Sebab, diawalnya luas hutan sekitar 162 juta Ha ibarat gadis “perawan” atau merupakan tutupan dan pelindung bagi lingkungan hidup. Lalu munculnya kebijakan pemerintah untuk memberikan izin konsesi penguasaan hutan kepada beberapa pihak/korporasi. Izin konsesi adalah izin atau hak yang diberikan oleh pemerintah atau entitas lain untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) atau fasilitas umum kepada pihak lain (biasanya perusahaan swasta).
Artinya, konsesi jelas memainkan peran penting dalam pemanfaatan SDA dan penyediaan layanan publik, yang mana pemerintah atau pemilik sumber daya memberikan hak istimewa/eksklusif kepada pihak lain. Dalam hal mengelola atau memanfaatkan SDA itu juga terdapat ketentuan yang mengikat. Pertanyaannya, kepada perusahaan swasta/korporasi siapa saja izin konsesi penguasaan hutan untuk industri sawit dan tambang tersebut diberikan?
Tulisan ini mencoba mengurai hubungan antara kebijakan pemberian izin konsesi hutan (pemanfaatan), berkurangnya luas hutan dan kaitannya dengan kekayaan para korporasi serta dampak deforestasi bagi lingkungan.
Kebijakan Konsesi Ugal-ugalan
“Perawan”nya hutan Indonesia pada awalnya dapat dikonfirmasi Peta Vegetasi Indonesia terbitan Dinas Kehutanan (Kemenhut/KLHK) Indonesia tahun 1950, yang mana dinyatakan bahwa hampir 84 persen atau sekitar 162 juta ha tertutup hutan primer. Namun, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS, 2021), Indonesia hanya memiliki tutupan hutan seluas 101,22 juta ha. BPS menyatakan luas tutupan hutan di Indonesia sudah berkurang selama periode 2017-2021.
Yang paling luas berkurang, yaitu di Pulau Kalimantan dan Papua. Pengurangan luas hutan di kedua pulau tersebut masing-masing 654.663 ha dan 610.405 ha. Benarkah deforestasi terjadi oleh adanya kebijakan pemerintah yang memberikan izin konsesi penguasaan hutan kepada beberapa pihak korporasi? Yaitu, hak eksklusif yang diberikan oleh pemerintah atau entitas lain untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) atau fasilitas umum kepada pihak lain (biasanya perusahaan swasta) selama periode tertentu.
Faktanya, menurut data Kementerian Kehutanan (Kemenhut) memang telah diterbitkan 519 izin Hak Pengusahaan Hutannya (HPH) selama1967-1980 seluas 53 juta ha. Izin konsesi yang diterbitkan adalah pemanfaatan SDA hutan untuk kepentingan produksi bernilai ekonomi. HPH, kala itu diperkuat oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang PMA (UU PMA 1967) dan UU No.5 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UU 5/1967).
Selain izin konsesi kehutanan pada HPH juga diberikan pelepasan untuk tambang serta sektor perkebunan melalui Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI ditujukan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Hak eksklusif tersebut, jelas mendatangkan hasil atau keuntungan ekonomi bagi pihak yang memanfaatkannya di satu sisi.
Di sisi lain, justru mengurangi luas tutupan hutan/primer Indonesia. Atas kebijakan pemberian izin konsesi HPH itulah, maka luas hutan primer Indonesia berkurang menjadi 109 juta ha. Hingga pertengahan 1998, telah menerbitkan sekitar 625 izin HPH mencakup seluas 69,5 juta ha. Yang telah habis masa berlakunya adalah 395 izin, dan 32 diantaranya akan berakhir di tahun 1998.
Pascareformasi, pemberian izin konsesi penguasaan hutan kembali terjadi secara ugal-ugalan dan brutal. Dari jumlah 16,93 juta ha yang masih aktif izin konsesinya di era Orba, maka terdapat seluas 52,57 juta ha kembali diaktifkan oleh pemerintahan Presiden. Megawati Soekarnoputri (MSP), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Pemberian izin konsesi bukannya berkurang, tetapi melanjutkan kebijakan yang telah ditempuh oleh Orba.
Pada tahun 2001, untuk Kalimantan saja wilayah konsesi HPH meningkat menjadi 8,3 juta ha untuk 75 perusahaan. Dibanding 37 perusahaan dengan izin konsesi seluas 6,2 juta ha di tahun sebelumnya (2000). Sedangkan, tahun 2022 tercatat lebih dari 10 juta ha konsesi tambang diterbitkan oleh Presiden SBY. Artinya, pemerintahan Presiden menerbitkan seluas 18,3 juta ha lebih izin konsesi.
Luasan konsesi era Presiden SBY kemudian dikonfirmasi oleh KLHK melalui Menteri LHK Siti Nurbaya. Sekaligus menepis tudingan yang menyatakan, banyak izin usaha di kawasan hutan diterbitkan pada era Presiden Jokowi. Menurut Siti Nurbaya, justru lebih dari 91 persen pelepasan kawasan hutan, atau seluas lebih dari 6,7 juta hektare, selama 36 tahun terakhir, berasal dari pemerintahan sebelumnya.
Menurut catatan KLHK, terdapat 7,3 juta hektare kawasan hutan yang dilepas sepanjang 1984-2020. Rinciannya, yaitu 6,7 juta ha di antaranya meliputi 746 izin usaha yang diberikan sebelum Oktober 2014 (awal pemerintahan Presiden Jokowi). Jika ditambah data ini, maka Presiden SBY telah menerbitkan izin konsesi hutan totalnya seluas 25 juta ha.
Sementara itu, menuntut data KLHK (2024) luas hutan Indonesia adalah 120 juta Ha dan 57,1 persen diantaranya merupakan hutan produksi. KLHK (2024) juga mengungkap terjadi ekspansi besar-besaran seluas 16 juta ha untuk alokasi perkebunan sawit.
Selain itu, Laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Studi Auriga Nusantara, juga menyatakan diera Presiden Jokowi izin konsesi telah diberikan seluas 11,7 juta Ha kepada korporasi. Artinya, Presiden Jokowi telah menerbitkan izin konsesi periode 2014-2024 seluas 28,7 juta ha.
Dengan demikian, total konsesi yang telah diberikan oleh pemerintahan MSP, SBY dan Jokowi adalah 68,52 juta ha. Yang terluas menerbitkan izin konsesi berdasar data KLHK memang Presiden SBY, yaitu seluas 31,52 juta Ha. Sisanya, izin konsesi diterbitkan oleh Presiden MSP 8,3 juta ha.
Pertanyaannya siapa atau korporasi mana sajakah yang memperoleh manfaat ekonomi dan kekayaan atas hak eksklusif konsesi tersebut? Lalu seberapa besar nilai ekonomi yang telah diperoleh para korporasi pemegang izin konsesi itu?
Kekayaan Konsesor di Atas APBN
Ternyata nilai ekonomi yang diperoleh pemegang konsesi (konsesor) hutan sangat fantastis luar biasa besarnya. Data dan faktanya, diungkap oleh Forbes di awal Desember 2025 atas 20 orang korporasi terkaya di Indonesia. Ternyata total kekayaan para korporasi konsesor itu mencapai USD 267 miliar atau senilai Rp4.400,3 triliun. Angka ini merupakan sekitar 117,7 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang berjumlah Rp3.621,3 triliun.
Ke-20 korporasi terkaya ini sebagian besar adalah pemegang izin konsesi hutan untuk tambang dan sawit. Di antaranya, yaitu Prajogo Pangestu sang pemegang konsesi hutan masih berada di puncak daftar orang terkaya di Indonesia. Harta kekayaan (asset) bos Barito Pacific tersebut berjumlah USD 42,0 miliar atau setara dengan Rp698,6 triliun.
Di peringkat kedua, Low Tuck Kwong dengan kekayaan USD 24,5 miliar atau sekitar Rp407,5 triliun. Kekayaan terendah dari 20 orang korporasi ini berada ditangan Manoj Punjabi, yaitu USD 3,6 miliar atau senilai Rp59,8 triliun. Sementara, Chairul Tanjung (CT Corp) berada di peringkat 14, kekayaannya USD 4,5 miliar atau sejumlah Rp74,8 triliun. CT Corp juga dikenal sebagai korporasi pemilik industri media elektronik, yaitu Trans TV dan jaringan CNN/CNBC.
Sedangkan pemegang izin konsesi perkebunan sawit terluas adalah Keluarga Widjaja pemilik Sinar Mas Group. Perusahaan Golden Agri Resources miliknya mengelola 536.000 Ha perkebunan sawit di seluruh Indonesia. Korporasi sawit paling kaya, yaitu USD 18,9 miliar Rp314 triliun) dan termasuk 50 orang terkaya di Indonesia pada 2024.
Terkaya kedua, yaitu Salim Group memiliki kekayaan sejumlah USD 12,8 miliar atau Rp212 triliun. Melalui perusahaan Indofood Agri Resources Ltd, memiliki konsesi lahan mencapai 288.649 Ha. Tidak ada publik yang tak kenal dengan produk mie cepat sajinya (instan) merek Indomie.
Yang ketiga, pemegang konsesi lahan 230.951 Ha (66 persen atau sekitar 152.000 Ha di Indonesia), yaitu Martua Sitorus. Bersama Kuok Khoon Hong, keduanya pemilik Wilmar Group (Martua mundur 2018) dengan kekayaan berjumlah USD 3,6 miliar atau senilai. Rp59,8 triliun.
Berikutnya, Sukanto Tanoto dengan harta kekayaan USD 3,8 miliar atau senilai Rp63,2 triliun. Perusahaan Agri yang dipimpinnya memiliki total luas lahan sawit 100.000 Ha di Provinsi Sumatera Utara, Riau, dan Jambi. Ada juga Hashim Djojohadikusumo (adik Presiden Prabowo Subianto) yang memegang konsesi di peringkat 7 terluas melalui Arsari Group kekayaannya sejumlah USD 685 miliar (Rp11,3 triliun terendah dari lainnya).
Total kekayaan ke-12 orang pemegang konsesi perkebunan sawit terluas di Indonesia (termasuk CT Corp) mencapai USD 65,5 miliar atau Rp1.049,4 triliun. Masih banyak lagi korporasi pemegang konsesi tambang luasnya antara 20.000-150.000 ha lebih yang tidak termasuk 20 orang terkaya versi Forbes 2025.
Di antaranya, Bakrie Group, Adaro Group, Medco Group yang juga memiliki izin konsesi tambang di wilayah Sumatera, Nusa Tenggara Kalimantan dan Papua. Sebagaimana CT Corp., Bakrie Group (kekayaan/aset per 2024 Rp6,82 triliun) melalui anak usaha PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) juga memiliki industri media terkenal, yaitu TVOne.
Kewajiban Konsesor Atasi Bencana
Kekayaan para korporasi tambang dan sawit itu jelas tidak tumbuh dengan sendirinya. Asalnya, adalah kebijakan pemberian konsesi hutan sejak pemerintahan Orba kepada korporasi. Yang patut dipertanyakan, adalah bagaimana halnya dengan kewajiban dan tanggung jawab deforestasi atas konsesi para korporasi tersebut?
Alasannya, dari 68,52 juta ha hutan produksi itu, pada periode 2013-2017 KLHK mengklaim angka deforestasi hutan alam di Indonesia telah terjadi seluas 2,7 juta Ha. Angka deforestasi lain berasal hasil kajian FWI, pada periode yang sama hutan alam rusak seluas 5,7 juta ha. Yaitu, seluas 2,8 juta ha berada dalam konsesi dan 2,9 juta ha lainnya berada di luar konsesi.
Dengan nilai kekayaan fantastis para korporasi sawit dan tambang itu, maka sangat wajar publik menuntut tanggung jawab deforestasi. Sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan ekonomi atas hak penguasaan hutan eksklusif (konsesi) yang telah diberikan oleh Negara.
Atas dasar itu, publik berhak menuntut partisipasi pemilik konsesi memulihkan dan membangun kembali (rehabilitasi dan rekonstruksi) kerusakan ekologis hutan di berbagai daerah. Bahkan, tuntutan publik ini wajib dipenuhi setelah banjir bandang yang melanda wilayah Aceh, Sumut dan Sumbar atas kekayaan yang diperoleh dari konsesi tersebut.
Deforestasi berdampak nyata ketika bencana yang memporak-porandakan wilayah sekitar konsesi korporasi tersebut. Bencana yang menelan korban mencapai 1.000 orang meninggal dunia serta lebih dari 10.400 rumah hancur (data sementara BNPB) oleh hantaman banjir dan longsor. Jangan sampai menunggu terjadinya “banjir” manusia seperti di Nepal pada 9 September 2025 yang lalu.
Seharusnya bencana alam menjadi pemicu (trigger) untuk mengkaji lebih lanjut apa penyebab deforestasi tersebut. Bukan malah melakukan ekspansi konsesi yang justru mengakibatkan angka deforestasi bersih/netto meluas 175,4 ribu ha di tahun 2024.
Oleh karena itu, korporasi pemilik konsesi sawit dan tambang jangan mau enaknya saja. Hanya mencari untung/laba sebesar-besarnya demi kekayaan diri dan keluarganya. Melainkan, secara paralel juga turut bertanggung jawab secara ekonomi atas kerugian dan kerusakan dampak deforestasinya. Caranya, ikut andil berdonasi memberikan 10 persen dari total kekayaan korporasinya. Yang jumlahnya hanya Rp335 triliun, dan tidak akan membuat jatuh miskin.
Sebaiknya sebagian lahan eks-PKP2B (beralih ke IUPK) yang dialokasikan untuk ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah tidak dilanjutkan. Meskipun, telah diizinkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang mengubah PP Nomor 96 Tahun 2021.Sebab, kegiatan operasi yang dulu dikerjakan korporasi tersebut mencakup batu bara termal (Envirocoal) galian mineral lainnya seperti bauksit, nikel dan sub-bituminus telah merusak lingkungan hidup.
Yang dituntut saat ini adalah memelihara dan menjaga lingkungan hidup melalui partisipasi reboisasi untuk masa depan Indonesia Emas 2045. Partisipasi itu, tidak saja menunjukkan ketaatan kepada nilai Pancasila kemanusiaan yang adil dan beradab. Lebih dari itu, sebagai wujud dari kepatuhan menegakkan prinsip ekonomi konstitusi Pasal 33 UUD 1945 di ayat 1, usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Justru, kemauan korporasi berbagi tanggung jawab itulah yang mampu meringankan beban para korban bencana alam secara manusiawi.
Semoga, Presiden Prabowo Subianto konsisten dengan visi-misi Asta Citanya untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Dengan cara membangun industri agro maritim di sentra produksi daerah melalui pengembangan koperasi bukan korporasi. Tujuannya, untuk mencapai kemakmuran bersama, bukan orang per orang atau sekelompok orang saja. Konsistensi Presiden RI sangat dibutuhkan dalam kebijakan segala bidang kehidupan!
Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi

