Situasi tersebut semakin memilukan ketika beredar informasi mengenai kerusakan lingkungan yang diduga berkaitan dengan kebijakan pengelolaan kawasan dan praktik eksploitasi alam yang keliru. Duka para korban pun bercampur dengan rasa kecewa dan amarah melihat kondisi hutan yang kian porak-poranda.
Dalam kondisi darurat saat ini, seluruh energi bangsa seharusnya dipusatkan pada upaya kemanusiaan. Langkah cepat mulai dari evakuasi, penyelamatan jiwa, penyaluran bantuan, hingga pemulihan kebutuhan dasar warga harus menjadi prioritas utama. Pemerintah wajib memastikan seluruh korban terdampak segera mendapatkan bantuan yang dibutuhkan beserta layanan pendukung lainnya.
Setelah fase tanggap darurat mereda, pemerintah wajib melakukan penelusuran menyeluruh untuk mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam perusakan kawasan hutan dan wilayah lindung yang diduga memperparah skala bencana. Siapa pun yang terbukti terlibat harus dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Para pelaku pembalakan liar, pertambangan tanpa izin, manipulasi tata ruang, dan penyalahgunaan perizinan harus diproses secara tegas sesuai ketentuan hukum yang berlaku, terutama Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penegakan hukum juga perlu merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara untuk memastikan seluruh bentuk eksploitasi ilegal dan pelanggaran lingkungan ditindak tanpa kompromi.
Ketiga regulasi tersebut mewajibkan negara menjaga fungsi lindung kawasan hutan serta menindak setiap bentuk perusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian publik, termasuk bencana ekologis. Dengan demikian, pemerintah — khususnya aparat penegak hukum — memiliki landasan yang kuat untuk bertindak tegas. Masyarakat juga perlu berperan aktif dengan memberikan informasi, melakukan pengawasan, dan bahkan membuat laporan resmi guna mendukung proses penegakan hukum.
Merujuk data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebanyak 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mengalami deforestasi pada periode 2016-2025. Angka tersebut dianggap sebagai salah satu faktor utama meningkatnya risiko banjir dan longsor di ketiga provinsi. Deforestasi jutaan hektare ini berkaitan dengan aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, Hak Guna Usaha (HGU) sawit, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), proyek geotermal, PLTA, dan PLTM.
Luasan hutan yang tergerus tersebut melemahkan daya dukung ekologis, terutama di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang seharusnya berperan sebagai penyangga alami terhadap bencana. Dengan melihat data tersebut, tidaklah keliru apabila masyarakat menilai bahwa musibah banjir dan longsor di Sumatera merupakan akibat dari kesalahan kebijakan di masa lalu yang mengabaikan kelestarian lingkungan.
Walhi juga menyebut bahwa bencana di ketiga provinsi tersebut bersumber dari kerusakan DAS besar di bentang Bukit Barisan, khususnya pada kawasan hulu yang mengalami degradasi berat. Di Sumatera Utara, wilayah paling terdampak berada di Ekosistem Harangan Tapanuli atau Ekosistem Batang Toru, yang meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga.
Masih merujuk informasi Walhi, Ekosistem Batang Toru telah kehilangan 72.938 hektare tutupan hutan selama periode 2016–2024 akibat aktivitas 18 perusahaan. Kerusakan itu diperparah oleh pertambangan emas ilegal dan pembangunan PLTA Batang Toru yang dituding merusak badan sungai serta memutus habitat satwa kunci di kawasan tersebut.
Untuk Aceh sendiri, terdapat 954 DAS dan sekitar 60 persen di antaranya berada dalam kawasan hutan, sementara 20 DAS telah tergolong kritis. DAS Krueng Trumon yang memiliki luas 53.824 hektare telah kehilangan 43 persen tutupan hutan dalam periode 2016-2022. DAS Singkil yang ditetapkan melalui SK 580 seluas 1.241.775 hektare kini hanya menyisakan 421.531 hektare tutupan hutan. Dalam satu dekade terakhir, 66 persen area hutan di DAS ini hilang, atau sekitar 820.243 hektare. DAS Jambo Aye mengalami kerusakan 44,71 persen, DAS Peusangan 75,04 persen, DAS Krueng Tripa 42,42 persen, dan DAS Tamiang 36,45 persen.
Di Sumatera Barat, DAS Aia Dingin seluas 12.802 hektare mengalami kehilangan 780 hektare tutupan pohon pada periode 2001-2024. Kerusakan terutama berada di kawasan hulu yang secara topografis berada pada kelerengan terjal dan merupakan bagian dari kawasan konservasi Bukit Barisan. Kerusakan ini menghilangkan fungsi penting hutan sebagai pengendali limpasan air dan penahan banjir bandang. Walhi Sumbar menegaskan bahwa deforestasi, pertambangan emas ilegal, dan lemahnya penegakan hukum telah menciptakan akumulasi krisis ekologis yang membuat Sumbar terus dilanda bencana.
Fakta tunggul-tunggul kayu terseret arus banjir di sejumlah lokasi semakin memperkuat dugaan bahwa penebangan hutan di wilayah hulu DAS masih berlangsung. Praktik eksploitasi hutan yang dilegalkan melalui revisi tata ruang atau pembiaran terhadap aktivitas ilegal telah meniadakan fungsi ekologis kawasan hutan, yang seharusnya dilindungi sesuai Pasal 26–29 UU Kehutanan dan Pasal 35 UU PPLH yang melarang kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
Senada dengan Walhi, Greenpeace juga menyampaikan keterangan serupa. Atas bencana banjir dan longsor di Pulau Sumatra tersebut, Greenpeace mendukung seruan agar pemerintah menetapkan status darurat bencana nasional dan segera melakukan penanganan cepat.
Merujuk pada penjelasan Greenpeace, bencana banjir dan longsor di Sumatra merupakan tanda nyata dari dua krisis besar: dampak krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang berlangsung menahun. Siklon tropis Senyar — fenomena langka di dekat garis ekuator– memicu hujan ekstrem yang memperparah banjir.
Atas kondisi tersebut, Greenpeace menilai pemerintah harus menetapkan kebijakan iklim yang lebih ambisius dan menghentikan berbagai “solusi palsu” yang tidak dijalankan secara nyata. Kerusakan hutan dan alih fungsi lahan disebut sebagai penyebab utama besarnya dampak banjir. Analisis Greenpeace menunjukkan bahwa di banyak provinsi di Sumatera, tutupan hutan alam telah menyusut drastis; kini hanya tersisa 10–14 juta hektare atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatra. Mayoritas DAS berada dalam kondisi kritis akibat hilangnya tutupan hutan di wilayah hulu.
Greenpeace juga sejalan dengan WALHI dalam menyoroti kerusakan parah di DAS Batang Toru, salah satu bentang hutan tropis terakhir di Sumatera Utara. Sejak 1990-2022 telah terjadi deforestasi sekitar 70 ribu hektare, sementara berbagai perizinan industri rakus lahan—termasuk PLTA Batang Toru — menekan habitat orang utan Tapanuli dan memicu risiko erosi hingga 31,6 juta ton per tahun.
Greenpeace menegaskan bahwa pemerintah telah gagal mengelola hutan dan lahan secara benar. Akibat kegagalan tersebut, hutan Sumatra hampir habis dan masyarakat harus menanggung dampak ekologis yang sangat berat.
Melihat kondisi ini, Greenpeace meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi dan mencabut izin-izin bermasalah di Sumatra, menghentikan deforestasi di wilayah lain seperti Papua, Raja Ampat, dan Merauke, serta mengakhiri model pembangunan yang mengorbankan lingkungan demi pencapaian target ekonomi semata.
Sementara itu, pembaruan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan situasi yang sangat mengkhawatirkan. Hingga Kamis sore, 4 Desember 2025, jumlah korban meninggal akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah mencapai 836 orang.
Informasi ini disampaikan langsung oleh Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam konferensi pers daring melalui kanal YouTube BNPB pada Kamis sore tersebut dari Banda Aceh.
Korban jiwa tersebut terdiri atas 325 orang di Aceh (penambahan 48 jiwa), 311 orang di Sumatera Utara (penambahan 12 jiwa), dan 200 orang di Sumatera Barat (penambahan 6 jiwa). Dalam laporan yang sama, sebanyak 518 orang dinyatakan hilang, yang meliputi 170 orang di Aceh, 127 orang di Sumatera Utara, dan 221 orang di Sumatera Barat. Selain itu, dilaporkan pula adanya ribuan pengungsi, dan diyakini jutaan warga terdampak langsung oleh banjir dan longsor ini.
Melihat uraian tersebut, jelas bahwa bencana banjir dan longsor di Sumatra merupakan tragedi ekologis yang sangat memilukan dan menyayat hati. Banyaknya korban jiwa serta besarnya kerusakan memperdalam luka kolektif bangsa.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh beredarnya temuan mengenai kerusakan hutan dan DAS yang diduga kuat menjadi salah satu faktor penyebab utama bencana. Negara harus hadir sepenuhnya, bukan hanya dengan empati dan bantuan, tetapi juga dengan penegakan hukum yang tegas dan konsisten untuk memastikan tragedi semacam ini tidak terus berulang.
Sugiyanto
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)

