Yang namanya teror jelas tidak diketahui siapa pengirimnya. Yang jelas, tujuannya adalah berupaya membungkam suara-suara kritis yang selama ini berkeliaran di media sosial. Beruntung, kita hidup di era disrupsi yang mana keterbukaan informasi mudah kita dapatkan dari berbagai sudut pandang. Bjkan lagi hidup di masa orde baru di mana informasi diatur sesuai kepentingan penguasa. Media nasional atau tangkapan layar TV tidak lagi menjadi kiblat masyarakat dalam mendapat berita, terutama terkait penanganan bencana Sumatra hari ini.
Lahirnya suara-suara kritis tersebut tidaklah datang secara kebetulan atau sekadar fomo semata. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesadaran bahwa negara ini dikelola secara salah dan diatur dengan kebijakan payah. Kritik hadir untuk meruntuhkan retorika keliru pejabat yang asal bunyi. Kritik ada karena kebijakan negara yang kelewat serampangan. Kritik mengemuka karena penguasa terlalu arogan dalam menyikapi masukan dan keluh kesah masyarakat.
Kritik adalah penyeimbang atas kelalaian berjamaah yang dilakukan negara. Kritik adalah bentuk kasih sayang rakyat terhadap negeri ini. Indonesia tercinta ini terlalu mahal untuk dirusak oleh keserakahan tak bertepi. Jika ada kritik, pasti ada masalah. Jika pemerintah dicecar penuh hujat, pasti ada yang salah dalam menetapkan kebijakan. Janganlah memandang kritik sebagai wujud kebencian. Jika ada kritik, jangan pula denial sehingga lidah terasa kelu untuk sekadar mengucap “maaf dan terima kasih”.
Dalam Islam, kritik adalah aktualisasi nahi mungkar. Setiap kemungkaran besar, yakni kebijakan yang merugikan rakyat harus dinasihati dan diubah, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda dalam hadisnya. Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman (HR. Muslim, no. 49)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Pengingkaran dengan lisan dan tangan wajib dilakukan dengan melihat pada kemampuan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:245). Artinya, rakyat memiliki kemampuan dengan lisannya untuk mengoreksi dan meluruskan kebijakan penguasa. Sementara penguasa memiliki kemampuan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan, bukan malah tutup mata, telinga, dan hati mendengar kritik.
Jika penguasa dan pemimpin negeri ini mau belajar, belajarlah bagaimana bijaksananya Khalifah Umar bin Khaththab ra. dalam merespon kritik yang ditujukan kepadanya. Merujuk pada kitab Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu karya Prof. Wahbah Zuhaily,“Seorang laki-laki berkata pada Umar ra., ‘Bertakwalah! Wahai Umar.’ Lalu pemuda lain menyahut, ‘Layakkah ungkapan itu ditujukan pada seorang Amirulmukminin?’ Dengan bijak Umar menjawab, ‘Tidak ada kebaikan pada diri kalian apabila kalian tidak mengatakannya (kalimat takwa) dan tidak pula ada kebaikan dalam diriku apabila aku tidak mau mendengarnya (dari kalian).’ Sikap bijak Umar bin Khattab ra. sangat menghargai kritik. Umar menekankan bahwa saling mengingatkan dalam ketakwaan adalah kewajiban bersama: rakyat wajib berbicara benar, dan pemimpin wajib mendengarkannya dengan lapang dada.
Begitu pula Khalifah Abu Bakar tatkala ia dibaiat sebagai pemimpin dan kepala negara bagi kaum muslim, “Jika aku berbuat baik, maka bantulah aku. Namun jika aku menyimpang, luruskanlah aku.” (As-Suyuthi, Jam’ul Jawami’). Jika para pemimpin negeri ini mau meneladan kepemimpinan yang telah dicontohkan Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab ra., tentu saja rakyat akan menyambutnya dengan senang hati dan mendoakannya. Sayangnya, para pemimpin negeri ini justru memilih pura-pura buta dan tuli, mendiamkan kemungkaran yang ada di hadapannya, bahkan mereka menjadi pelaku kemungkaran itu sendiri. Ini karena kecintaan terhadap dunia terlalu mendominasi sehingga pikiran dangkal, tidak berpikir dampak jangka panjang, dan mati rasa atas penderitaan rakyat.
Siapa pun pelaku teror dan membungkam kesadaran masyarakat, upaya itu Penulis: Chusnatul Jannah, Komunitas Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
tidak akan berhasil. Sebagaimana kata pepatah, “Keadilan mungkin tidur, tetapi ia tidak pernah mati. Sebaliknya, kezaliman mungkin berjaya hari ini, namun ia sedang menggali kuburnya sendiri.”
Ada baiknya para penguasa dan pemimpin yang mendapat amanah melayani rakyat merenungkan hadis Rasulullah saw., “Takutlah dan waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi karena tidak ada penghalang antara dia dengan Allah” (HR Bukhari).
Chusnatul Jannah
Komunitas Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

