Ferry Auparay lahir di Distrik Ansus, Kabupaten Kepulauan Yapen. Seperti banyak anak Papua lainnya, ia menempuh jalan hidup yang tidak mudah. Pernah merantau ke Jakarta dan menjalani kerasnya dinamika kehidupan kota besar pada era 1990–2000-an, Ferry akhirnya mengambil keputusan penting: kembali ke Papua untuk mengabdi dan membangun tanah kelahirannya.
Berbekal pendidikan Strata Satu bidang sosial dan pengalaman bekerja di salah satu bank BUMN di Jayapura, Ferry mengasah pemahaman tentang tata kelola keuangan, disiplin kerja, serta manajemen usaha. Modal inilah yang kemudian ia gunakan untuk memulai langkah berani sebagai pengusaha Papua di sektor BBM–sektor yang selama ini dikenal padat modal dan penuh tantangan.
Dengan keterbatasan modal dan sumber daya, Ferry Auparay membuktikan bahwa keberanian, konsistensi, dan jejaring yang dibangun secara sehat mampu membuka jalan. Kini, ia telah memiliki beberapa SPBU serta armada kapal pengangkut BBM, yang berperan penting dalam menjamin ketersediaan energi bagi masyarakat Papua, khususnya di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau.
Lebih dari sekadar bisnis, langkah Ferry adalah bentuk keberpihakan. Melalui sinergi dan komunikasi intensif dengan Pertamina, BP Migas, serta pemangku kepentingan lainnya, ia memastikan bahwa distribusi energi di Papua tidak lagi bergantung sepenuhnya pada pihak luar. Kepercayaan publik terhadap dirinya tercermin dari amanah sebagai Ketua ISWANA Migas Provinsi Papua Barat.
Kisah Ferry Auparay seharusnya dibaca sebagai pesan penting bagi generasi muda Papua: bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah, dan kampung halaman bukan tempat untuk ditinggalkan selamanya, melainkan untuk dibangun. Ia adalah contoh bahwa anak Papua dapat menjadi pelaku utama, bukan sekadar penonton, dalam sektor strategis nasional.
Di tengah kebutuhan Papua akan figur-figur inspiratif, Ferry Auparay menghadirkan harapan bahwa dengan keberanian untuk kembali, bekerja, dan berintegritas, masa depan Papua dapat dibangun oleh tangan anak-anaknya sendiri.
Keadilan Energi di Papua dan Keberpihakan Nyata kepada OAP
Papua adalah wilayah yang kaya sumber daya alam, namun ironisnya masih menghadapi ketimpangan paling mendasar: akses energi. Di banyak distrik dan kampung, BBM masih mahal, pasokannya tidak menentu, bahkan kerap menjadi komoditas langka. Ketimpangan ini bukan sekadar persoalan logistik, melainkan cermin dari belum hadirnya keberpihakan nyata negara kepada Orang Asli Papua (OAP).
Dalam konteks inilah, kehadiran figur seperti Ferry Auparay menjadi relevan untuk dibaca secara kritis. Anggota DPRD Papua Barat ini adalah anak asli Papua, lahir di Distrik Ansus, Kabupaten Kepulauan Yapen, yang memilih terjun langsung ke sektor energi–sektor strategis yang selama ini nyaris didominasi oleh pelaku usaha dari luar Papua.
Pengalaman panjang hidup di luar Papua dan latar belakang profesional di perbankan membentuk perspektif Ferry bahwa ketimpangan energi di Papua tidak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi dari Jakarta. Ia membutuhkan pelaku lokal yang memahami medan sosial, geografis, dan budaya masyarakat Papua. Dengan modal terbatas, Ferry Auparay memulai usaha BBM dan perlahan membangun jaringan distribusi hingga memiliki sejumlah SPBU dan armada kapal pengangkut BBM.
Langkah ini tidak boleh dilihat semata sebagai kisah sukses individual. Ia harus dibaca sebagai kritik diam terhadap sistem energi nasional yang belum memberi ruang adil bagi OAP untuk menjadi pelaku utama. Selama ini, OAP lebih sering ditempatkan sebagai konsumen, buruh, atau penerima bantuan–bukan sebagai aktor pengendali dalam rantai distribusi energi.
Kepercayaan yang diberikan kepada Ferry Auparay sebagai Ketua ISWANA Migas Papua Barat memperlihatkan bahwa OAP memiliki kapasitas, integritas, dan kompetensi untuk mengelola sektor energi secara profesional. Namun, pertanyaannya: mengapa figur seperti ini masih langka? Jawabannya terletak pada kebijakan yang belum sepenuhnya afirmatif–mulai dari akses permodalan, perizinan, hingga kemitraan dengan BUMN energi.
Negara sering berbicara tentang Otonomi Khusus dan keberpihakan pada Papua, tetapi tanpa kebijakan energi yang adil, Otsus akan kehilangan makna substantif. Keadilan energi bukan hanya soal harga BBM, melainkan tentang siapa yang diberi kesempatan mengelola, mendistribusikan, dan mengambil keputusan atas sumber daya strategis tersebut.
Papua membutuhkan lebih banyak Ferry Auparay–anak-anak Papua yang diberi ruang, kepercayaan, dan perlindungan kebijakan untuk menjadi pelaku utama di sektor energi. Tanpa itu, ketimpangan akan terus direproduksi, dan Papua akan tetap menjadi penonton di tanahnya sendiri.
Sudah saatnya negara berhenti melihat Papua hanya sebagai objek pembangunan. Dalam sektor energi, keberpihakan sejati kepada OAP harus diwujudkan melalui kebijakan afirmatif, kemitraan setara, dan keberanian menyerahkan peran strategis kepada anak-anak Papua itu sendiri.
Fredy. F. Aronggear
Korwil HNSI se Papua Raya

