Jika negara lengah, judol tumbuh; jika negara bergerak, ia bisa ditekan. Dinamika ini tampak jelas dari upaya terpadu lintas lembaga yang mulai menunjukkan dampak nyata.
Kolaborasi antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Polri membentuk semacam sabuk pengaman digital yang menahan laju kebocoran uang rakyat.
Tanpa intervensi, potensi perputaran judi daring pada 2024 diperkirakan mencapai Rp981 triliun. Namun dengan langkah terkoordinasi, angka itu berhasil ditekan menjadi sekitar Rp354 triliun. Ini bukan sekadar statistik, melainkan ratusan triliun rupiah yang tidak jadi menguap ke jaringan ilegal.
Peran Komdigi menjadi sangat krusial di simpul hulu: ruang digital. Lewat pemutusan akses, penapisan konten, pemetaan server, serta penindakan terhadap iklan judi yang menjamur di platform daring, Komdigi melakukan kerja sunyi yang langsung memukul sumber suplai pemain. Di dunia maya, Komdigi bertindak sebagai penjaga gerbang yang menahan arus promosi, membatasi penetrasi aplikasi, dan mengganggu distribusi industri judi daring.
Ancaman pada 2025 lebih mengerikan. Tanpa pengawasan berlapis, potensi perputaran dana judi online dapat menembus Rp1.200 triliun. Namun dengan penguatan intervensi lintas lembaga, termasuk operasi digital Komdigi yang lebih agresif, angkanya diproyeksikan bisa ditekan hingga sekitar Rp200 triliun. Ini menegaskan satu hal: negara bisa menang jika terus menekan dari hulu hingga hilir.
Meski demikian, keberhasilan menekan perputaran tidak otomatis berarti kemenangan. Data OJK memperlihatkan besarnya skala persoalan: Rp58 triliun (2021), Rp104 triliun (2022), Rp337 triliun (2023), dan sekitar Rp360 triliun (2024). Enam bulan pertama 2025 saja sudah menyentuh Rp100 triliun. Artinya, sekali kendor, kebocoran akan kembali melebar.
Lonjakan transaksi mencerminkan kecepatan wabahnya. Dari 44 juta transaksi pada 2021 menjadi 95 juta pada 2022, kemudian 160 juta pada 2023, dan menembus 210 juta pada 2024. Semester pertama 2025 saja sudah sekitar 175 juta transaksi. Judi daring bekerja tanpa lelah, sementara birokrasi sering tertinggal oleh jam kerja.
Dampaknya beresonansi langsung ke rumah-rumah warga. Jumlah pemain melonjak dari sekitar 4 juta orang pada 2023 menjadi 10 juta pada 2024, dan masih sekitar 3 juta pemain aktif pada semester pertama 2025. Ini bukan sekadar statistik, tetapi kisah tentang keluarga yang tercekik pelan-pelan.
Nilai deposit memperlihatkan kubangan luka ekonomi: Rp34 triliun pada 2023, Rp51 triliun pada 2024, dan Rp18 triliun hanya dalam enam bulan pertama 2025. Uang ini tidak berubah menjadi produktivitas, melainkan menguap dalam pusaran ilegal.
Masalah judi daring bergerak beriringan dengan maraknya penipuan digital. Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal atau Satgas PASTI OJK menghentikan 1.841 entitas ilegal. Indonesia Anti-Scam Centre menerima 323.841 laporan, melibatkan 530.794 rekening. Namun yang berhasil diblokir baru sekitar 100.565 rekening. Kerugian publik mencapai Rp7,5 triliun, sementara dana yang berhasil diamankan hanya Rp383,6 miliar.
Namun satu pesan tetap terang: intervensi itu bekerja. Sinergi PPATK dalam melacak aliran dana, Komdigi dalam membersihkan ruang siber, BI dalam mengatur sistem pembayaran, OJK dalam mengawasi jasa keuangan, dan Polri dalam penindakan pidana adalah mata rantai yang saling mengunci. Lepas satu saja, pertahanan roboh.
Kini pertanyaannya bukan apakah negara mampu, melainkan apakah negara mau menjaga konsistensi. Judi online bukan sekadar perkara hukum, melainkan kebocoran kedaulatan ekonomi. Rupiah yang mengalir ke server asing adalah daya beli yang dicabut dari dompet rakyat.
Indonesia sedang bertempur di medan yang tak terlihat.
Dan dalam perang ini, setengah langkah adalah undangan kekalahan.
Oleh: Agung Nugroho
Direktur Jakarta Institute

