Sebagaimana dirumuskan oleh Louise Diamond dan John McDonald dalam kerangka Multi-Track Diplomacy yang menekankan bahwa penyelesaian konflik dan pencapaian kepentingan nasional membutuhkan orkestrasi lintas aktor secara simultan.
Dalam konteks ini, Kemlu 2025 menunjukkan kinerja relatif solid baik dari sisi tata kelola maupun substansi diplomasi, tercermin dari realisasi anggaran 2024 serta pelaksanaan program 2025 yang tetap berjalan meski menghadapi blokir anggaran cukup besar, dengan fokus pada penguatan diplomasi ekonomi, kepemimpinan multilateral, diplomasi kedaulatan khususnya maritim serta perlindungan WNI di luar negeri.
Pendekatan multi-track tersebut terlihat dari intensitas diplomasi tingkat tinggi Indonesia ke negara-negara strategis dan forum internasional utama: kunjungan Presiden dan Menlu ke Timur Tengah (UEA, Turki, Mesir, Qatar, Yordania) untuk isu Palestina dan stabilitas kawasan, penguatan relasi ASEAN melalui kunjungan ke Malaysia, Brunei, Thailand, dan Singapura, serta keterlibatan aktif Indonesia di BRICS, ASEAN, OKI, dan proses engagement dengan OECD, yang menempatkan Indonesia sebagai voice of reason dan bridge builder di tengah melemahnya multilateralisme global.
Partisipasi dalam Pertemuan Menlu BRICS 2025 dan komitmen bergabung dengan New Development Bank (NDB) juga mempertegas strategi Indonesia memanfaatkan forum minilateral untuk memperluas ruang pembiayaan dan pengaruh politik global, sekaligus menyeimbangkan relasi dengan kekuatan besar seperti AS, Tiongkok, dan Rusia.
Pada dimensi diplomasi ekonomi, Kemlu 2025 memainkan peran penting dalam merespons dinamika eksternal seperti kebijakan Trump Tariff Diplomacy, dengan mendorong negosiasi dan komunikasi strategis agar kepentingan ekspor Indonesia tetap terlindungi, serta mencatat kemajuan signifikan dalam penyelesaian EU?”Indonesia Free Trade Agreement (IEU-CEPA) yang setelah hampir satu dekade perundingan membuka potensi peningkatan perdagangan, investasi, dan penciptaan lapangan kerja, termasuk isu sensitif sawit dengan estimasi dampak ekonomi mencapai USD 28 miliar.
Upaya ini diperkuat melalui penyelenggaraan business and investment forum, penetrasi pasar non-tradisional di Afrika dan Amerika Latin, serta advokasi kepentingan komoditas strategis Indonesia di berbagai International Forum.
Pada saat yang sama, diplomasi maritim menjadi pilar penting dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas kawasan, terlihat dari konsistensi Indonesia mendorong penyelesaian damai isu Laut China Selatan berbasis UNCLOS 1982, ditandai bagaimana Tiongkok dalam joint statement untuk mendukung dan menyelesaikan kembali Code of Conduct (CoC) yang sebelumnya terhenti pada tahun 2016. Selain itu juga penguatan posisi Indonesia di ASEAN dalam keikutsertaannya.
Di samping itu, dorongan aktif Indonesia dalam perundingan batas maritim Blok Ambalat dengan Malaysia sebagai bagian dari diplomasi perbatasan yang pragmatis namun tegas, dengan melakukan Joint Statement on Development di Blok Ambalat tersebut.
Pendekatan ini sejalan dengan strategi ASEAN menghadapi konflik global yang menuntut keseimbangan antara sentralitas ASEAN dan realitas kekuatan besar.
Di bidang perlindungan WNI, kinerja Kemlu 2025 patut dicatat sebagai salah satu capaian paling konkret, khususnya dalam situasi krisis geopolitik Timur Tengah di bulan Juni 2025, di mana Kemlu berhasil melakukan evakuasi WNI dari Iran dan Israel melalui skema contingency planning, peningkatan status siaga, serta pemanfaatan jalur darat dan udara secara terkoordinasi, dengan dukungan penguatan sistem informasi dan transformasi digital layanan kekonsuleran.
Menyongsong 2026, arah diplomasi Indonesia diarahkan pada penguatan kepemimpinan global yang lebih terstruktur, di mana Indonesia akan menjadi tuan rumah KTT D-8 2026 di Jakarta, sebuah momentum strategis untuk mengkonsolidasikan kerja sama ekonomi negara-negara berkembang, memperkuat solidaritas Selatan?”Selatan, dan menegaskan posisi Indonesia sebagai agenda setter di tengah fragmentasi global, sejalan dengan RPJPN 2025?”2045 dan prioritas politik luar negeri yang menekankan kedaulatan, kesejahteraan, dan peran aktif di forum multilateral.
Namun demikian, di balik capaian tersebut, satu catatan kritis yang perlu ditegaskan adalah masih minimnya diplomasi publik Indonesia, yang membuat banyak keberhasilan Kemlu kurang terkomunikasikan secara efektif kepada publik domestik dan internasional.
Kritik Dino Patti Djalal mengenai lemahnya storytelling dan publikasi diplomasi Indonesia pada dasarnya patut diapresiasi sebagai alarm penting di era persepsi dan opini publik global, di mana diplomasi tidak lagi hanya diukur dari meja perundingan, tetapi juga dari kemampuan negara menjelaskan dan membangun kepercayaan publik.
Namun, perlu pula ditegaskan secara berimbang bahwa masukan tersebut seharusnya tidak menafikan capaian konkret Kemlu dan diplomasi Indonesia sepanjang 2025, mulai dari perlindungan WNI di kawasan konflik, penguatan posisi Indonesia di forum multilateral, hingga keberhasilan menjaga kepentingan ekonomi nasional di tengah tekanan geopolitik dan perdagangan global.
Dengan kata lain, kritik Dino Patti Djalal adalah masukan yang baik dan relevan, tetapi ia perlu dibaca dalam konteks kinerja dan hasil yang telah dicapai, agar dorongan memperkuat diplomasi publik tidak berubah menjadi pengaburan atas fakta bahwa diplomasi Indonesia sesungguhnya sedang bekerja, meski belum sepenuhnya bercerita.
Akbar Azmi Hardjasasmita
Direktur Eksekutif Indonesia South-South Foundation (ISSF)

