Di balik senyum para kiai dan bau harum kopi pesantren, tersembunyi labirin konflik yang telah tumbuh seperti gen bawaan.
NU bukan sekadar organisasi. Ia adalah organisasi raksasa yang hidup, bernapas, dan mewariskan satu sifat tetap dari generasi ke generasi, kemampuan bertengkar dengan cara paling sopan sekaligus paling rumit.
Sejak kelahirannya pada 1926, Deoxyribo Nucleic Acid alias DNA konflik itu sudah tertanam, mengalir turun-temurun, dan muncul setiap kali ada perebutan otoritas, siapa memimpin, siapa menentukan arah, siapa mengawal umat.
Pada masa awal, gesekannya masih seperti adu argumen antara santri rajin dan santri nakal, pelan, beradab, penuh hormat. Kiai sepuh ingin NU tetap seperti langgar kampung, memeluk tradisi tanpa banyak perubahan.
Kiai muda ingin NU membuka diri, menata madrasah modern, dan merapikan administrasi. Perdebatan tebal itu tidak pernah pecah menjadi perang, tetapi menjadi benih perselisihan yang kelak tumbuh seperti akar beringin masuk ke mana-mana.
Tahun 1952 menjadi guncangan pertama ketika NU keluar dari Masyumi karena merasa dipinggirkan. Kursi kabinet terlalu sedikit, suara tidak didengar, dominasi kelompok modernis terlalu kuat.
NU lalu membangun Partai NU. Sejak itu konflik internal seperti mendapat pupuk baru, ketika ulama punya partai, setiap keputusan berubah menjadi strategi politik.
Era KH Idham Chalid menjadi babak paling dramatis berikutnya. Idham adalah politisi dengan kelenturan luar biasa. Ia memimpin PBNU sejak 1956 hingga 1984, menjadi Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR, Ketua MPR, dan Ketua Partai NU.
Terlalu kuat untuk ditolak, terlalu dekat dengan istana untuk tidak dicurigai, terlalu mahir untuk dijatuhkan. Namun di balik kekokohan itu, banyak kiai menggerutu pelan.
NU kehilangan napas pesantren, terlalu sibuk mengurus politik PPP, dan terlalu jauh dari umat. Ketika Orde Baru memaksa fusi partai tahun 1973, Partai NU dilebur ke PPP, identitas seakan lenyap seperti sandal jepit hilang di serambi masjid. Seruan “kembali ke khittah” pun menggema, menandai bahwa DNA konflik itu sedang aktif kembali.
Ledakan besarnya terjadi pada Muktamar Situbondo 1984, sebuah kudeta paling santun dalam sejarah ormas Islam. Para kiai sepuh mengembalikan NU ke Khittah 1926 dan dengan itu menggeser hegemoni Idham.
Dari sana muncul sosok yang kemudian mengguncang bangsa, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Gur. Di bawah Gus Dur, NU berubah menjadi ormas vokal, kritis, dan mustahil dikendalikan.
Orde Baru langsung alergi. Maka diciptakan segala cara, tekanan halus, framing negatif, hingga kandidat tandingan bernama Abu Hasan pada Muktamar Cipasung 1994.
Namun drama itu berakhir memalukan bagi rezim karena Gus Dur menang mutlak. DNA konflik NU kembali membuktikan satu hal, organisasi ini bisa ditekan, tapi tidak bisa disetir.
Pasca Gus Dur, faksi-faksi bermunculan membawa tafsir masing-masing tentang masa depan NU. Ada yang merapat ke pemerintah, ada yang menjaga jarak, ada yang mengejar proyek, ada pula yang murni ingin melestarikan tradisi. Seperti hukum alam internal NU, ketika faksi terlalu banyak, konflik pasti meledak.
Hingga akhirnya tahun 2025, bab baru terbuka. Syuriah di bawah Rais Aam KH Miftahul Akhyar memecat Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya.
Gus Yahya menolak, melawan, dan menyatakan keputusan itu tidak sah. PBNU kembali pecah, administrasi macet, kubu-kubuan terbentuk, dan jamaah kembali bertanya-tanya, kapan NU benar-benar damai? Mungkin jawabannya sederhana, sejak awal, DNA konflik memang sudah tinggal di tubuh PBNU, dan ia selalu muncul setiap kali sejarah memanggilnya.
Pada akhirnya, setiap pertarungan di tubuh PBNU mengajarkan satu pesan moral yang tidak pernah berubah, organisasi sebesar apa pun hanya akan selamat jika para pemangkunya lebih mencintai amanah daripada ambisi.
Sehebat apa pun para kiai, selicin apa pun strategi politik, semua akan runtuh bila lupa bahwa NU lahir bukan untuk memperbesar ego siapa pun, tetapi untuk menjaga martabat umat, menuntun akhlak, dan memelihara warisan para pendiri.
Konflik boleh datang silih berganti, tetapi ia hanya akan menjadi ujian, bukan kehancuran, bila setiap tokoh ingat bahwa jabatan itu sementara, sedangkan tanggung jawab kepada Allah dan umat bersifat kekal.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

