Namun kenyataannya, di banyak daerah kebijakan ini tidak berjalan mulus. Ada daerah yang lambat mengadopsi, ada yang membuat aturan turunan berbelit, bahkan ada yang mencoba “mengakali” dengan nomenklatur baru.
Ini jelas bukan masalah teknis. Ini masalah resistensi birokrasi — dan resistensi seperti ini harus disorot terang-terangan.
BBN Kendaraan Bekas: Pungutan yang Sudah Layak Dikubur
Selama bertahun-tahun, publik dipaksa membayar pungutan yang secara ekonomi tidak produktif, secara hukum lemah, dan secara sosial merugikan.
Tidak ada justifikasi rasional untuk mempertahankan BBN kendaraan bekas. Karena itu
UU HKPD memutus rantai tersebut, menyisakan hanya enam komponen biaya resmi: PKB, SWDKLLJ, STNK, BPKB, TNKB, dan pengesahan STNK.
Ini sudah final. Sudah sah. Sudah berlaku.
Lalu apa hambatannya?
Hambatan Paling Nyata: Mentalitas Daerah yang Tak Siap Melepas Pungutan Lama
Ada tiga bentuk resistensi yang terjadi di lapangan:
1. Menunda perubahan dengan alasan “menunggu Perda baru”
Padahal UU sudah berlaku nasional. Tidak ada dasar hukum bagi daerah untuk mengulur-ulur dengan alasan harmonisasi atau penyusunan teknis. Implementasi pajak tidak boleh kalah oleh alasan birokrat yang malas bergerak.
2. Menciptakan pungutan baru berkedok layanan tambahan
Beberapa daerah mencoba membuat nomenklatur seperti “biaya administrasi peralihan”, “jasa balik data”, atau “pemeriksaan dokumen”.
Ini bukan kreativitas fiskal. Ini perlawanan terselubung terhadap UU.
3. Ketakutan kehilangan penerimaan daerah
Faktanya, kontribusi BBN kendaraan bekas sangat kecil. Tapi karena sudah bertahun-tahun nyaman dengan pola lama, sebagian daerah menolak berubah. Ini status quo bias yang merugikan publik.
Dampak Resistensi: Publik Dirugikan, Tertib Data Terganggu
Jika daerah terus menunda:
– Balik nama tetap mahal
– Banyak kendaraan tetap tidak dibaliknama
– Data kepemilikan dan pajak tetap kacau
– Penegakan hukum tak berjalan
– Pasar kendaraan bekas terhambat
Padahal, penghapusan BBN kendaraan bekas justru meningkatkan kepatuhan PKB tahunan dan memperbaiki akurasi database nasional.
Ini Saatnya Pemerintah Pusat Bertindak Tegas
Reformasi fiskal tidak bisa berjalan apabila daerah masih bebas melakukan interpretasi fleksibel terhadap UU. Kemendagri dan Kemenkeu harus lebih agresif:
– Mengawasi realisasi di setiap daerah
– Melarang pungutan baru yang menggantikan BBN
– Menindak Perda atau Pergub yang melanggar UU HKPD
– Memberikan pedoman implementasi yang mengikat, bukan sekadar imbauan
If needed, pemerintah pusat harus mengirim sinyal keras bahwa tidak ada tawar-menawar dalam reformasi pajak daerah.
Kesimpulan: Reformasi Sudah Benar, Tapi Ada yang Mengganjal — dan Itu Harus Dibersihkan
UU No. 1/2022 menghapus BBN kendaraan bekas untuk membebaskan publik dari pungutan tidak produktif dan mendorong tertib administrasi kendaraan.
Kebijakannya benar. Arahnya tepat. Masalahnya bukan di regulasi. Masalahnya di daerah yang enggan berubah.
Dan kalau kita ingin Indonesia bergerak menuju sistem fiskal modern yang sederhana, jujur, dan efisien, resistensi seperti ini harus dipaksa runtuh. Tidak dengan kompromi, tapi dengan kepastian hukum.
Kenny Wiston
Praktisi Hukum

