Dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2025, Presiden menargetkan defisit APBN 2026 sebesar 2,48 persen dari PDB. Namun arah kebijakan berubah. Pada September 2025, pemerintah justru menaikkan proyeksi defisit menjadi 2,68 persen, yang kemudian disetujui DPR melalui UU APBN 2026. Tambahan defisit ini dipicu meningkatnya kebutuhan belanja, antara lain untuk program makan bergizi gratis dan koperasi desa merah putih.
Menurut Ibrahim, langkah tersebut berlawanan dengan ambisi menuju APBN tanpa minus.
“Jika defisit malah dinaikkan, mustahil mengejar APBN nol defisit hanya dalam satu tahun,” tegas Ibrahim Assuabi, dalam keterangannya yang dikutip redaksi di Jakarta, Rabu 26 November 2025.
Ia memastikan persoalan utama bukan hanya soal target, melainkan ketimpangan antara pertumbuhan belanja dan penerimaan negara. Penerimaan pajak – penopang terbesar APBN – belum pulih pascapandemi. Rasio pajak terhadap PDB terus menurun sejak 2022 hingga 2024, menandakan pendapatan negara tidak mampu mengimbangi percepatan belanja.
Dalam kondisi itu, Ibrahim menilai pemerintah tidak punya banyak pilihan selain kembali mengandalkan utang.
“Mau tidak mau, ruang fiskal akan ditutup dengan surat utang karena penerimaan tidak cukup kuat menopang lonjakan belanja,” ujarnya.
Meski defisit 2,68 persen masih di bawah batas 3 persen sesuai UU Keuangan Negara, Ibrahim mengingatkan bahwa batas tersebut bukan jaminan kesehatan fiskal.
“Angka maksimal bukan berarti aman. Jika pendapatan lemah, defisit sekecil apa pun tetap jadi beban ke depan,” katanya.
Ibrahim juga menyinggung respons pasar, terlihat dari pergerakan Rupiah yang sensitif terhadap kebijakan defisit. Mata uang Garuda ditutup menguat 43 poin ke Rp16.656 per Dolar AS pada Selasa sore, setelah sempat melemah ke Rp16.699. Untuk perdagangan Rabu, Ibrahim memperkirakan Rupiah bergerak fluktuatif. Ia memperkirakan Rupah ditutup di rentang Rp16.650 – Rp16.700 per Dolar AS.

