Intensifikasi aktivitas militer, tumpang tindih klaim di Laut Cina Selatan, serta meningkatnya frekuensi kehadiran kapal asing di perairan yurisdiksi Indonesia telah mengubah domain maritim dari ruang aman menjadi arena dengan dinamika ancaman multidimensi. Kondisi ini menuntut Indonesia memiliki struktur pertahanan laut yang mampu merespons cepat, presisi, dan terpadu serta memiliki efek penangkal yang kredibel.
Dalam konteks tersebut, TNI Angkatan Laut mengadopsi doktrin Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yang tertuang dalam Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/503/V/2018 tentang Doktrin “Jalesveva Jayamahe.” Doktrin ini menghendaki integrasi menyeluruh antara empat elemen kekuatan laut, yakni KRI, pesawat udara maritim, Korps Marinir, dan pangkalan pendukung dalam satu siklus operasi berkelanjutan yang mampu menghasilkan efek tempur terpadu.
Mandat normatif untuk integrasi pertahanan sebagaimana diperintahkan melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya Pasal 7 dan Pasal 15 ayat (2), mewajibkan penggunaan kekuatan secara terpadu dalam menjaga kedaulatan negara. Namun implementasi sinergitas SSAT masih berbenturan dengan realitas struktur organisasi TNI yang menganut pemisahan matra secara rigid, khususnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI.
Doktrin SSAT tidak hanya mensyaratkan alutsista modern seperti kapal selam kelas Nagapasa atau rudal Atmaca, tetapi membutuhkan transformasi mendasar dalam arsitektur komando, tata kelola data sensor, dan mekanisme pengambilan keputusan yang bersifat joint dan network-centric. Idealnya, seluruh data dari radar pantai, satelit penginderaan, UAV, serta AIS harus terhubung dalam satu pusat kendali yang mampu mengubah informasi menjadi aksi penindakan secara cepat. Namun kesenjangan struktural antara kebutuhan operasional SSAT dengan susunan organisasi TNI yang masih stove-piped telah menciptakan paradoks yang melemahkan kemampuan integratif tersebut.
Analisis Masalah: Fragmentasi Komando dan Kendali
Kesenjangan utama dalam mewujudkan sinergitas SSAT terletak pada fragmentasi komando dan kendali. Doktrin SSAT membutuhkan kewenangan operasional tunggal untuk menggerakkan seluruh aset maritim, udara, dan darat yang relevan dalam operasi laut. Namun Komando Armada RI secara struktural berada di bawah Kepala Staf Angkatan Laut dan hanya memiliki kewenangan terhadap aset laut yang berada dalam pembinaannya. Aset penting seperti pesawat Patroli Maritim CN-235 milik TNI AU, satuan intelijen BAIS TNI, atau unsur rudal pertahanan pantai membutuhkan mekanisme permintaan dukungan yang panjang melalui Mabes TNI. Situasi ini menciptakan jeda waktu yang signifikan antara sensor dan penindak, padahal ritme operasional maritim modern menuntut respons dalam hitungan menit.
Pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) melalui Perpres No. 66/2019 memang mengandung elemen joint operation, tetapi mandatnya lebih luas dan tidak didesain spesifik untuk mengelola siklus SSAT. Akibatnya, domain maritim tetap tidak memiliki komando gabungan permanen yang memiliki kewenangan legal penuh untuk operasi laut. Absennya single-point of command ini berdampak langsung pada melemahnya speed of command dan menurunkan efektivitas alutsista yang seharusnya beroperasi secara terintegrasi.
Kesenjangan berikutnya muncul pada ranah fusi informasi dan intelijen. Pusat Informasi Maritim (Pusinfomar) TNI yang dibentuk melalui Peraturan Panglima TNI Nomor 39 Tahun 2019 belum memiliki kewenangan hukum memadai untuk memaksa setiap instansi militer maupun sipil berbagi data secara real-time. Ketergantungan pada mekanisme koordinatif membuat gambaran operasional bersama (common operational picture) yang sangat dibutuhkan SSAT tidak pernah tercipta secara utuh. Ketiadaan data fusion tingkat lanjut, keterbatasan interoperabilitas sensor, serta minimnya SDM analisis big data memperburuk kondisi ini dan membuat sinergitas SSAT tidak dapat berjalan optimal.
Disintegrasi Penindakan dan Kelemahan Dukungan Hukum
Integrasi dalam mekanisme penindakan juga mengalami hambatan serius. Alutsista canggih seperti kapal selam Nagapasa, KSOT-008, atau rudal Atmaca tetap terkotak dalam struktur Armada I, II, dan III yang memiliki wilayah operasi terpisah. Penggabungan kekuatan dari beberapa armada atau permintaan dukungan serangan udara dari TNI AU memerlukan proses panjang yang tidak sesuai dengan tuntutan operasi modern. Kelembagaan yang demikian menurunkan kemampuan menghasilkan efek sinergis yang menentukan dalam konflik maritim dan mengingkari prinsip decision superiority yang menjadi inti doktrin SSAT.
Sementara itu, elemen pangkalan sebagai bagian penting dari fungsi pemangkalan, pemeliharaan, pembinaan personel, dan pemberdayaan wilayah belum terintegrasi dalam siklus operasi yang lebih cepat dan dinamis. Tanpa integrasi logistik, daya tahan operasi (operational endurance) sulit dicapai, terutama mengingat luasnya wilayah laut nasional.
Secara normatif, UU No. 34/2004 memang memberikan kerangka dasar komando, tetapi tidak secara spesifik membentuk struktur komando gabungan permanen untuk domain maritim. Perpres No. 10 Tahun 2022 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia lebih menekankan aspek tata kelola makro dan tidak memiliki kekuatan operasional untuk mengatur komando militer. LTDFDP 2025–2029 dan Buku Putih Pertahanan memberikan arahan modernisasi, tetapi belum menetapkan desain komando SSAT secara normatif. Ketiadaan instrumen hukum operasional khusus inilah yang menyebabkan integrasi SSAT berjalan sporadis dan bergantung pada koordinasi personal, bukan pada kelembagaan yang permanen.
Transformasi Kelembagaan dan Penguatan SSAT
Solusi strategis yang paling relevan dan realistis adalah mentransformasi Komando Armada RI menjadi Joint Forces Maritime Command (JFMC) yang berada langsung di bawah Panglima TNI sebagai komando gabungan permanen untuk seluruh operasi maritim. Transformasi ini tidak menghilangkan fungsi angkatan sebagai force generator, karena pembinaan kekuatan tetap berada di bawah Kasal, sementara penggunaan kekuatan dalam operasi akan menjadi kewenangan penuh JFMC. Dasar hukum untuk langkah ini dapat merujuk pada Pasal 15 ayat (2) UU No. 34/2004 dan dapat dipertegas melalui penerbitan Peraturan Panglima TNI baru yang secara eksplisit mengatur Penyelenggaraan Komando Operasi Gabungan Maritim.
JFMC dapat dipimpin oleh perwira tinggi TNI AL bintang tiga, dengan kewenangan untuk menggerakkan KRI, pesawat udara maritim TNI AU, satuan Marinir, dan unsur intelijen dalam satu kesatuan komando. JFMC memungkinkan percepatan siklus sensor-to-shooter yang menjadi jantung SSAT dan menghilangkan bottleneck birokratis yang selama ini menghambat efektivitas operasional.
Solusi kedua adalah memperkuat Pusinfomar menjadi Maritime Fusion Center (MFC) yang dilengkapi kewenangan hukum untuk memaksa semua instansi maritim berbagi data secara real-time. MFC akan menjadi pusat fusi informasi maritim nasional dan terintegrasi penuh dengan JFMC. Instrumen hukum untuk memberikan kewenangan tersebut dapat diberikan melalui Perpang baru yang mengatur integrasi data lintas-instansi sesuai mandat UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Keberadaan MFC akan memastikan common operational picture yang komprehensif dan dapat ditindaklanjuti untuk seluruh operasi SSAT.
Solusi ketiga adalah penguatan infrastruktur C4ISR nasional yang mencakup data link interoperable seperti Link-22, jaringan komunikasi tahan jamming, serta combat cloud yang memungkinkan pertukaran data taktis antarunsur tempur. Modernisasi C4ISR harus dimasukkan dalam prioritas belanja pertahanan dalam Renstra Kementerian Pertahanan 2025–2029 dan LTDFDP.
Rencana Implementasi Bertahap 2025–2029
Implementasi reorganisasi memerlukan pendekatan bertahap agar transisi kelembagaan berjalan mulus. Tahun 2025 difokuskan pada penyiapan dasar hukum melalui penyusunan Rancangan Peraturan Panglima (Raperpang) tentang Komando Operasi Gabungan Maritim dan audit kapabilitas teknologi Pusinfomar sebagai dasar pembentukan MFC. Tahun 2026–2027 diarahkan pada pilot project dengan membentuk prototype JFMC di wilayah Komando Armada I yang mencakup ALKI I dan Selat Malaka, sambil mengonsolidasikan sebagian aset TNI AL, TNI AU, dan BAIS TNI.
Latihan gabungan besar seperti Latgab TNI dan Armada Jaya harus diarahkan untuk menguji prosedur JFMC dan MFC secara realistis. Tahun 2028–2029 menjadi fase institusionalisasi permanen dengan evaluasi independen oleh lembaga seperti Universitas Pertahanan, dan dilanjutkan dengan pembentukan tiga JFMC wilayah (Barat, Tengah, Timur) untuk menggantikan tiga Komando Armada dalam fungsi operasional. Penganggaran pertahanan harus dipastikan berkelanjutan untuk menopang modernisasi C4ISR, latihan operasi gabungan, serta pemeliharaan alutsista.
Penutup dan Implikasi Strategis
Transformasi sinergitas kekuatan melalui SSAT bukan hanya perubahan struktural tetapi agenda strategis untuk mewujudkan pertahanan laut yang ideal dan responsif. Kesenjangan antara kebutuhan operasional SSAT dengan struktur organisasi TNI saat ini terbukti menghambat efektivitas alutsista dan menurunkan daya tangkal nasional.
Reorganisasi menuju JFMC dan MFC merupakan langkah strategis yang sejajar dengan amanat UU No. 34/2004 dan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Transformasi ini akan menghasilkan TNI AL yang lebih lincah, berbasis jaringan, dan mampu melaksanakan operasi terpadu secara presisi untuk menjaga kedaulatan maritim di tengah dinamika geopolitik Indo-Pasifik yang semakin kompleks.
Laksamana Muda TNI (Purn) Adv. Dr. Surya Wiranto, SH MH
Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.

