Orang teriak “Happy New Year!” seolah-olah kalender bisa tersinggung kalau tidak disambut meriah.
Padahal, kalau mau jujur secara historis, Tahun Baru itu sejak lahir sudah kontroversial, sering ditolak, dicurigai, dan dipindah-pindah tanggalnya seperti rapat RT yang tak pernah cocok waktu.
Ribuan tahun lalu, sekitar 2000 sebelum Masehi, orang Babilonia (Irak sekarang) sudah merayakan pergantian tahun lewat Festival Akitu.
Tapi jangan bayangkan terompet plastik dan DJ. Ini ritual serius, penuh doa, dilakukan saat musim semi, ketika alam betul-betul memulai hidup baru.
Tahun Baru saat itu bukan soal hitung mundur, tapi soal bertahan hidup. Gagal panen, ya tamat. Wajar kalau mereka khusyuk. Tidak ada satu pun bukti arkeologis orang Babilonia meniup terompet sambil mabuk.
Kekacauan dimulai ketika Romawi datang dengan ambisi mengatur dunia sekaligus jam dindingnya. Kalender Romawi awalnya memulai tahun di bulan Maret, masuk akal karena musim semi.
Tapi kemudian muncul bulan Januari, dinamai dari Janus, dewa bermuka dua yang bisa menoleh ke masa lalu dan masa depan. Dewa ini cocok jadi logo perusahaan asuransi, tapi justru dijadikan simbol awal tahun.
Pada 45 SM, Julius Caesar meresmikan Kalender Julian dan menetapkan 1 Januari sebagai awal tahun. Alasannya sederhana dan sangat Romawi, supaya pejabat mulai kerja serempak. Sejak awal, Tahun Baru itu lebih dekat ke absensi ASN dari wahyu langit.
Keputusan ini bikin banyak orang berkerut dahi. Umat Kristen awal menolak perayaan 1 Januari karena dianggap bau pagan, aroma Janus masih menyengat. Akibatnya, di Eropa abad pertengahan, Tahun Baru sempat dirayakan di berbagai tanggal.
Ada 25 Maret, Paskah, bahkan 25 Desember. Tahun Baru saat itu seperti artis freelance, pindah-pindah panggung.
Baru pada 1582, Paus Gregorius XIII memperkenalkan Kalender Gregorian, memperbaiki kesalahan astronomi Kalender Julian, tapi tetap mempertahankan 1 Januari. Artinya, bintang boleh dikoreksi, tapi tradisi yang telanjur mapan jangan diganggu.
Di dunia Islam, ceritanya lebih tegas. Tahun Baru Masehi tidak pernah dianggap perayaan religius.
Banyak ulama menolaknya karena dianggap tradisi non-Islam dan sering diiringi hura-hura. Yang diakui adalah Tahun Baru Hijriah, berbasis kalender lunar, yang datang tiap 354 hari, lebih cepat dari kalender Masehi.
Tanpa kembang api, tanpa countdown, tapi penuh refleksi. Di sini, waktu bukan pesta, melainkan pengingat usia yang berkurang.
Budaya lain pun tidak kalah cuek. Tiongkok punya Imlek, Persia punya Nowruz di 21 Maret, India punya segudang kalender lokal.
Bagi masyarakat agraris, Tahun Baru dimulai saat panen atau musim tanam, bukan saat tanggal berubah. Bagi mereka, 1 Januari itu cuma angka administrasi, seperti nomor antrian. Penting, tapi tidak sakral.
Lalu datang kritik modern yang lebih pedas. Para filsuf menyindir Tahun Baru sebagai ilusi psikologis kolektif.
Waktu itu mengalir terus, kata mereka, tidak lompat hanya karena kalender ganti halaman. 31 Desember ke 1 Januari itu secara fisika sama saja dengan 12.59 ke 13.00.
Resolusi Tahun Baru pun jadi bahan tertawaan akademik karena mayoritas gagal sebelum Februari. Tapi justru di situlah lucunya manusia, tahu ilusi, tapi tetap butuh.
Belum cukup, aktivis lingkungan ikut naik panggung. Kembang api dituduh mencemari udara, membikin burung panik, dan memboroskan energi.
Beberapa kota besar di dunia mulai melarang kembang api dan menggantinya dengan pertunjukan cahaya. Tahun Baru tidak dilarang, tapi disuruh diet karbon. Bahkan kalender pun kini harus ramah lingkungan.
Di sisi lain, ada penolakan ideologis. Perayaan Tahun Baru Barat dianggap simbol dominasi budaya. Kalender pun ternyata bisa jadi alat politik.
Siapa menguasai waktu, dia menguasai ritme hidup manusia. Tidak heran kalau sebagian kelompok memilih berkata, “Kami punya tahun baru sendiri, terima kasih.”
Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan yang agak menyebalkan tapi jujur. Tahun Baru tidak pernah murni soal tanggal.
Ia adalah campuran astronomi, kekuasaan, agama, budaya, dan psikologi manusia yang takut berjalan tanpa tanda garis start.
Ada yang merayakan dengan petasan, ada yang menolak dengan dalil, ada yang tidur pules karena besok tetap kerja.
Mungkin, di balik semua keriuhan itu, Tahun Baru hanyalah alasan paling sopan bagi manusia untuk berkata pada dirinya sendiri, “Hidupku berantakan, tapi ayo kita pura-pura rapi mulai besok.”
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

