satu menyentuh sisi mental. Itupun dilakukan secara terbatas oleh psikiater, bukan psikolog yang memang ahli membaca dinamika kepribadian seseorang.
Padahal untuk memimpin negara, ketahanan jiwa jauh lebih menentukan daripada ketahanan paru-paru.
Tes psikologi yang ideal membutuhkan waktu berjam-jam, bukan satu sesi singkat. Alat ukurnya pun beragam, mulai dari MMPI generasi terbaru hingga beragam asesmen yang memotret kemampuan analitis, kematangan emosi, integritas, hingga kecenderungan perilaku di bawah tekanan.
Dengan kata lain, perangkat psikologi sudah ada – yang kurang hanya keberanian negara untuk memakainya secara serius.
Lebih dari itu, masyarakat berhak mengetahui hasilnya. Jika harta kekayaan calon pemimpin wajib dibuka ke publik, maka kondisi psikologis yang akan memengaruhi keputusan 280 juta rakyat semestinya juga tidak menjadi rahasia.
Karena jabatan publik adalah mandat rakyat, bukan hak istimewa.
Sudah waktunya kita mendorong eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memperbaiki sistem ini: tes psikologis yang komprehensif, dilakukan oleh psikolog profesional, dan hasilnya diumumkan secara transparan. Bukan untuk menjatuhkan calon mana pun, tetapi untuk menjaga kewarasan demokrasi kita.
Bangsa besar tidak hanya memilih pemimpin yang populer, tetapi pemimpin yang stabil, matang, dan mampu memikul beban sejarah.
Dan itu hanya bisa dipastikan jika kita berani melihat lebih dalam dari sekadar senyum kampanye.
Saeful Zaman, S.Psi., M.M.
(Praktisi Psikologi & Redaktur Khusus RMOL TV)

