Penulisan ulang atas peristiwa sejarah menjadi proyek gigantik, lebih dari sekadar kegiatan akademis biasa, melainkan menjadi sebuah pernyataan politik tentang memori publik, serta bagaimana masa depan akan dijalani.
Pihak institusi pemangku kuasa menegaskan bahwa urgensi pembentukan sejarah bangsa diupayakan untuk menghapus “bias kolonial” sekaligus menegaskan “otonomi sejarah”.
Pertanyaan fundamentalnya, di balik semangat dekolonisasi tersebut merupakan kehendak murni sebagai upaya refleksi ilmiah, atau menjadi kerangka rekayasa memori kolektif?
Sejarah, Alat Kekuasaan
Sebagaimana Foucault (1980) mengingatkan bahwa pengetahuan tidak pernah netral. Sejarah dalam kerangka sirkuler berkelindan dengan kekuasaan –power and knowledge. Dalam pandangan Foucault, negara akan memproduksi “rezim kebenaran” guna memutuskan apa yang dianggap sah dan apa yang harus dilupakan.
Penulisan sejarah versi resmi, sering kali berfungsi sebagai instrumen “kekuasaan disipliner” yang bekerja melalui mekanisme melalui kurikulum sekolah untuk membentuk kepatuhan sebagai identitas nasional.
Hal tersebut sejalan dengan konsep hegemoni Antonio Gramsci (1929), bahwa kelas penguasa akan bersikukuh mempertahankan dominasi melalui konsensus budaya.
Narasi sejarah oleh kekuasaan dibenamkan perlahan dalam “akal sehat” –common sense publik, dengan begitu pemilik kuasa mudah untuk menstimulasi massa tanpa perlu kekerasan fisik. Penguasa pada akhirnya menjadi pemilik tafsir tunggal atas fakta sejarah.
Batas Revisi dan Negasi
Perbaikan dalam kerangka akademik adalah bentuk pembaharuan yang didasarkan pada adanya temuan bukti baru yang sahih. Namun demikian, pembentukan ulang sejarah mengandung bahaya laten dalam format penyangkalan sejarah. Termasuk dimungkinkan terjadinya aspek negasi dengan pemutarbalikan hingga penghilangan fakta secara sengaja.
Pada situasi seperti itu, sejarah tidak lagi menjadi guru bagi pelajaran kehidupan bersama, melainkan berubah sebagai alat legitimasi rezim berkuasa. Dalam perspektif hukum, sejatinya publik memiliki ruang hak atas kebenaran –right to the truth, karena itu konstruksi sejarah menjadi konsensus dan tidak hanya domain segelintir pihak.
Kekuasaan memang menjadi otoritas yang memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi objektif dan mengungkapkan fakta lengkap secara objektif masa lalu. Justru dengan menampilkan kekurangan di waktu lampau, maka kita dapat jujur melihat kekurangan yang ada.
Penghilangan makna sejarah dengan nilai tafsir baru dan berbeda oleh kekuasaan, menjadi bentuk kekerasan epistemik boleh jadi dengan target menghilangkan ingatan publik. Bangsa yang besar tidak dibangun dengan amnesia kolektif, perlu keberanian mengakui kesalahan sejarah.
Sejarah memiliki otonomi dan seharusnya tidak mengorbankan kejujuran intelektual. Dialog inklusif menjadi bagian dari sifat deliberatif kesejarahan, sehingga dapat membentuk versi utuh dari memori kolektif, dengan syarat utama keterbukaan, transparansi, dan partisipasi publik.
Bentuk pemaknaan dari koreksi sejarah semestinya menjadi fondasi yang kokoh bagi demokrasi, bukan sekadar monumen kertas bagi penguasa. Sehingga, sejarah harus mampu melebarkan kebebasan, bukan membelenggu pikiran generasi mendatang.
JASMERAH -jangan sekali-sekali melupakan sejarah ungkap Bung Karno. Belajarlah!
Doktoral Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung

