Hasil peninjauan menemukan sejumlah temuan serius. Bandara yang dibangun pada era Presiden Joko Widodo itu beroperasi tanpa kehadiran otoritas resmi negara. Tidak ada kantor Bea Cukai, Imigrasi, maupun otoritas penerbangan sipil yang seharusnya berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Menyikapi ini, Ketua Umum Partai Masyumi, Ahmad Yani, menggugat praktik pengelolaan investasi yang dinilai melenceng jauh dari amanat konstitusi. Ia menuntut pemulihan kedaulatan yang terkoyak oleh dominasi korporasi China itu dan dugaan praktik yang menyimpang dalam pengelolaan Tenaga Kerja Asing (TKA).
“Ini bukan sekadar masalah teknis. Ini masalah kedaulatan. Bagaimana mungkin ada bandara yang minim otoritas negara? Jika pintu gerbangnya saja tidak dijaga, wajar jika rakyat curiga bandara ini menjadi karpet merah bagi masuknya TKA ilegal. Kita seperti menyerahkan kunci rumah sendiri kepada tamu,” tegas Ahmad Yani lewat keterangan resminya, Selasa, 9 Desember 2025.
Kritik Partai Masyumi menukik pada anomali data makroekonomi. Di saat Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 7,5 juta rakyat Indonesia menganggur (Agustus 2024), data Kementerian Ketenagakerjaan justru menunjukkan TKA asal Tiongkok (China) yang justru mencapai hampir 50 persen dari total pekerja asing.
“Sangat menyakitkan data ini. Di saat kita butuh makan, impor tenaga kerja asing malah dibuka. Ini mencederai keadilan rakyat. Paradoks pembangunan seperti ini tidak bisa kami terima,” ujar Yani dengan nada prihatin.
Investigasi Ombudsman RI dan temuan lapangan mengonfirmasi bahwa TKA di Morowali dan Konawe tidak hanya mengisi pos tenaga ahli, melainkan merambah sektor unskilled labor (buruh kasar) seperti sopir dump truck, operator alat berat, hingga buruh gudang. Hal ini jelas melanggar UU No. 13 Tahun 2003.
“Pekerjaan sopir atau buruh gudang itu bukan high-tech. Rakyat kita sangat mampu mengerjakannya. Membiarkan posisi buruh kasar diisi asing adalah pelanggaran hukum positif yang terang-terangan. Posisi itu haram diisi asing dan wajib dikembalikan 100 persen kepada pekerja lokal,” tegas Ahmad Yani.
Partai Masyumi juga membongkar ilusi keuntungan ekonomi. Kontribusi pajak dari smelter asing dinilai minim akibat obral fasilitas Tax Holiday hingga 25 tahun.
“Kita kehilangan nikel yang dikeruk habis, lingkungan rusak, tapi negara tidak dapat pajak memadai karena diobral lewat Tax Holiday. Keuntungan utamanya lari ke negara asal investor (capital flight). Ini namanya kita tumpur,” sindir Yani.
Masalah kian pelik karena ada diskriminasi upah. Laporan serikat pekerja mengungkap gaji TKA jauh lebih tinggi dibanding pekerja lokal untuk beban kerja yang sama. Ahmad Yani menyebut praktik ini sebagai “penjajahan gaya baru” dan menuntut penerapan prinsip Equal Pay for Equal Work.
Selain itu, aspek keselamatan kerja (K3) yang buruk tercermin dari tragedi ledakan smelter PT ITSS yang menewaskan puluhan pekerja—menjadi bukti lain bahwa investasi ini dibayar dengan nyawa manusia. Investigasi Independen K3, bentuk Tim Pencari Fakta Independen untuk kasus kecelakaan kerja. Cabut izin perusahaan yang lalai.
Partai Masyumi juga mempertanyakan, transparansi Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) sebesar USD 100 per bulan/orang. Audit Transparansi Dana TKA dengan buka data realisasi pembayaran dana kompensasi TKA ke publik.
“Ke mana larinya uang jutaan dolar itu? Publik berhak tahu. Kami mendesak audit total,” tegas Yani.
Pemerintah wajib mengaudit seluruh perusahaan di Morowali, Weda Bay, dan Konawe. Restorasi Pasal 33 UUD 1945 di mana sektor hulu pertambangan wajib dikuasai negara. Asing hanya boleh di hilir berteknologi tinggi dengan syarat transfer ilmu (transfer teknologi).
“Bumi, air, dan kekayaan alam adalah untuk kemakmuran rakyat Indonesia, bukan untuk kemakmuran investor asing semata. Partai Masyumi tidak anti-investasi, tapi kami anti terhadap investasi yang menjajah dan tidak menghormati kedaulatan NKRI,” pungkasnya.

