Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto memastikan proses negosiasi kedua negara masih berlangsung sesuai jalur.
“Perundingan dagang Indonesia dan Amerika Serikat masih berproses. Tidak ada permasalahan spesifik dalam perundingan yang dilakukan. Dinamika dalam proses perundingan adalah hal yang wajar,” ujar Haryo dalam keterangannya, dikutip Kamis, 11 Desember 2025.
Ia menambahkan pemerintah berharap pembahasan bisa segera dituntaskan dan memberikan manfaat bagi kedua negara.
Sebelumnya, isu mengenai batalnya kesepakatan mencuat setelah laporan Reuters menyebut Perjanjian Dagang AS-Indonesia yang dicapai pada Juli 2025 berisiko gagal. Indonesia dianggap tidak memenuhi sebagian komitmen yang menjadi bagian dari kerja sama tersebut.
“Mereka mengingkari apa yang telah kita sepakati pada bulan Juli,” kata seorang pejabat AS pada Selasa 9 Desember 2025. tanpa menjelaskan komitmen yang dilanggar.
Reuters juga melaporkan bahwa pejabat Indonesia telah memberi tahu Perwakilan Dagang AS (USTR) Jamieson Greer bahwa Indonesia tidak dapat menyetujui beberapa komitmen mengikat dan meminta rumusannya diperbaiki.
Pejabat AS menilai perubahan itu berpotensi menghasilkan hasil yang kurang menguntungkan bagi Washington dibanding perjanjian terbaru dengan Malaysia dan Kamboja.
Laporan itu sejalan dengan catatan Financial Times yang menyebut Indonesia “mundur” dalam isu penghapusan hambatan non-tarif untuk produk industri dan pertanian AS, serta komitmen perdagangan digital.
Hingga kini belum ada komentar resmi dari USTR. Menteri Keuangan AS Scott Bessent sebelumnya juga menyinggung persoalan ini dalam acara Dealbook New York Times.
Ia menyebut Indonesia “menjadi sedikit keras kepala” dalam pembahasan perjanjian dagang tersebut, meski tanpa merinci lebih jauh. Di sisi lain, ia menilai Malaysia telah “menghapus ribuan tarif” dan memperlancar perdagangan dengan AS
Adapun dalam kesepakatan Juli 2025 lalu, Indonesia sepakat menghapus tarif atas lebih dari 99 persen barang asal AS dan menghilangkan berbagai hambatan non-tarif bagi perusahaan Amerika.
Sebagai imbalannya, AS menurunkan tarif dari 32 persen menjadi 19 persen terhadap produk dari RI. Presiden AS Donald Trump saat itu menyebut kesepakatan tersebut sebagai kemenangan besar bagi produsen mobil, perusahaan teknologi, petani, peternak, hingga pekerja AS.

