Jakarta –
Desainer Motif Batik Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik (BBKB), Utut Kusumadhata berbicara tantangan dalam pemeliharaan tradisi batik. Hal ini terjadi ketika penjual batik masa kini tidak mengenal motif batik yang dijualnya.
“Kalau tahu pun motifnya, filosofinya nggak tahu. Kan itu ada missing link. Itu PR sebetulnya, jadi, di manapun kita mencatat, menggambar, itu ditulis,” ujar Utut dalam talkshow ‘Menggambar dan Menulis sebagai Upaya Preservasi Industri dan Budaya Batik’ di Gelar Batik Nusantara (GBN) 2025 di Pasaraya Blok M, Jakarta, Sabtu (2/8/2025).
“Jangan sampai saat beralih tangan, filosofinya nggak ikut. Jadi, bayangkan batik itu satu paket. Batik itu ada visualnya, ada literasinya. Maka, dengan seperti itu, harapannya bisa abadi,” lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sabagai contoh, kata dia, makna filosofis mendalam batik salah satunya tertuang dalam motif Batik Nambal di Jawa Tengah. Motif Batik Nambal ini dipercaya membantu penyembuhan orang yang sedang sakit.
“Jadi, batik itu bisa dimulai dari filosofi jadi gambar. Atau bisa dari gambar, habis itu filosofi. Dalam hal ini, mungkin yang terjadi adalah gambar turun ke filosofi. Jadi gambarnya sudah ada, sudah coret-coret, ‘oh, keren, saya jadiin batik, menurut saya ini apa’,” ungkap Utut.
“Bagi orang Yogya, tambal-tambal yang mana ini disambungkan lagi dengan istilah “nambel”, yaitu menambel sesuatu yang sakit,” sambungnya.
Selain itu, Utut juga mengungkapkan bahwa pemaknaan mendalam terhadap filosofi batik penting diljadikan akar untuk melestarikan batik sebagai industri, sekaligus batik sebagai budaya.
“Irisannya, jadi katakanlah kalau kita mengejar batik sebagai industri, sebagai kuantitas, kita diburu deadline, akhirnya meninggalkan budaya, itu nggak etis. Sebaliknya, kalau kita terlalu memburu budaya, terlalu anti terhadap modern itu juga menghambat industri. Jadi, harapannya budaya berjaya, dan industri juga berjaya,” ujar Utut.
Pemaknaan batik tentu bukanlah perihal mudah. Utut menjelaskan, bahkan pengistilahan batik hingga kini masih menjadi perdebatan panjang. Menurutnya, pemaknaan batik sebagaimana konsensus yang beredar, yaitu amba dan titik atau disingkat menjadi ambatik belum tentu benar ditafsir.
“Ada teori, bahwa batik itu dahulu karena bagine sitik, untungnya sedikit, pengrajin menamai itu sebagai kain batik,” pungkasnya.
Sebagai informasi, acara Gelar Batik Nusantara (GBN) 2025 merupakan acara yang diselenggarakan oleh Kementerian Perindustrian dengan beragam keseruan. Berbagai rangkaian acara digelar pada 30 Juli-3 Agustus 2025, di Pasaraya Blok M.
(akd/akd)