Sikap ini ditegaskan ekonom Unusia, Dr. Muhammad Aras Prabowo dalam Halaqah Kebangsaan bertema “Sinergi Negara, Pesantren, UMKM dan Koperasi: Pilar Ekonomi Umat di Era Digital” yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Gondrong Nurul Iman Al Barkah, Tangerang.
Aras menilai ekonomi pesantren tidak bisa lagi dipahami sebatas kantin, koperasi kecil, atau warung santri.
Ekonomi pesantren harus dilihat sebagai ekosistem utuh yang menghubungkan unit usaha internal pesantren, UMKM santri dan alumni, lembaga keuangan mikro syariah (BMT, BWM, koperasi syariah), serta instrumen sosial-keagamaan seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF).
“Kalau negara serius menjadikan pesantren pilar ekonomi umat, maka kita wajib menggeser paradigma dari ‘usaha kecil di halaman pesantren’ menuju ekosistem digital berbasis syariah yang terhubung dengan rantai nilai halal nasional,” ujar Aras dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Selasa, 9 Desember 2025.
Menurutnya, selama ini banyak program negara yang datang ke pesantren bersifat seremonial: pelatihan singkat, bantuan alat, atau modal kecil yang tidak terintegrasi ke dalam desain besar kemandirian pesantren.
Aras menyoroti sedikitnya tiga masalah struktural yang perlu dijawab secara kritis. Pertama, fragmentasi kebijakan: program OPOP, BWM, koperasi, dan UMKM sering berjalan sendiri-sendiri tanpa desain ekosistem yang jelas.
Kedua, literasi manajerial dan digital pengelola pesantren masih rendah, sehingga sulit memenuhi standar akuntabilitas, pelaporan, dan akses pembiayaan formal. Ketiga, minimnya data dan pemetaan ekonomi pesantren membuat kebijakan pemerintah cenderung spekulatif dan tidak tepat sasaran.
Karena itu, ia mendorong pendekatan baru yang lebih strategis.
“Negara harus berhenti memposisikan pesantren sebagai ‘objek bantuan’. Pesantren adalah mitra setara yang punya modal sosial, jaringan, dan legitimasi keagamaan. Tugas negara adalah memastikan ada kebijakan fiskal, regulasi, dan infrastruktur digital yang benar-benar memihak pada ekosistem pesantren,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjut dia, pesantren juga wajib berbenah dengan memperkuat tata kelola koperasi, mengintegrasikan kurikulum kewirausahaan dan literasi keuangan, serta membuka diri pada kolaborasi dengan kampus dan pelaku industri halal.
Unusia sendiri menyiapkan beberapa langkah konkret: pengembangan riset dan policy brief tentang ekonomi pesantren; desain model bisnis koperasi dan UMKM pesantren yang adaptif terhadap ekonomi digital; serta program pendampingan akuntansi, manajemen, dan pemasaran digital bagi santri dan pengelola unit usaha.
“Target kami sederhana tapi tegas: dalam beberapa tahun ke depan, pesantren tidak lagi sekadar penerima bantuan, tetapi menjadi aktor utama dalam ekonomi halal, keuangan mikro syariah, dan inovasi sosial berbasis ZISWAF,” jelasnya.
Di tengah ketimpangan dan tekanan ekonomi global, UNUSIA memandang penguatan ekonomi pesantren bukan agenda pinggiran, melainkan strategi inti untuk memastikan kedaulatan ekonomi umat.
Pesantren yang mandiri, terkoneksi digital, dan dikelola profesional diyakini akan menjadi garda depan ekonomi Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan berkeadilan sosial.

