Tumbler itu tertinggal di KRL. Lalu pemilik bertanya pada pihak Kereta: Oh, tumbler itu ada dan dititip pada penjaga. Penjaga yang tak punya, bahkan niat berdusta.
Besoknya, saat tumbler itu mau diambil yang punya, ternyata tumbler itu sudah tak ada. Penjaga juga tak menduga, karena sibuk berjaga, menjadi lupa.
Tapi penjaga bertanggung jawab. Bila tumbler itu tak ada, ia bersedia ganti yang serupa. Bukannya tenang, dia justru kesal dan tak suka, bikin status di media.
Dapat kabar petugas kereta itu dipecat. Ternyata, tidak. Justru kabarnya yang dipecat dia yang punya. Sebab, sudah bikin gaduh dan cari perkara yang bukan perkara.
Ijazah konon begitu juga. Dituduh palsu dan tak punya, justru yang menuduh dilaporkan dan dicari perkara. Dia lupa, ijazah itu sudah pernah penjarakan orang juga.
Mestinya asli atau palsu sudah disimpulkan dalam persidangan dulu. Tapi tidak! Ijazah itu tak diuji. Apalagi dibuka. Mestinya dibuka saja karena kasus sudah lama.
Tapi, tidak. Ijazah itu tetap dibawa ke polisi dan nanti baru dibuka di Pengadilan, bukan saat gelar perkara. Dulu penjarakan dua, kini 8 orang. Ijazah seperti senjata.
Seperti pemilik tumbler, bukannya tenang, pemilik ijazah justru merasa terhina. Ia tak mau orang itu bebas begitu saja. Harus diseret ke penjara, tapi belum bisa.
Padahal ia sudah dapat banyak sebanyak-banyaknya dari negara. Tapi ia masih saja merasa terhina. Kasus ijazah dan tumbler beda, tapi kemiripannya tetap ada.
Pemilik tumbler berakhir duka, tapi pemilik ijazah bisa saja berakhir suka. Siapa yang tahu? Pemilik tumbler awalnya saja dibela, pemilik ijazah pembelanya tetap terpelihara layaknya piaraan. Itu juga perbedaannya.
Erizal
Direktur ABC Riset & Consulting

