“Beberapa produksi difilmkan sangat dekat dengan pura yang seharusnya untuk spiritualitas, bukan pornografi. Mereka memperlakukan Bali seperti set film belaka, mengabaikan bobot budaya dan religius tempat-tempat di Bali,” kata pendiri Hey Bali, Glostanovlatto, dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Selasa, 9 Desember 2025.
Rekaman yang dikantongi Hey Bali menunjukkan industri pornografi luar memproduksi konten di area sekitar pura sebagai lokasi syuting. Jaraknya bahkan hanya beberapa meter dari batas kawasan suci. Namun, sejak peringatan pertama disampaikan, aparat seperti kehilangan nyali.
Fakta terungkap jauh sebelum artis Inggris Bonnie Blue dan 17 orang lainnya ditangkap di vila Pererenan pekan lalu, produksi film dewasa profesional sudah berlangsung terang-terangan. Tinjauan eksklusif Hey Bali menemukan klip mentah dari sumber rahasia yang memperlihatkan vila dengan pemandangan langsung ke zona sakral.
Dinding batu pura dan kain poleng kuning-putih yang melambangkan Surya tampak jelas di latar, sementara para pemeran beraksi hanya sekitar satu meter dari batas area suci. Tak ada rasa bersalah, tak ada rasa hormat.
Sejak Agustus 2025, Hey Bali bersama jurnalis lokal sudah mencium ketidakberesan. Polanya jelas, WNA masuk berkedok turis membawa alat produksi profesional, berpindah-pindah vila secara terkoordinasi, hingga scouting lokasi di kawasan bernilai budaya tinggi.
“Kami sudah mengangkat tanda bahaya sejak saat itu. Data dan rekaman lengkap. Tapi respons otoritas dingin. Nyaris tak ada aksi,” tegas Glostanovlatto.
Karena pembiaran itulah, para kru produksi kian nekat. Saat kelompok Bonnie Blue akhirnya dibekuk, jaringan produksi sudah sempat mengakar hampir setahun penuh.
Bagi masyarakat Bali, pura bukan sekadar bangunan. Ia adalah entitas hidup, titik temu manusia, leluhur, dan para dewata. Menjadikannya latar konten cabul jelas pukulan telak bagi kehormatan budaya dan religi Pulau Dewata.
Masalah makin rumit dengan hadirnya ‘wisatawan konten’. Para kreator OnlyFans, performer berbasis langganan, hingga aktor dewasa bebas berburu vila dengan visual ikonik Bali, termasuk yang dekat pura, demi cuan.
“Jika tidak ada perubahan sistemik, produksi semacam ini akan terus terjadi. Mereka akan lebih hati-hati, lebih tertutup, dan lebih sulit dilacak. Bali akan tetap jadi target karena dianggap cantik, terbuka, dan mudah dieksploitasi,” tegas Glostanovlatto.

