Masyarakat langsung bergerak melalui platform Kitabisa mengumpulkan lebih dari Rp31 miliar dengan 87.000 donatur dalam waktu singkat, termasuk kampanye Malaka Project oleh Ferry Irwandi yang meraup Rp10,3 miliar. Sebaliknya, pemerintah melalui Kemensos baru menyalurkan Rp19 miliar logistik dan Rp4,5 miliar dapur umum setelah beberapa hari pasca kejadian, meski telah mengirim 500 ribu ton bantuan secara kumulatif. Perbandingan ini menunjukkan kecepatan inisiatif rakyat yang tak tertandingi oleh aparat negara.??
Gotong royong merupakan warisan budaya yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Wujud hal ini, terlihat dari bagaimana semangat gotong royong masyarakat dalam donasi yang tepat sasaran dan inovatif, seperti live streaming Ferry Irwandi yang memungkinkan distribusi langsung ke lokasi sulit dijangkau, mencakup makanan bergizi, perlengkapan bayi, dan kebersihan. Total donasi swasta dan relawan melebihi Rp40 miliar dari mitra seperti Astra dan GAPMMI, menjangkau kelompok rentan lebih cepat daripada buffer stock pemerintah yang bergantung logistik pusat. Fenomena ini mencerminkan modal sosial Indonesia di mana warga “warga untuk warga”, dengan platform digital mempercepat penggalangan dana hingga melebihi target awal secara dramatis.??
Menurut kemendikdasmen (2020) Gotong royong merupakan bentuk kerja sama dalam kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan bersama tanpa mengutamakan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Tradisi ini mencerminkan nilai moral yang tinggi, seperti solidaritas, kekeluargaan, dan kebersamaan yang terbukti efektif dalam evakuasi, distribusi bantuan, dan pemulihan infrastruktur. Bahkan mantan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Muhadjir justru menjadikan gotong royong sebagai jati diri bangsa, di mana partisipasi rakyat menjadi pendorong utama mitigasi berkelanjutan pada era Covid-19 yang lalu.
Semangat gotong royong di Sumatera menunjukkan nilai-nilai solidaritas yang menjadi jangkar sosial bangsa. Warga melakukan evakuasi bersama, mengevakuasi barang dan hewan ternak, serta membuka posko pengungsian mandiri. Komunitas lokal mengumpulkan bahan pangan, pakaian, dan obat-obatan untuk korban. Relawan dari luar daerah turut bergabung untuk membantu distribusi bantuan dan pembersihan puing. Semangat tersebut memperlihatkan solidaritas sosial yang kuat dan kemampuan inisiatif kolektif yang tinggi.
Pemerintah seharusnya memiliki peran sebagai penyelenggara negara yang memiliki tugas koordinasi, mitigasi, dan pemulihan pascabencana. Pemerintah pusat dan daerah menyediakan layanan tanggap darurat, seperti evakuasi massal menggunakan alat berat, penyediaan logistik skala besar, serta layanan kesehatan darurat. Pemerintah juga bertanggung jawab atas rehabilitasi infrastruktur, perbaikan jalan, dan penataan kembali daerah rawan longsor. Namun, dalam praktiknya, respons pemerintah kerap menghadapi kendala kapasitas, birokrasi, dan keterlambatan distribusi. Kondisi tersebut memberi ruang bagi inisiatif masyarakat untuk tampil lebih cepat di garda depan.
Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat sering kali dapat bergerak lebih cepat daripada pemerintah pada fase awal tanggap darurat. Warga yang tinggal di lokasi bencana memiliki akses informasi langsung dan jaringan sosial yang memungkinkan tindakan cepat. Mereka mengenal medan, rute alternatif, dan kebutuhan prioritas keluarga. Oleh karena itu, solidaritas lokal menjadi sumber daya penting yang melengkapi peran formal pemerintah. Namun, peran masyarakat tidak berarti substitusi terhadap fungsi negara. Peran masyarakat bersifat komplementer; dukungan masyarakat paling efektif jika terintegrasi dengan strategi dan kebijakan pemerintah.
Teori social capital menjelaskan mengapa gotong royong dapat tampil kuat dalam situasi krisis? Dalam konteks bencana, modal sosial ini justru dapat memfasilitasi koordinasi informal, aliran informasi, dan redistribusi sumber daya secara cepat. Dengan modal sosial yang kuat, masyarakat mampu melakukan aksi kolektif tanpa menunggu arahan formal. Belum lagi jika kita melihat pada Penelitian dalam studi kebencanaan, yang menegaskan bahwa kapasitas adaptif komunitas (community resilience) memainkan peran penting. Dalam banyak kasus di Sumatera, komunitas menunjukkan kapasitas adaptif yang tinggi melalui gotong royong, sehingga dampak bencana dapat diminimalkan pada aspek sosial dan psikologis korban.
Respons Pemerintah Dinilai Lambat
Meski pemerintah mengklaim mengirim 500 ribu ton bantuan dan berkolaborasi dengan swasta, lambatnya akses ke wilayah terisolasi seperti Aceh Tamiang dan minimnya dapur umum awal (baru 9 lokasi di Sumbar dengan 30 porsi per hari) menunjukkan birokrasi menghambat kecepatan. Pemerintah bahkan belum membuka bantuan asing meski bencana meluas, sementara donasi rakyat sudah menjangkau ribuan keluarga dalam hitungan hari. Hal ini bertentangan dengan prinsip “build back better” yang menuntut respons cepat, di mana gotong royong masyarakat justru mengisi kekosongan tersebut dengan optimalisasi sumber daya lokal.?
Justru kita melihat bagaimana kepedulian masyarakat Indonesia dalam donasi banjir longsor Sumatera telah membuktikan superioritasnya atas pemerintah, dengan total dana masif dan distribusi langsung yang menyelamatkan nyawa lebih cepat. Pemerintah sebaiknya belajar dari ini dengan memperkuat platform digital nasional dan pelatihan kesiapsiagaan lokal untuk sinergi pentahelix yang lebih baik. Sebagai bangsa rawan bencana, gotong royong bukan sekadar tradisi, melainkan kekuatan modern yang harus diintegrasikan ke dalam kebijakan negara demi masa depan tangguh.
Fenomena gotong royong juga menghadapi tantangan serius ketika peran pemerintah lemah atau tidak terkoordinasi. Keberlanjutan bantuan jangka menengah hingga panjang memerlukan dukungan institusional, pendanaan yang stabil, dan perencanaan tata ruang yang lebih baik. Pemerintah memiliki kapasitas fiskal dan teknis untuk melakukan mitigasi struktural seperti normalisasi sungai, penataan lereng, dan pembangunan sistem peringatan dini. Tanpa intervensi tersebut, masyarakat akan terjebak dalam siklus respons darurat yang berulang.
Oleh karena itu, solusi ideal menggabungkan kekuatan masyarakat dan kapasitas pemerintah. Pertama, pemerintah perlu mengakui, memfasilitasi, dan mengintegrasikan inisiatif gotong royong ke dalam mekanisme tanggap darurat resmi. Pemerintah daerah sebaiknya membangun forum kolaborasi lokal yang mengakomodasi peran RT/RW, tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat. Kedua, diperlukan pelatihan dan pendampingan untuk memperkuat manajemen logistik komunitas sehingga bantuan bersifat lebih terstruktur dan akuntabel. Ketiga, kebijakan mitigasi harus ditingkatkan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan memprioritaskan pencegahan di kawasan rawan longsor dan banjir.
Untuk itu, semua pemangku kepentingan harus membangun mekanisme integrasi yang konkret sehingga gotong royong bukan hanya respons sementara, tetapi menjadi bagian dari strategi nasional dalam menghadapi risiko bencana.
Tridias Soja Anggraini
Mahasiswa Magister Komunikasi
Universitas Paramadina

