Close Menu
IDCORNER.CO.ID

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

    What's Hot

    Relawan Kilang Pertamina Tembus Daerah Terisolir di Aceh Tamiang

    December 27, 2025

    Kronologi Pelatih Valencia B Fernando Martin Hilang karena Kecelakaan Kapal di Perairan Taman Nasional Komodo : Okezone Bola

    December 27, 2025

    Hasil Pertandingan Premier League: Nottingham Forest 1-2 Manchester City

    December 27, 2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    IDCORNER.CO.IDIDCORNER.CO.ID
    • Homepage
    • Berita Nasional
    • Berita Teknologi
    • Berita Hoaks
    • Berita Dunia
    • Berita Olahraga
    • Program Presiden
    • Berita Pramuka
    IDCORNER.CO.ID
    Home»Berita Nasional»Peran Indonesia dalam Meredam Konflik Thailand-Kamboja

    Peran Indonesia dalam Meredam Konflik Thailand-Kamboja

    PewartaIDBy PewartaIDDecember 27, 2025No Comments9 Mins Read
    Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email




    Penelitian ini berargumen bahwa vakum kepemimpinan tersebut membuka ruang bagi intervensi diplomasi proaktif Indonesia. Dengan mendasarkan pada filosofi politik luar negeri bebas-aktif dan prinsip ASEAN Way, tulisan ini mengkaji langkah-langkah strategis Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, termasuk pembentukan Special Envoy dan koordinasi dengan kekuatan global, sebagai model solusi untuk mengembalikan stabilitas kawasan. Implikasi kebijakan mengarah pada perlunya revitalisasi mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN.


    Eskalasi Konflik dan Ujian Bagi ASEAN

    Kawasan Asia Tenggara kembali dihadapkan pada ujian berat terhadap komitmennya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas regional dengan merebaknya eskalasi konflik bersenjata di perbatasan Thailand dan Kamboja yang memasuki fase kritis sejak awal Januari 2025. Konflik yang berakar pada sengketa wilayah di sekitar kompleks candi Preah Vihear serta area perbatasan yang belum sepenuhnya terdemarkasi ini telah menelan korban jiwa yang signifikan, dengan laporan terbaru dari Kementerian Kesehatan Thailand pada 10 Februari 2025 menyebutkan setidaknya 38 korban jiwa sipil, sementara Kementerian Pertahanan Kamboja mengklaim puluhan korban di pihak militer. 



    Eskalasi ini tidak hanya mengancam keamanan kedua negara yang bertikai tetapi juga berpotensi merembet ke wilayah regional mengingat laporan mengenai aktivitas militer yang meluas hingga ke wilayah perairan Teluk Thailand. Dalam konteks inilah, peran ASEAN sebagai organisasi yang didirikan berdasarkan Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) 1976, yang mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai, diuji secara nyata. 

    Mandat kolektif ASEAN untuk mencegah konflik terbuka, sebagaimana tertuang dalam “ASEAN Political-Security Community Blueprint 2025”, menghadapi tantangan serius mengingat intensitas pertempuran yang melibatkan penggunaan artileri berat, kendaraan tempur, dan dugaan penggunaan senjata kimia, sebagaimana disampaikan oleh juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja, Melisokeata, dalam konferensi pers 12 Februari 2025. Situasi ini menciptakan tekanan humanitarian yang akut, dengan ribuan pengungsi sipil di kedua sisi perbatasan, sehingga memerlukan respons yang lebih tegas dan efektif dari mekanisme yang ada di bawah payung ASEAN.

    Analisis Kegagalan Mediasi Awal dan Faktor Kompleksitas

    Analisis terhadap akar kegagalan upaya perdamaian tahap awal mengungkap kompleksitas konflik yang melampaui sekadar sengketa bilateral. Upaya mediasi yang diinisiasi oleh Malaysia selaku Ketua ASEAN periode 2025, yang dimanifestasikan melalui pertemuan darurat para Menteri Luar Negeri ASEAN di Kuala Lumpur pada 15 Februari 2025, ternyata gagal menghasilkan kesepakatan gencatan senjata yang mengikat. Pernyataan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, usai pertemuan yang menekankan pentingnya dialog dan penghormatan bersama, dinilai oleh banyak pengamat, termasuk Institute for Strategic and International Studies (ISIS) Malaysia, sebagai terlalu generik dan tidak diikuti dengan mekanisme pemantauan atau tekanan yang memadai. 

    Kegagalan ini bersifat sistemik, di mana Thailand, melalui Menteri Luar Negeri-nya Sihasak Phanketkeow, secara eksplisit menolak gencatan senjata tanpa pra-kondisi pembersihan ranjau darat oleh Kamboja terlebih dahulu, sementara Kamboja bersikeras bahwa serangan harus dihentikan tanpa syarat. Lebih dalam lagi, ketidakpercayaan (trust deficit) terhadap mediator utama menjadi faktor krusial. Pihak Thailand secara tersirat meragukan netralitas Malaysia, sementara Kamboja memiliki memori historis mengenai keterlibatan pihak ketiga. 

    Kegagalan mediasi bersama Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump pada periode konflik sebelumnya telah menciptakan preseden negatif yang mengurangi kredibilitas mediator eksternal. Kondisi ini diperparah oleh spekulasi dan laporan intelijen mengenai keterlibatan tidak langsung aktor negara besar, seperti dugaan keberadaan elemen keamanan tidak beraturan asal Rusia di Kamboja dan transfer persenjataan canggih buatan Tiongkok, yang semakin mempersulit pencapaian solusi murni regional.

    Kerangka Hukum dan Dilema Normatif ASEAN

    Dimensi hukum dari konflik ini bersandar pada dua pilar utama: hukum internasional publik dan kerangka normatif ASEAN. Secara internasional, kedua negara terikat oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Pasal 2 (4) yang melarang penggunaan kekuatan, serta putusan Mahkamah Internasional tahun 1962 yang menetapkan kedaulatan Kamboja atas kawasan Preah Vihear. Namun, implementasi putusan tersebut terkait dengan demarkasi batas di sekitarnya tetap menjadi sumber ketegangan. Di tingkat regional, ASEAN Charter Pasal 22 mengamanatkan penyelesaian sengketa melalui “cara-cara damai” dan dialog sesuai dengan semangat ASEAN Way, yang menekankan konsultasi, konsensus, dan non-intervensi. 

    Akan tetapi, prinsip non-intervensi yang kaku, seperti yang diterjemahkan dalam sikap awal Malaysia yang lebih memilih pendekatan persuasif tanpa tekanan diplomatik substansial, justru menjadi penghambat ketika salah satu pihak enggan berkompromi. Instrumen hukum ASEAN seperti Protocol to the Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone Treaty on Dispute Settlement atau mekanisme ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) terbukti kurang efektif menangani eskalasi militer cepat. 

    Oleh karena itu, terjadi diskoneksi antara komitmen normatif ASEAN yang tertuang dalam dokumen-dokumen seperti Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (prinsipnya dapat diadopsi) dengan kapasitas operasionalnya untuk menegakkan perdamaian. Kegagalan mediasi Malaysia mencerminkan dilema klasik antara menghormati kedaulatan negara anggota dan kebutuhan untuk tindakan kolektif yang tegas demi menjaga stabilitas kawasan, sebagaimana diamanatkan dalam ASEAN Political-Security Community Blueprint.

    Vakum Kepemimpinan dan Peluang Diplomasi Indonesia

    Vakum kepemimpinan dan efektivitas inilah yang kemudian membuka ruang sekaligus menciptakan imperatif bagi Indonesia untuk mengambil peran yang lebih sentral. Keputusan Indonesia untuk terlibat aktif bukanlah langkah spontan, melainkan berdasarkan pada pertimbangan strategis jangka panjang dan identitasnya sebagai kekuatan middle power dengan rekam jejak diplomasi. Secara historis, Indonesia memiliki kapital diplomatik yang kuat, tercermin dari perannya sebagai fasilitator dalam penyelesaian konflik Kamboja pasca-Perang Dingin melalui Jakarta Informal Meetings dan partisipasi aktif dalam misi pemantauan. 

    Filosofi politik luar negeri “bebas-aktif” yang ditegaskan kembali oleh Presiden Prabowo Subianto, dengan jargon “seribu kawan, nol musuh”, memberikan fondasi ideologis yang tepat untuk mediasi. Berbeda dengan pendekatan Malaysia yang dinilai pasif, Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri Sugiono, segera mengeluarkan pernyataan pada 18 Februari 2025 yang secara tegas menyerukan penghentian permusuhan dan menawarkan diri sebagai penengah yang netral. 

    Pernyataan ini secara implisit mengkritik kegagalan pertemuan Kuala Lumpur dan menawarkan alternatif jalur diplomasi. Langkah ini didukung oleh kapasitas Indonesia yang memiliki hubungan diplomatik dan ekonomi yang seimbang dengan kedua negara yang bertikai, serta dengan kekuatan besar seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Rusia, sehingga memposisikannya sebagai honest broker yang kredibel.

    Solusi Multi-Track dan Institusional dari Indonesia

    Solusi yang ditawarkan oleh Indonesia bersifat multi-track dan institusional, yang dirancang untuk mengatasi kelemahan dari upaya mediasi sebelumnya. Track pertama adalah diplomasi tingkat tinggi langsung. Indonesia mengusulkan penunjukan Special Envoy of the President for Myanmar and Regional Conflict Resolution, sebuah pos yang dapat diperluas mandatnya untuk melakukan shuttle diplomacy antara Phnom Penh dan Bangkok. Diplomasi ini tidak hanya membahas gencatan senjata, tetapi juga akar konflik, yaitu proses demarkasi batas yang mandek. Indonesia dapat mengusulkan revitalisasi Joint Border Committee (JBC) Thailand-Kamboja dengan fasilitasi teknis dari Indonesia atau ASEAN. 

    Track kedua adalah membangun kerangka kerja sementara untuk mencegah eskalasi. Indonesia mengajukan pembentukan ASEAN Ceasefire Monitoring Team yang terdiri dari personel militer non-kombatan dari negara-negara ASEAN netral (seperti Indonesia, Singapura, Filipina) untuk ditempatkan di pos-pos pengamatan di zona penyangga. Proposal ini memerlukan amendemen terhadap prinsip non-intervensi menjadi “non-indifference” atau tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect) stabilitas regional, yang sejalan dengan semangat ASEAN Community. Track ketiga adalah mengelola dimensi eksternal konflik. 

    Indonesia memanfaatkan hubungan strategisnya dengan Tiongkok, yang disampaikan melalui utusan khusus Deng Si Jun, dan dengan Amerika Serikat, untuk menjamin bahwa tidak ada transfer senjata baru atau dukungan militer tidak langsung yang memperkeruh situasi. Pendekatan ini merupakan implementasi dari omni-enmeshment strategy, menjalin semua pihak dalam jaringan komunikasi untuk mencegah proxy war.

    Aksi konkret yang dapat segera diimplementasikan mencakup beberapa langkah berurutan. Pertama, Indonesia harus mengoordinasikan dengan Sekretariat ASEAN untuk mengadakan pertemuan tertutup (retreat) para Menteri Luar Negeri Thailand dan Kamboja di wilayah netral, seperti di Bali, dengan hanya fasilitator Indonesia, jauh dari sorotan media yang sering kali memanas-manasi. 

    Pertemuan ini bertujuan menghasilkan Bali Joint Statement on Immediate De-escalation yang berisi komitmen untuk: (a) menghentikan semua tembak-menembak dalam waktu 24 jam, (b) menarik artileri jarak jauh ke posisi yang disepakati, (c) membuka koridor kemanusiaan untuk evakuasi warga sipil oleh Palang Merah setempat, dan (d) menyetujui kunjungan fact-finding team ASEAN. Kedua, untuk mengatasi isu ranjau darat yang menjadi titik sengketa, Indonesia dapat menawarkan bantuan teknis dari pasukan Zeni TNI AD yang berpengalaman dalam bidang demining untuk membantu pembersihan area yang disengketakan, tentu saja dengan persetujuan kedua belah pihak. 

    Ketiga, di bidang hukum, Kementerian Luar Negeri RI dapat membentuk panel ahli hukum internasional dan batas wilayah untuk memberikan opsi-opsi penyelesaian teknis-yuridis sebagai bahan referensi bagi perundingan perbatasan. Keempat, secara paralel, diplomasi publik harus dijalankan untuk membangun opini yang mendukung perdamaian di kedua negara, mungkin melalui kerja sama media dan pertukaran tokoh masyarakat.

    Implikasi Kebijakan dan Penutup

    Implikasi kebijakan dari analisis ini sangat jelas. Bagi Indonesia, momentum ini harus dimanfaatkan untuk tidak hanya menyelesaikan konflik spesifik, tetapi juga untuk mereformasi arsitektur keamanan ASEAN. Indonesia perlu mengadvokasi pembentukan ASEAN Conflict Management Protocol yang lebih mengikat, yang merinci langkah-langkah progresif dari good offices, mediasi, hingga penyelidikan fakta dan sanksi politik terbatas jika salah satu pihak secara terbuka melanggar kesepakatan gencatan senjata. 

    Protokol ini dapat menjadi lampiran (annex) dari ASEAN Charter. Bagi ASEAN secara kolektif, konflik ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperkuat Sekretariat ASEAN dengan unit krisis (crisis cell) permanen yang dilengkapi dengan ahli militer, hukum, dan kemanusiaan, serta memiliki akses langsung kepada para pemimpin negara anggota selama keadaan darurat. Bagi masyarakat internasional, khususnya mitra wicara ASEAN seperti AS, Tiongkok, dan UE, dukungan harus diberikan dalam bentuk pendanaan untuk mekanisme pemantauan, tekanan diplomatik koordinatif kepada pihak-pihak yang bertikai, dan penghormatan terhadap kepemimpinan regional yang diinisiasi oleh Indonesia.

    Penutup dari naskah akademik ini menegaskan bahwa konflik perbatasan Thailand-Kamboja bukan sekadar perselisihan bilateral, melainkan ujian nyata bagi sentralitas dan kredibilitas ASEAN. Kegagalan mediasi awal di bawah kepemimpinan Malaysia mengungkap kelemahan struktural dalam mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN yang terlalu mengandalkan konsensus dan enggan melakukan intervensi konstruktif. Dalam vakum kepemimpinan ini, Indonesia muncul sebagai aktor kunci yang paling memenuhi syarat untuk memimpin upaya perdamaian, berdasarkan pada rekam jejak historis, filosofi politik luar negeri yang tepat, dan hubungan strategisnya yang seimbang. Solusi yang diusulkan oleh Indonesia, yang bersifat multi-track dan institusional, menawarkan jalan keluar yang lebih komprehensif dibandingkan pendekatan sebelumnya. 

    Keberhasilan Indonesia tidak hanya akan menghentikan penderitaan kemanusiaan dan mengembalikan stabilitas regional, tetapi juga dapat menjadi katalis untuk reformasi yang lebih dalam, dalam arsitektur keamanan ASEAN, mengubahnya dari asosiasi yang berbasis konsensus menjadi organisasi yang mampu mengambil tindakan kolektif yang efektif dalam menjaga perdamaian. Oleh karena itu, dukungan penuh dari komunitas internasional dan solidaritas dari sesama negara anggota ASEAN sangat penting untuk memastikan bahwa momentum diplomasi proaktif Indonesia ini berbuah menjadi perdamaian yang berkelanjutan.

    Berdasarkan analisis mendalam terhadap konteks, kegagalan, dan solusi yang tersedia, naskah akademik ini merekomendasikan agar Indonesia tidak hanya bertindak sebagai katalis perdamaian langsung, tetapi juga memanfaatkan pelajaran dari krisis ini untuk menginisiasi pembahasan reformasi kerangka penyelesaian sengketa ASEAN yang lebih efektif dan responsif pada pertemuan KTT ASEAN mendatang.

    Laksamana Muda TNI (Purn) Adv. Dr. Surya Wiranto, SH MH
    Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.
     
     





    Source link

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    PewartaID

    Related Posts

    Relawan Kilang Pertamina Tembus Daerah Terisolir di Aceh Tamiang

    December 27, 2025

    Pertunjukan ‘Ada Apa dengan Srimulat’ Sukses Kocok Perut Penonton

    December 27, 2025

    Tumbangkan Juku Eja, Maung Bandung Tutup 2025 di Puncak Klasemen

    December 27, 2025

    Leave A Reply Cancel Reply

    Demo
    Don't Miss

    Relawan Kilang Pertamina Tembus Daerah Terisolir di Aceh Tamiang

    Berita Nasional December 27, 2025

    Pjs Corporate Secretary KPI, Muttaqin Showwabi mengatakan, aksi kemanusiaan ini merupakan bentuk nyata komitmen KPI…

    Kronologi Pelatih Valencia B Fernando Martin Hilang karena Kecelakaan Kapal di Perairan Taman Nasional Komodo : Okezone Bola

    December 27, 2025

    Hasil Pertandingan Premier League: Nottingham Forest 1-2 Manchester City

    December 27, 2025

    Jadwal Siaran Langsung Timnas Futsal Indonesia U-19 vs Thailand U-19 di Piala AFF Futsal U-19 2025 : Okezone Bola

    December 27, 2025
    Stay In Touch
    • Facebook
    • Twitter
    • Pinterest
    • Instagram
    • YouTube
    • Vimeo
    Our Picks

    Relawan Kilang Pertamina Tembus Daerah Terisolir di Aceh Tamiang

    December 27, 2025

    Kronologi Pelatih Valencia B Fernando Martin Hilang karena Kecelakaan Kapal di Perairan Taman Nasional Komodo : Okezone Bola

    December 27, 2025

    Hasil Pertandingan Premier League: Nottingham Forest 1-2 Manchester City

    December 27, 2025

    Jadwal Siaran Langsung Timnas Futsal Indonesia U-19 vs Thailand U-19 di Piala AFF Futsal U-19 2025 : Okezone Bola

    December 27, 2025

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

    Demo
    © 2025 ID Corner News

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.