Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) masih harus melalui sekitar 140 proses perizinan melibatkan 17 kementerian/lembaga. Setiap perizinan pun penyelesaiannya berkisar antara 3-24 bulan.
Secara keseluruhan, Indonesia membutuhkan izin dari 17 K/L untuk investasi hulu migas. Lebih banyak dibanding negara lain seperti Brasil hanya 2 lembaga, Norwegia 4, Malaysia 1, Amerika Serikat 3, dan Nigeria 3 lembaga.
“Sejauh ini upaya penyederhanaan perizinan melalui UU Cipta Kerja maupun deregulasi di tingkat KemenESDM lebih mengarah penyederhanaan persyaratan dan prosedur terkait perizinan aspek legalitas usaha,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro dalam keterangan tertulisnya, Senin, 24 November 2025.
Komaidi mengamini, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk meningkatkan kemudahan berusaha dan efisiensi proses bisnis, khususnya di dalam aspek perizinan dan birokrasi di hulu migas.
Di antaranya deregulasi dan penyederhanaan perizinan di lingkup KemenESDM untuk tahapan pra-eksplorasi melalui penerbitan Permen ESDM 23/2015, Permen ESDM 15/2016 dan Permen ESDM 29/2017 jo Permen ESDM 52/2018.
Lalu penerapan One Door Service Policy (ODSP) untuk pengurusan perizinan teknis di lingkup SKK Migas, kemudian pengembangan sistem perizinan terpadu Online Single Submission (OSS) di bawah koordinasi Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM yang diintegrasikan dengan kementerian teknis/lembaga terkait.
Terakhir penerbitan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta perubahannya menjadi UU 2/2023, serta penerbitan PP 5/2021 dan PP 28/2025 tentang Perizinan Berbasis Risiko.
“Berbagai upaya ini positif, namun belum sepenuhnya menyentuh akar masalah kompleksitas birokrasi perizinan, khususnya terkait izin operasional (post PSC signing) untuk pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas,” jelasnya.
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) dalam kerangka OSS hanya berfokus pada aspek perizinan dasar dan persyaratan administratif untuk pendirian usaha. Sementara persoalan utama pada aspek perizinan dan birokrasi untuk pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas lebih berada pada tahap operasionalnya.
Sementara itu, kebijakan ODSP masih terbatas pada izin atau rekomendasi yang berada di lingkungan SKK Migas.
Komaidi memandang dibutuhkan perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut agar berbagai upaya penerbitan kebijakan tersebut dapat lebih optimal di dalam mengatasi permasalahan perizinan yang ada.
Untuk kebijakan ODSP, Komaidi menilai perlu disempurnakan menjadi sistem perizinan terintegrasi (satu pintu) yang tidak hanya terbatas di dalam lingkup SKK Migas, tetapi menjangkau perizinan yang semula memang memerlukan persetujuan lintas kementerian-lembaga.
“Perlu disederhanakan untuk menjadi satu pintu saja, dapat melalui SKK Migas atau BKPM saja. Hal ini mestinya dapat dipadukan dengan sistem digital terintegrasi (seperti OSS) yang mencakup seluruh perizinan hulu migas, yang implementasinya perlu dipercepat,” lanjutnya.
Selain itu, diperlukan peraturan perundangan baru yang lebih kuat untuk memberikan kewenangan lebih luas bagi SKK Migas atau BKPM di dalam melakukan pengurusan perizinan operasional di sektor hulu migas.
Diperlukan juga payung hukum dan pengaturan tegas terkait batasan waktu dalam penyelesaian pengurusan perizinan. Hal ini dapat dilakukan melalui revisi PP 55/2009 tentang perubahan kedua PP 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Proses penyederhanaan perizinan juga dapat disempurnakan dengan tidak hanya ditujukan untuk mengatur batasan waktu pengurusan, tetapi juga menyederhanakan aspek kewenangan dalam pemberian izin.
“Untuk sejumlah izin yang bersifat sangat teknis, kewenangan perizinan semestinya tidak memerlukan persetujuan berlapis sampai ke tingkat menteri, dapat disederhanakan berhenti hanya di level birokrasi di bawahnya atau bahkan dilimpahkan kepada SKK Migas,” pungkasnya.

