Lukas Luwarso, Aktivis Bonjowi (foto: Okezone)
JAKARTA – Kontroversi ijazah Jokowi telah bereskalasi menjadi drama hukum. Dari soal asli atau palsu selembar ijazah menjadi urusan fitnah. Alih-alih urusan ilmiah menjadi ancaman pidana ala era kolonial. Pasal-pasal ala haatzai artikelen (fitnah, penghinaan, kebencian pada penguasa) dipakai untuk membungkam suara dan menutup kebenaran.
Pasal-pasal kolonial yang bertujuan mengontrol dan menghukum ekspresi, hasrat untuk merdeka, ini sebenarnya telah dihapus dari KUHP, namun dibangkitkan kembali melalui UU ITE. Dan kini dipakai kekuasaan untuk membungkam pertanyaan.
Gelar perkara untuk menguji sah-tidaknya proses hukum pidana “perkara gelar” ini telah digelar. Krisis kepercayaan publik pada objektivitas dan independensi penyidikan kepolisian adalah alasan gelar perkara khusus ini diadakan. Untuk menguji prosedur: apakah konstruksi hukumnya tepat, apakah alat buktinya cukup, dan apakah penyidik bekerja tanpa konflik kepentingan (politik), dan apakah kesimpulan “fitnah” beralasan,
KUHP tidak dirancang untuk menguji atau meneliti keaslian ijazah. Hukum pidana bukan untuk mengadili dokumen; tapi untuk mengadili perbuatan pidana. Jika perlu ada pengadilan, maka yang harus dibuktikan di pengadilan adalah rangkaian tindakan pemalsuannya. Siapa pelakunya, kapan, di mana, dengan cara apa, dan dengan niat jahat apa? Ijazah bukan subyek hukum, jadi tidak bisa diadili. Cuma bisa diteliti.
Ijazah adalah produk proses administratif institusional yang panjang. Hasil dari pencatatan, penilaian, kearsipan, dan prosedur yang berlangsung bertahun-tahun. Pengujian keasliannya tidak dilakukan di mimbar pengadilan, tapi melalui penelitian forensik dokumen. Uji tinta, kertas, tanda tangan, stempel, penomoran, dokumen pendukung, dan sejenisnya.
Di berbagai negara, kontroversi dokumen pejabat publik tidak diproses di pengadilan pidana. Di Amerika, kontroversi akta kelahiran Barack Obama selesai dengan ditunjukkan, tanpa dakwaan pidana. Di Jerman, gelar akademik menteri pertahanan, Karl-Theodor Guttenberg, dicabut dan harus mengundurkan diri karena plagiarisme, tanpa perlu dipidana. Di Rumania, Perdana Menteri Victor Ponta yang melakukan plagiarisme disertasi, legitimasi politiknya runtuh tanpa vonis pidana.
Dalam kasus pemalsuan dokumen yang kental bernuansa politis (terkait pejabat publik) problem utama adalah legitimasi. Bagaimana negara mengelola kebenaran, transparansi, dan kepercayaan publik. Jika tujuannya adalah kepastian moral, jalurnya bukan pidana, melainkan verifikasi administratif yang terbuka, audit arsip independen, dan komunikasi publik yang jujur. Pengadilan pidana bukan untuk menentukan asli–palsu ijazah.

