“Penolakan warga bukan hanya reaksi emosional, tetapi tindakan yang memiliki landasan hukum yang kuat untuk menuntut evaluasi hingga penghentian proyek,” kata Wasekjen Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Pahrian melalui keterangan tertulis di Jakarta, Selasa 2 Desember 2025.
Pahrian mengatakan, banyak warga mengeluhkan proses pengadaan tanah berjalan tanpa keterbukaan dan tanpa ruang dialog yang memadai. Padahal, UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum menegaskan bahwa pengadaan tanah harus dilakukan melalui musyawarah yang jujur, transparan, dan menghormati hak masyarakat.
Pasal 36-42 UU No. 2 Tahun 2012 tersebut menegaskan kewajiban pemerintah untuk membuka seluruh informasi, memberikan kesempatan keberatan, serta memastikan nilai ganti rugi yang layak berdasarkan penilaian independen.
“Ketika musyawarah hanya menjadi formalitas atau masyarakat merasa ditekan untuk menyetujui sesuatu yang tidak mereka pahami, maka proses tersebut telah cacat hukum secara prosedural,” kata Pahrian.
Selain itu, kata Pahrian, penderitaan warga yang merasa terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal mereka bertentangan dengan hak konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28G dan Pasal 28H, yang menjamin hak setiap orang atas rasa aman, perlindungan harta benda, dan kehidupan yang layak.
Tanah yang selama ini menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan tidak dapat diperlakukan semata-mata sebagai angka dalam laporan proyek. Proses pembebasan lahan yang mengabaikan keamanan sosial dan ekonomi warga dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM yang dijamin oleh konstitusi.
Menurut Pahrian, warga juga berhak meminta keterbukaan dokumen-dokumen proyek berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, termasuk dokumen Amdal, peta area terdampak, penetapan lokasi (penlok), serta dasar perhitungan ganti rugi.
Bila dokumen tersebut tidak dibuka atau hanya diberikan secara terbatas, masyarakat memiliki dasar yang kuat untuk menolak proses lanjutan seluruh proyek karena telah terjadi pelanggaran terhadap hak publik untuk mengetahui.
Lebih jauh lagi, lanjut Pahrian, pembangunan bandara wajib memiliki Amdal yang sah dan melibatkan masyarakat secara aktif, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 26 UU 32/2009 menegaskan bahwa tanpa pelibatan masyarakat, dokumen Amdal dapat dinyatakan batal. Jika Amdal tidak disusun dengan benar atau tidak mencerminkan kondisi sosial nyata masyarakat maka izin lingkungan proyek otomatis tidak memiliki dasar hukum, dan proyek wajib dihentikan sampai seluruh proses diperbaiki.
Dalam konteks pengadaan tanah, masyarakat juga memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas lokasi, nilai ganti rugi, hingga mekanisme pelaksanaan proyek berdasarkan Perpres No. 62 Tahun 2018 dan atau Perpres No. 78 Tahun 2023 dan aturan turunannya. Penolakan masyarakat atas dasar ketidaksesuaian prosedur adalah bagian dari mekanisme hukum yang sah dan wajib dihormati oleh pemerintah. Pemerintah daerah tidak boleh mengabaikan keberatan masyarakat dengan alasan mengejar target pembangunan.
“Penolakan masyarakat terhadap pembebasan lahan runway Bandara Arung Palakka bukanlah pelanggaran terhadap kebijakan nasional,” pungkas Pahrian.

