Seminar ini menegaskan kembali satu prinsip mendasar yang harus dipahami semua pihak bahwa disharmonis dalam hubungan kerja, apa pun bentuknya, tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.
“Kami ingin mengingatkan seluruh pihak: disharmonis bukan alasan PHK. Negara sudah mengatur dengan jelas. Jika alasan ini dibiarkan, maka setiap pekerja akan berada dalam ketidakpastian,” tegas Pimpinan Pusat FSPMI–KSPI, Abdul Bais.
Dia menjelaskan hak bekerja adalah hak konstitusional, dijamin oleh UUD 1945 dan dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Karena itu, PHK hanya boleh dilakukan berdasarkan alasan yang secara tegas diatur undang-undang, bukan berdasarkan persepsi subjektif, penilaian sepihak, atau kebijakan internal perusahaan.
Penegasan ini juga sejalan dengan surat resmi Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tertanggal 5 Juni 2012, Nomor B.340/PHIJSK/VI/2012.
Dalam surat itu ditegaskan bahwa PHK tidak dapat dilakukan berdasarkan peraturan di bawah undang-undang, apalagi alasan-alasan yang tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Surat ini menunjukkan bahwa sejak lama pemerintah pun mengakui, PHK sepihak yang tidak berlandaskan undang-undang adalah tindakan yang tidak sah.
“Kalau disharmonis dijadikan alasan, maka hubungan industrial berubah menjadi alat represi. Ini preseden buruk bagi demokrasi di tempat kerja,” ujar Abdul Bais.
Pasal 28D UUD 1945 menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sementara Pasal 28J menegaskan bahwa pembatasan hak hanya boleh dilakukan melalui undang-undang. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi perusahaan atau pejabat mana pun untuk menciptakan alasan PHK di luar yang telah ditentukan undang-undang.
FSPMI menyerukan agar Pemerintah menegakkan supremasi hukum ketenagakerjaan, memastikan tidak ada PHK yang dilakukan tanpa putusan lembaga penyelesaian perselisihan, serta menindak tegas perusahaan yang menjadikan disharmonis sebagai alasan pemutusan hubungan kerja.
“Pekerja tidak boleh menjadi korban tafsir sepihak. Hukum sudah memberikan batasan yang jelas. Negara wajib hadir menegakkan itu,” tandas Abdul Bais.

