Close Menu
IDCORNER.CO.ID

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

    What's Hot

    Selamat dari Kekalahan, Daniel Farke Justru Kecewa! Ada Apa?

    December 29, 2025

    Perda KTR Jangan Rusak Iklim Usaha Hotel dan Restoran

    December 29, 2025

    Harga Emas Antam Turun Rp9.000 Dibanderol Rp2.596.000 per Gram : Okezone Economy

    December 29, 2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    IDCORNER.CO.IDIDCORNER.CO.ID
    • Homepage
    • Berita Nasional
    • Berita Teknologi
    • Berita Hoaks
    • Berita Dunia
    • Berita Olahraga
    • Program Presiden
    • Berita Pramuka
    IDCORNER.CO.ID
    Home»Berita Nasional»Pembeda Dua Wajah

    Pembeda Dua Wajah

    PewartaIDBy PewartaIDDecember 29, 2025No Comments8 Mins Read
    Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email




    Atau, kalau mau dibalik sedikit agar lebih adil, penyakit memaksa dua wajah berbeda agar terlihat sama. Gejalanya khas, berulang, dan anehnya kini bukan hanya menyerang warga media sosial, tapi juga merembet ke ruang-ruang resmi penegakan hukum.


    Gejalanya hampir selalu sama. Orang-orang melihat dua gambar, entah hitam-putih atau berwarna, entah resolusi tinggi atau buram seperti ingatan tentang mantan yang tak sempat pamit, lalu berkata, “Lho, ini jelas bukan orang yang sama.”

    Reaksi ini spontan, wajar, dan manusiawi, karena mata jutaan rakyat tidak bisa berbohong. Namun, anehnya, reaksi semacam itu justru bisa berujung masalah hukum. Seolah-olah mata rakyat harus tunduk pada satu versi penglihatan resmi.



    Mari kita jujur sejak awal. Ambil contoh dua foto wajah yang saya jadikan ilustrasi. Sekedar ilustrasi saja, tanpa maksud aneh-aneh. Secara kasat mata, dan ini bukan perasaan, tapi pengamatan Anda yang jeli, hidung pada kedua foto itu berbeda postur.

    Tak perlu mata melotot atau alat canggih. Cukup lihat dengan tenang. Hidung foto yang satu ujungnya sedikit menunduk ke bawah, berujung lancip dengan bibir lubang melengkung. Sementara hidung foto yang satu lagi ujungnya mendongak bulat, dengan bibir lubang rata.

    Ini bukan soal besar-kecil hidung. Ini soal arah ujung hidung. Dalam anatomi wajah, ujung hidung bukan figuran. Ia penentu karakter. Betul, usia bisa membuat hidung tampak lebih panjang. Tapi jarang dan memang amat jarang, usia membuat postur hidung banting setir dari menunduk ke mendongak, dari lancip ke bulat. Kecuali, tentu saja, hidung itu pernah menjalani operasi besar atau punya riwayat benturan fisik dengan pintu mobil.

    Alis pun tak kalah cerewet bersaksi. Alis foto yang satu lurus, menipis ke samping dan kalem, seperti orang yang hidupnya relatif minim drama. Sementara alis foto yang lain melengkung tebal dan anggun, seolah selalu siap mengangkat satu alis sambil berkata, “Serius kamu nanya begitu?”

    Rambut alis memang bisa dicukur, ditipiskan, atau dibentuk ulang oleh salon dan niat hidup baru. Tapi karakter lengkung dasarnya jarang berubah. Alis itu seperti logat daerah. Bisa coba ditutup-tutupi, tapi akan muncul juga saat emosi datang.

    Lalu penampakan bibir. Ah, bibir. Di sinilah banyak orang tertipu oleh senyum. Padahal, dalam membaca wajah, senyum itu seperti filter Instagram yang menipu, tapi disukai. Yang harus dilihat adalah bibir saat netral, saat ia tidak sedang berusaha menyenangkan siapa pun.

    Bibir foto yang satu lurus dan tipis. Bibirnya foto yang lain lebih penuh dan melengkung. Sudut mulutnya pun berbeda. Ini bukan efek umur. Ini efek struktur bawaan. Usia boleh membuat bibir mengendur, tapi tidak mengubah arsitektur dasarnya, kecuali seseorang hidupnya terlalu sering tersenyum palsu atau bohong melulu.

    Namun yang paling jujur dari semua yang ada di kepala adalah telinga. Telinga itu boleh dibilang saksi bisu. Jarang ikut drama, tidak pernah ikut filter, dan nyaris tidak peduli usia. Orang bisa memalsukan rambut, mengatur cahaya, mengencangkan kulit, tapi telinga tetap setia pada bentuk aslinya. Dalam banyak kajian forensik, telinga bahkan lebih dipercaya daripada mata. Mata bisa berbohong. Telinga tidak punya kepentingan.

    Di ilmu identifikasi wajah, telinga justru sering dijadikan hakim terakhir ketika bagian wajah lain diperdebatkan. Alasannya sederhana bahwa telinga hampir tidak berubah oleh usia, tidak ikut senyum, tidak ikut marah, tidak terpengaruh pencahayaan, dan jarang disentuh oleh industri kosmetik. Orang bisa mengubah rambut, alis, kulit, bahkan hidung, tapi jarang sekali ada yang mengurus telinga kecuali untuk tindik atau anting.

    Ya, kalau difokuskan khusus ke telinga, perbedaannya justru makin telanjang, bahkan lebih “jujur” dibanding hidung atau bibir. Saya tulis agak detil, karena telinga adalah bagian wajah yang paling sulit “dipalsukan oleh waktu”, tapi justru sering diabaikan dalam perdebatan publik. Kita bedah pelan-pelan, tapi presisi.

    Pertama, ujung telinga (apex). Ini yang paling mudah terlihat. Wajah kiri dimana ujung telinga tampak lebih runcing dan naik, seperti segitiga kecil yang tegas. Arah ujungnya cenderung menyudut ke atas. Wajah kanan dimana ujung telinga lebih tumpul dan membulat, arahnya jatuh ke samping–bawah, tidak membentuk sudut tajam.

    Ujung telinga (apex auricula) adalah bagian yang sangat jarang berubah oleh usia. Penuaan bisa membuat telinga tampak sedikit lebih panjang, tetapi tidak mengubah karakter ujungnya dari runcing jadi tumpul atau sebaliknya. Perbedaan ini kuat dan struktural.

    Kedua, daun telinga (auricle/pinna) secara keseluruhan. Bukan cuma ujungnya, watak daunnya juga beda. Wajah kiri dimana daun telinga tampak lebih ramping dan “ketarik ke belakang”, mengikuti garis kepala. Kesan visualnya ringan.

    Wajah kanan dimana daun telinga lebih lebar dan terbuka, dengan volume yang terasa lebih “berisi”. Ini bukan efek kamera, karena proporsinya terhadap rahang dan pipi juga berbeda. Pada foto kanan, telinga tampak lebih dominan dibanding struktur wajah sekitarnya.

    Ketiga, heliks telinga nyata berbeda. Wajah kiri dimana heliks tampak lebih tipis, tajam, dan menekuk ke dalam. Lengkungnya sempit dan rapat. Wajah kanan dimana heliks lebih tebal, landai, dan terbuka, dengan lengkung yang lebih lebar dan halus.

    Mari saya jelaskan, heliks itu apa? Ini penting, karena sering disebut tapi jarang dipahami. Heliks (helix) adalah tepi luar telinga yang melengkung, mulai dari atas, memutar ke belakang, lalu turun ke bawah. Ibarat pagar, heliks adalah bingkai utama telinga.

    Ini bukan detail remeh. Ini detail yang dalam praktik forensik justru sering dipakai untuk membatalkan dugaan kesamaan, bukan menguatkannya. Telinga tidak mengenal kompromi narasi. Ia tidak peduli jabatan, tidak tahu kepentingan, dan tidak bisa dipaksa ikut cerita.

    Dalam kajian identifikasi wajah, bentuk heliks dianggap salah satu ciri paling stabil seumur hidup. Ia hampir tidak terpengaruh ekspresi, emosi, pencahayaan, atau kosmetik.

    Keempat, perlekatan telinga ke kepala. Ini detail kecil tapi menentukan. Wajah kiri dimana telinga tampak lebih menempel ke sisi kepala. Wajah kanan dimana telinga lebih menonjol keluar, ada jarak yang jelas antara daun telinga dan kepala. Perbedaan ini bukan soal sudut foto semata, karena arah wajah dan kamera relatif sebanding.

    Jika kita rangkum, kita bisa bikin kesimpulan anatomi telinga (tanpa drama). Ujung telinga: runcing vs tumpul; daun telinga: ramping vs lebar; heliks: tajam–rapat vs tebal–landai; perlekatan: menempel vs terbuka. Maka secara ilmu anatomi wajah, telinga kedua wajah ini menunjukkan pola individu yang berbeda, bukan variasi usia dari orang yang sama.

    -000-

    Maka ketika telinga, bagian wajah yang paling jujur dan paling bandel terhadap manipulasi, sudah “angkat tangan” dan berkata, “kami bukan satu orang”, pertanyaannya seharusnya sederhana dan lurus: mengapa justru sistem memilih menutup telinga, secara harfiah dan metaforis, lalu mempersoalkan mereka yang masih mau melihat dengan jujur?

    Pertanyaan berikutnya lebih serius, dan di sinilah logika mulai jungkir balik adalah, mengapa aparat dan sebagian kalangan justru tampak kesulitan menyatakan apakah dua foto itu orang yang sama atau bukan, tetapi pada saat yang sama merasa cukup yakin untuk memperkarakan warga yang menyatakan sebaliknya?

    Di titik ini, bukan rakyat yang terlalu berani menilai, melainkan sistem yang terlalu cepat memvonis penilaian rakyat sebagai kesalahan.

    Kita sedang berbicara tentang institusi berseragam, berpangkat, berwenang, dan dibiayai negara. Institusi yang memiliki arsip, database, dan akses biometrik. Namun ironisnya, dalam perkara dua foto wajah, ketelitiannya kerap kalah dari seorang warga biasa yang memperbesar gambar dengan dua jari sambil menyeruput kopi.

    Masalahnya bukan ketiadaan alat. Aparat jelas punya alat. Masalahnya lebih mendasar dan lebih kultural: budaya mengejar kepastian administratif, bukan budaya menguji kebenaran visual secara ilmiah. Dalam logika semacam ini, yang dicari bukan jawaban jujur apakah dua foto itu benar-benar menunjukkan orang yang sama, melainkan apakah kesimpulan itu sudah cukup “aman” untuk dipertahankan.

    Di sinilah keraguan justru dianggap gangguan. Padahal, dalam ilmu identifikasi wajah, keraguan adalah pintu kehati-hatian. Tanpa keraguan, analisis berubah menjadi pembenaran. Foto tidak lagi dibaca, tetapi diarahkan untuk mengangguk.

    Begitu narasi awal ditetapkan -“ini orangnya sama”- foto kehilangan haknya untuk berbicara. Ujung hidung yang berbeda disebut pengaruh usia. Alis yang karakternya bertolak belakang disebut efek cahaya. Bibir yang strukturnya tidak sama disebut pengaruh senyum. Telinga yang jelas-jelas berbeda? Dianggap tidak relevan.

    Semua perbedaan dikecilkan. Semua kemiripan dibesarkan. Anatomi dipaksa tunduk pada skenario cerita.

    Ironisnya, profil samping, yang dalam kajian forensik justru dikenal penuh jebakan, sering dijadikan dasar keyakinan. Siluet wajah diperlakukan seolah identitas. Padahal siluet itu seperti bayangan sore hari: panjang, dramatis, tetapi miskin presisi. Dua orang berbeda bisa tampak satu, sementara satu orang bisa tampak seperti tiga versi berbeda tergantung cahaya dan sudut kamera.

    Di ruang publik, kesalahan semacam ini mungkin hanya berujung perdebatan. Namun ketika ia dibawa ke ranah hukum, akibatnya berubah skala: perbedaan penilaian visual bisa diperlakukan sebagai pelanggaran, bukan sebagai bagian wajar dari nalar manusia.

    Yang lebih mengkhawatirkan, baik warga maupun aparat hidup dalam ekosistem yang tidak memberi insentif pada kalimat sederhana, “Belum cukup bukti.” Di media sosial, kalimat itu tidak viral. Dalam praktik birokrasi hukum, kalimat itu dianggap memperlambat proses. Maka jalan tercepat dan terasa paling aman adalah menyederhanakan: nyatakan sama, lalu persoalkan mereka yang berani berkata beda.

    Padahal, dalam dunia ilmu, satu detail anatomi yang bertentangan sudah cukup untuk menginjak rem. Dalam dunia hukum yang sehat, rem itu seharusnya diinjak lebih keras, bukan justru dilepas sambil menutup mata.

    Maka ketika publik bertanya-tanya mengapa dua foto wajah yang tampak berbeda bisa dipaksakan sebagai satu orang, dan mengapa mereka yang menyangsikan justru dipersoalkan, jawabannya bukan karena mata publik terlalu liar. Jawabannya lebih pahit, karena sistem lebih mencintai kepastian semu daripada kebenaran yang memerlukan waktu, kesabaran, dan keberanian untuk mengakui keraguan.

    Di zaman seperti ini, mungkin keberanian terbesar bukanlah berteriak paling lantang, melainkan berani berkata jujur dan tenang bahwa ini bukan orang yang sama. Sebab dalam perkara wajah manusia, satu kebenaran tidak semestinya dipidanakan hanya karena ia tidak sejalan dengan narasi resmi.





    Source link

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    PewartaID

    Related Posts

    Perda KTR Jangan Rusak Iklim Usaha Hotel dan Restoran

    December 29, 2025

    Kebakaran Panti Jompo di Manado, 16 Orang Tewas

    December 29, 2025

    Gaji Naik Tak Seberapa, Pekerja Singapura Ramai-ramai Cari Kerjaan Baru

    December 29, 2025

    Leave A Reply Cancel Reply

    Demo
    Don't Miss

    Selamat dari Kekalahan, Daniel Farke Justru Kecewa! Ada Apa?

    Berita Olahraga December 29, 2025

    Ligaolahraga.com -Berita Liga Inggris: Manajer Leeds United, Daniel Farke, mengaku kurang puas dengan hasil imbang…

    Perda KTR Jangan Rusak Iklim Usaha Hotel dan Restoran

    December 29, 2025

    Harga Emas Antam Turun Rp9.000 Dibanderol Rp2.596.000 per Gram : Okezone Economy

    December 29, 2025

    Kebakaran Panti Jompo di Manado, 16 Orang Tewas

    December 29, 2025
    Stay In Touch
    • Facebook
    • Twitter
    • Pinterest
    • Instagram
    • YouTube
    • Vimeo
    Our Picks

    Selamat dari Kekalahan, Daniel Farke Justru Kecewa! Ada Apa?

    December 29, 2025

    Perda KTR Jangan Rusak Iklim Usaha Hotel dan Restoran

    December 29, 2025

    Harga Emas Antam Turun Rp9.000 Dibanderol Rp2.596.000 per Gram : Okezone Economy

    December 29, 2025

    Kebakaran Panti Jompo di Manado, 16 Orang Tewas

    December 29, 2025

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

    Demo
    © 2025 ID Corner News

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.