Jokowi yang, entah dengan kesadaran penuh atau sekadar naluri politik ala pedagang ikan, telah melahirkan kebijakan yang bukan hanya menguji kesabaran bangsa. Bahkan umat. Terakhir, kebijakannya juga membelah warga Nahdliyyin seperti pisau komodo membelah semangka di warung pinggir jalan.
Ceritanya begini, NU yang merupakan ormas besar yang umatnya tersebar di mana-mana itu, bisa-bisa mendadak tidak lagi menjadi rumah besar umat. Ia bisa berubah menjadi ladang tambang konflik yang berkilau seperti mutiara. Hanya saja, mutiaranya bukan di Meksiko seperti kisah Kino dalam The Pearl, tapi tepat di Kaltim.
Luas tambang itu sepuluh persen dari luas Jakarta. Seluas 26 ribu hektar! Bayangkan saja, kalau kita bangun pesantren rata-rata 10 hektare, dengan masjid megah dan asrama santri dua lantai, maka kita bisa bikin 2.600 pesantren plus bonus area parkir mobil Rais Aam dan lapangan futsal ukuran internasional.
Tapi negeri ini memang punya kegemaran unik dimana hadiah negara kepada ormas sering lebih mirip bom waktu ketimbang rahmat pembangunan. Tunggu saatnya meledak. Ketika Jokowi memberikan izin tambang kepada NU, ia seperti melemparkan granat politik di tengah halaman pesantren.
Ia meledak perlahan, menebarkan serpihan yang memisahkan satu kiai dengan kiai lainnya, satu kubu dengan kubu lainnya. Sampai-sampai struktur Syuriah dan Tanfidziyah yang dulu bak kakak beradik suwung kini saling menatap seperti dua tetangga yang berebut warisan sebidang sawah warisan buyut.
Rais Aam Miftachul Akhyar berdiri tegak dengan Syuriah di belakangnya, sementara KH Yahya Cholil Staquf mengibarkan bendera Tanfidziyah seperti jenderal perang yang tidak sudi mundur sejengkal. Kyai Miftach bilang Yahya sudah bukan ketua umum lagi, tapi Yahya bertahan.
Semua ini, kata media-media arus utama, bermula antara lain dari tambang yang izinnya diberikan Jokowi kepada ormas. Ya tambang itu, yang kini bukan hanya menggali batu bara, tapi juga menggali luka dan rasa saling curiga di rumah besar yang dahulu menjadi benteng persatuan umat.
Ormas lain, seperti Muhammadiyah, PUI, Persis, sampai persekutuan gereja, juga ditawari dan diberi konsesi yang sama. Tapi anehnya, mereka hening-hening saja, tak ada yang bertengkar sampai meja rapat terjungkir. Saya dengar Muhammadiyah sudah membentuk tim untuk mengembalikan izin itu atau tidak.
Barangkali banyak ormas sadar bahwa tambang itu bukan hadiah, tapi ujian. Bahwa izin tambang bukan sertifikat rumah, tapi catatan kredit politik yang bunganya mencekik di kemudian hari. Jokowi dulu menggandeng tokoh NU dalam pencalonan presiden, dan ia pun bikin kebijakan kasih izin tambang.
Di tangan NU, hadiah tambang ini menjelma seperti “mutiara Kino” yang begitu menggoda, memukau, dan kemudian mematahkan tulang harmoni sebuah keluarga besar. Kisah NU sama seperti Kino mendapatkan mutiara, namun pada akhirnya kehilangan mutiara terbesar yang selama ini dimilikinya.
Semula organisasi yang solid dan bersahabat itu hanya ingin mencari pintu keluar dari ketergantungan finansial. Tetapi jalan menuju tambang ternyata penuh lubang tikus oligarki, penuh jebakan korporasi tambang, dan penuh kepentingan yang mengambang seperti perahu di lautan kabut.
Media arus utama seperti Tempo menyebut, selain Boy Thohir yang masuk dari ujung barat, masuk pula Hashim Djojohadikusumo dari arah timur. Mungkin juga ada yang masuk dari pintu utara dan pintu selatan, bahkan mungkin juga dari pintu Senayan.
Oligark besar berdatangan seperti sales properti menawarkan brosur di mal. Semua menawarkan kerjasama, semua membawa proposal, semua memakai nama umat sebagai alasan sakral, padahal yang dipertaruhkan bukan lagi umat, tapi kuasa, rente, dan profit yang tak kunjung habis.
Pertikaian itu akhirnya membesar, mengetuk pintu Syuriah, menggedor meja rapat harian PBNU, dan meletup menjadi ultimatum: ada yang harus turun, ada yang harus mundur dari jabatan. Seolah NU bukan lagi organisasi tradisional yang punya akar budaya keagamaan.
Tak sedikit orang melihat NU kini seperti perusahaan tambang mini yang pengurusnya saling berebut kontraktor. Tanah seluas 26 ribu hektar itu kini bukan lagi tanah. Ia adalah kaca pembesar yang memperlihatkan betapa rapuhnya persatuan ketika diuji oleh sumber daya alam.
Betapa mudahnya khittah digadaikan ketika kekayaan alam berubah menjadi kutukan. Ini membenarkan tesis Richard Auty yang telah lama bergema dimana kekayaan alam tak selalu membawa berkah, bahkan sering menjadi iblis yang menyeret institusi sampai babak belur.
Dan kita pun bertanya lagi, mengapa muaranya kembali ke Jokowi? Karena dialah sumber keputusan itu. Dialah yang membuka pintu tambang untuk ormas-ormas keagamaan tanpa bertanya, tanpa studi kelayakan sosial, dan tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya.
Jokowi menyangka sedang memberi hadiah, padahal sedang menyalakan api lilin di ladang minyak.
Di tengah semua kegaduhan itu, sejarah kembali mengajarkan sesuatu. Ketika Kino membuang mutiara itu ke laut di akhir cerita, ia menyesal bukan karena kehilangan kekayaan, tapi kehilangan anaknya. Di NU, mutiara itu bukan tambang, bukan konsesi, bukan surat izin, tetapi kebersamaan, harmoni budaya, marwah organisasi, dan rumah besar yang menampung umat.
Barangkali tragedi ini menjadi pelajaran yang terlalu mahal, tapi tetap patut direnungkan bahwa kadang yang kita kira anugerah justru bencana. Kadang tanah subur justru menyuburkan dendam. Kadang angka-angka besar dalam hal ini 26 ribu hektar, bukan menjelaskan kekuatan, tapi mengungkap betapa lemahnya benteng moral di hadapannya.
Mungkin pada akhirnya ini bukan lagi soal Jokowi, atau Yahya, atau Miftachul Akhyar. Ini tentang kita semua, manusia yang terlalu sering memilih mutiara palsu ketimbang mutiara sejati. Tentang umat yang lebih mudah digiring ke ladang batu bara daripada ke ladang ilmu. Tentang organisasi besar yang lupa bahwa persatuan bukan warisan, tapi perjuangan yang harus dijaga setiap hari.
Karena ketika tambang menjadi medan pertempuran, lembaga yang dulu dibangun di atas nilai sufistik dan tradisi pesantren berubah menjadi arena tarik tambang raksasa. Dan ketika debu batu bara itu perlahan turun, kita menyadari bahwa yang hancur bukan hanya struktur kepengurusan, melainkan juga kepercayaan umat.
Barangkali tragedi ini adalah teguran halus dari sejarah yang hendak berkata “jangan biarkan kekayaan alam mengubah manusia menjadi miskin jiwa!”

