Analisis mengungkap bahwa setiap wilayah memerlukan pendekatan keamanan yang berbeda: Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi membutuhkan pertahanan multidomain 360 derajat, Aceh sebagai gerbang maritim barat memerlukan pengawasan laut yang intensif, sementara Papua membutuhkan pendekatan hibrid smart approach yang memadai operasi taktis dengan pendekatan teritorial untuk memenangkan hati dan pikiran masyarakat. Studi ini menyimpulkan bahwa keberhasilan kebijakan ini bergantung pada integrasi sistem komando, pemanfaatan teknologi, dan sinergi dengan pemangku kepentingan non-militer, sehingga dapat menjamin stabilitas keamanan nasional dan kelancaran pembangunan.
Konteks Geostrategis dan Imperatif Pertahanan Nasional
Pertahanan negara merupakan suatu hal yang mutlak dan imperatif bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjaga kedaulatannya dari segala bentuk ancaman, baik yang bersifat konvensional maupun non-tradisional. Dalam konteks geo-strategis kontemporer, Indonesia menghadapi lanskap ancaman yang kompleks dan berkembang, mulai dari persaingan di Laut China Selatan, aktivitas separatis, hingga kerawanan di perbatasan.
Merespons kondisi ini, Kementerian Pertahanan di bawah kepemimpinan Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin pada awal kuartal pertama tahun 2024 telah mengumumkan suatu kebijakan strategis berupa penambahan pengerahan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di tiga provinsi yang diklasifikasikan sebagai Center of Gravity atau titik berat nasional. Konsep Center of Gravity dalam doktrin militer merujuk pada sumber daya, atribut, atau lokasi yang menjadi fondasi dari kekuatan, moral, atau kehendak suatu entitas untuk bertahan. Penetapan Jakarta, Aceh, dan Papua sebagai tiga Center of Gravity ini bukanlah suatu keputusan yang sembarangan, melainkan didasarkan pada analisis mendalam terhadap nilai strategis masing-masing wilayah terhadap proyeksi kedaulatan, stabilitas politik, dan ketahanan ekonomi nasional.
Pernyataan Menhan yang diterima oleh media, termasuk Tribunnews, menegaskan bahwa langkah ini merupakan implementasi dari petunjuk langsung Presiden Republik Indonesia selaku kepala negara dan kepala pemerintahan untuk menjamin keamanan dalam menunjang seluruh aktivitas sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dipandang sebagai suatu langkah korektif dan prospektif dalam memperkuat postur pertahanan nasional yang berkelanjutan.
Dimensi Ancaman di Tiga Center of Gravity
Analisis mendalam terhadap karakteristik ancaman di setiap Center of Gravity mengungkapkan variasi dan kompleksitas tantangan yang dihadapi. Di Jakarta, yang berfungsi sebagai episentrum pemerintahan dan ekonomi nasional, ancaman yang dihadapi bersifat multidomain dan asimetris. Sebagai ibu kota negara, Jakarta menjadi sasaran potensial bagi ancaman terorisme, sabotase infrastruktur kritis, perang siber terhadap institusi pemerintah, serta gangguan keamanan lainnya yang dapat melumpuhkan fungsi kenegaraan dalam waktu singkat.
Oleh karena itu, konsep pengamanan 360 derajat yang mencakup darat, laut, dan udara, sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Pertahanan, menjadi suatu keharusan untuk membangun sistem pertahanan berlapis yang tangguh. Berbeda dengan Jakarta, Provinsi Aceh yang terletak di gerbang paling barat Indonesia dan berhadapan langsung dengan jalur pelayaran internasional Selat Malaka, menghadapi ancaman di domain maritim.
Ancaman tersebut mencakup pelanggaran kedaulatan oleh kapal asing, pembajakan, penyelundupan senjata dan narkoba, serta infiltrasi oleh jaringan teroris transnasional yang memanfaatkan kerawanan di perbatasan laut. Sementara itu, Papua menghadirkan tantangan keamanan yang unik dan multidimensi, dimana ancaman bersenjata dari kelompok kriminal separatis (KKB) berkelindan dengan masalah sosial-ekonomi dan kesenjangan pembangunan yang mendalam. Konteks inilah yang membuat pendekatan konvensional semata dinilai kurang efektif dan memerlukan suatu formulasi strategi yang lebih komprehensif dan integratif.
Membingkai Pendekatan Smart Approach di Papua
Solusi yang ditawarkan dalam kebijakan ini, khususnya untuk Papua, adalah penerapan metode smart approach, sebuah paradigma operasi hibrid yang dirancang untuk menjawab akar permasalahan keamanan secara lebih holistik. Secara konseptual, smart approach merupakan integrasi sinergis antara soft approach atau pendekatan teritorial dan hard approach atau operasi taktis. Soft approach diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan pembinaan teritorial oleh TNI, seperti program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD), bakti sosial, pembangunan infrastruktur dasar, pelayanan kesehatan, serta pendekatan komunikasi sosial untuk memperkuat ikatan emosional antara prajurit dan masyarakat. Tujuannya adalah untuk merebut hati dan pikiran rakyat (winning the hearts and minds), khususnya mereka yang masih ragu terhadap integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan membuktikan kehadiran negara yang positif. Di sisi lain, hard approach tetap diperlukan untuk menciptakan kondisi aman yang memungkinkan soft approach berjalan, dengan sasaran netralisasi ancaman taktis dari kelompok bersenjata secara profesional dan terukur.
Kombinasi ini diharapkan dapat memutus siklus kekerasan dengan tidak hanya menekan gejala kekerasannya (hard approach), tetapi juga mengikis dukungan logistik dan simpati masyarakat terhadap kelompok bersenjata melalui pemberdayaan dan pembangunan (soft approach). Dengan demikian, smart approach bukanlah sekadar penambahan pasukan, melainkan suatu perubahan filosofi operasi yang menekankan pada keseimbangan antara kekuatan dan persuasi.
Rencana Aksi dan Implementasi Teknis di Setiap Wilayah
Implementasi teknis dari kebijakan ini memerlukan rencana aksi yang spesifik dan terdiferensiasi untuk masing-masing wilayah. Untuk Jakarta, penambahan pengerahan pasukan akan difokuskan pada penguatan sistem pertahanan udara dengan integrasi radar dan sistem rudal jarak pendek, peningkatan patroli dan pengawasan laut oleh Komando Armada I di wilayah perairan Teluk Jakarta serta pesisir utara, serta penguatan satuan siber TNI untuk melindungi infrastruktur digital pemerintah dari serangan siber.
Di Aceh, penambahan kekuatan akan dialokasikan untuk memperkuat jajaran Komando Armada I dan satuan pengamanan pantai, dengan prioritas pada peningkatan intensitas patroli laut menggunakan Kapal Cepat Rudal (KCR) dan kapal patroli lainnya, serta pemasangan sistem sensor pantai (coastal radar) di pulau-pulau terdepan seperti Pulau Rondo. Sedangkan di Papua, implementasi smart approach membutuhkan pembentukan task force terpadu yang terdiri dari unsur infanteri untuk operasi taktis, unit zeni untuk membuka akses jalan dan membangun fasilitas publik, serta tim medis dan penyuluh masyarakat untuk program teritorial.
Kolaborasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta pemerintah daerah Papua dan Papua Barat menjadi kunci dalam menyinkronkan pembangunan infrastruktur dengan operasi keamanan, sehingga kehadiran pasukan tambahan benar-benar dirasakan sebagai bagian dari solusi pembangunan, bukan hanya sebagai alat represif semata.
Sinergi dan Kesiapsiagaan Menyeluruh
Keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan membangun sinergi yang solid antar berbagai pemangku kepentingan, baik di dalam internal TNI maupun dengan institusi sipil. Sinergi di internal TNI melibatkan optimalisasi kerja sama trimedia (Darat, Laut, Udara) di bawah satu komando operasi yang terpadu untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan memastikan respons yang cepat dan terkoordinasi.
Lebih luas lagi, kolaborasi dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui mekanisme Operasi Militer Selain Perang (OMSP) menjadi sangat krusial, terutama dalam penanganan ancaman hibrid dimana batas antara kejahatan konvensional dan gangguan kedaulatan semakin kabur. Selain itu, koordinasi dengan kementerian/lembaga seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Kemendagri, dan Kemenko Polkam diperlukan untuk menyelaraskan aksi keamanan dengan kebijakan politik, hukum, dan sosial-ekonomi. Sebagaimana ditegaskan oleh Menhan, kesiapsiagaan pertahanan tetap menjadi hal utama. Kesiapsiagaan ini tidak hanya mencakup kesiapan alutsista dan personel, tetapi juga kesiapan doktrin, pelatihan gabungan, dan sistem logistik yang andal untuk mendukung proyeksi kekuatan di tiga wilayah yang secara geografis sangat berjauhan tersebut.
Dengan sinergi dan kesiapsiagaan yang menyeluruh ini, diharapkan kedaulatan negara dapat dijaga tanpa harus mengorbankan hak-hak konstitusional warga negara dan tanpa memberikan celah bagi siapapun untuk menginjak-injak martabat bangsa.
Kebijakan penambahan pengerahan pasukan TNI di tiga Center of Gravity, Jakarta, Aceh, dan Papua merupakan suatu langkah strategis dan kontekstual dalam merespons lanskap ancaman nasional yang semakin kompleks. Analisis ini menunjukkan bahwa pendekatan yang diterapkan, khususnya smart approach di Papua, telah mempertimbangkan dimensi sosial-politik di samping dimensi keamanan semata, sehingga berpotensi untuk menciptakan stabilitas yang lebih berkelanjutan. Untuk memastikan efektivitas kebijakan ini, beberapa rekomendasi dapat diajukan.
Pertama, pemerintah perlu memastikan bahwa penambahan personel diiringi dengan peningkatan kualitas alutsista dan sistem pendukung berbasis teknologi untuk memaksimalkan daya cakup dan efektivitas pengawasan.
Kedua, diperlukan mekanisme evaluasi dan akuntabilitas yang transparan untuk memantau dampak sosial dari penempatan pasukan, khususnya di Papua, guna mencegah potensi pelanggaran HAM dan memastikan soft approach berjalan sebagaimana mestinya.
Ketiga, pembangunan kesejahteraan dan percepatan pembangunan infrastruktur di Aceh dan Papua harus menjadi agenda yang berjalan paralel dengan operasi keamanan, karena akar masalah ketidakstabilan seringkali terletak pada kesenjangan ekonomi dan ketiadaan keadilan. Dengan menerapkan rekomendasi ini, kebijakan pertahanan tidak hanya akan berfungsi sebagai instrumen keamanan reaktif, tetapi juga sebagai pilar penunjang bagi terwujudnya pembangunan nasional yang aman, lancar, dan berkeadilan sebagaimana amanat konstitusi.
Dr. Surya Wiranto, SH MH
Purnawirawan Laksamana Muda TNI, sehari-hari sebagai Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, dan Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia.

