Jakarta –
Rencana Pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada tahun 2026 mulai menuai sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth, yang menilai kebijakan ini harus dikaji lebih dalam agar tidak membebani masyarakat, khususnya warga berpenghasilan rendah.
Kenneth menegaskan bahwa warga Jakarta, terutama peserta mandiri kelas menengah ke bawah, bisa terdampak signifikan jika tidak ada skema subsidi atau kompensasi yang jelas dari pemerintah.
“Kami memahami tantangan pembiayaan BPJS Kesehatan, tetapi jangan sampai masyarakat menjadi korban. Jika iuran naik, maka layanan harus ikut membaik. Jangan hanya membuat suatu program yang ujung-ujungnya malah membebani rakyat tanpa ada perbaikan yang nyata. Peserta BPJS mandiri yang pasti akan merasakan dampak langsung, terutama bagi kelas pekerja informal atau keluarga dengan penghasilan pas-pasan. Biaya kesehatan yang semula terjangkau bisa menjadi beban baru dalam pengeluaran bulanan,” tegas Kenneth dalam keterangannya, Jumat (18/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Bang Kent, sapaan akrab Hardiyanto Kenneth, dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut, ia menilai banyak peserta aktif yang akan berhenti karena terbebani dengan kenaikan tersebut.
“Masyarakat yang merasa terbebani bisa menunggak iuran atau bahkan berhenti sebagai peserta aktif. Hal ini justru akan mengurangi kepesertaan aktif dan memperburuk rasio iuran terhadap klaim BPJS Kesehatan,” beber Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta itu.
Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengakui bahwa pihaknya ikut dalam skenario pembahasan, namun bukan menjadi pihak yang memberikan putusan final. Ia menyebut, diskusi soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan terus dilaksanakan, meskipun angka kenaikannya masih belum disepakati. Kebijakan tersebut ada di tangan pemerintah.
Menurut Kent, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus ikut bersuara dan bersikap dalam pembahasan kebijakan nasional ini, mengingat Jakarta memiliki jumlah peserta JKN yang sangat besar, termasuk yang ditanggung dalam skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).
“Pemprov DKI harus proaktif dan berani bersikap untuk mengusulkan skema yang adil. Jangan sampai warga Jakarta yang sudah tertib membayar iuran justru makin terbebani. Dan jika tidak diimbangi dengan perbaikan layanan dan fasilitas yang lebih baik, peserta bisa merasa dirugikan karena harus membayar lebih mahal tapi tetap harus antre panjang atau mendapat layanan yang seadanya. Kepercayaan terhadap sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bisa menurun. Perlu adanya pembicaraan serius antar Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat soal ini dan juga harus di pikirkan terkait dampak fiskalnya juga,” beber Ketua IKAL (Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI) PPRA Angkatan LXII itu.
Kent juga meminta BPJS Kesehatan untuk lebih transparan dalam menyampaikan kondisi keuangan, termasuk penggunaan dana dan efisiensi operasional. Menurutnya, keterbukaan ini penting agar publik tidak curiga bahwa kenaikan iuran hanya disebabkan oleh buruknya tata kelola.
“Sebelum kebijakan ini diputuskan, DPRD DKI akan mendorong adanya forum dengar pendapat dengan pihak BPJS Kesehatan, Kemenkes, dan stakeholder lainnya. Kami ingin ada kejelasan dan kepastian hukum yang melindungi Hak Warga Jakarta,” tuturnya.
Menurut Kent, dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), keberlangsungan pelayanan kesehatan sangat bergantung pada kemitraan yang baik antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit.
“BPJS Kesehatan dan rumah sakit harus saling bersinergi, agar tujuan pelayanan kesehatan yang adil dan berkualitas dapat tercapai. Perhatian khusus ini bukan berarti memihak, melainkan membina, mendukung, dan mengawasi agar pelayanan terhadap peserta JKN berlangsung optimal. Jika BPJS Kesehatan mengabaikan peran rumah sakit, maka yang akan dirugikan bukan hanya institusi kesehatan, tetapi juga ratusan juta rakyat Indonesia yang menggantungkan harapan pada sistem JKN,” lanjut Kepala BAGUNA DPD PDIP DKI Jakarta ini.
Kent meminta BPJS Kesehatan untuk lebih aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana kenaikan iuran JKN. Banyak warga Jakarta, khususnya di wilayah padat penduduk dan masyarakat berpenghasilan rendah, yang belum mendapat informasi memadai tentang kebijakan tersebut. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan kebingungan, bahkan potensi tunggakan iuran yang lebih tinggi di kemudian hari.
“BPJS Kesehatan juga punya tanggung jawab moral dan administratif untuk memastikan seluruh warga, terutama peserta mandiri, benar-benar memahami alasan dan dampaknya. Saya mendorong BPJS Kesehatan dan juga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyampaikan informasi ini secara masif, baik melalui RT/RW, kelurahan, media sosial, hingga rumah ibadah. Kalau iuran naik tanpa sosialisasi yang cukup, masyarakat bisa merasa dibebani tanpa tahu alasannya. Ini bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap program jaminan sosial itu sendiri,” tegasnya.
Selain itu, Kent juga meminta BPJS Kesehatan untuk lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait jenis penyakit dan layanan kesehatan yang ditanggung dan tidak ditanggung oleh program JKN. Banyak warga Jakarta yang merasa bingung, bahkan kecewa, ketika layanan atau pengobatan tertentu tidak dijamin oleh BPJS karena kurangnya informasi.
“Saya menerima banyak keluhan dari warga yang merasa tidak mendapat pelayanan tertentu dari BPJS Kesehatan, padahal setelah ditelusuri, ternyata memang jenis penyakit atau prosedurnya tidak termasuk yang dijamin. Ini menandakan kurangnya sosialisasi. Masyarakat perlu tahu sejak awal, penyakit apa yang ditanggung, obat apa yang diberikan, dan kapan harus dirujuk. Jangan sampai baru tahu setelah ditolak atau harus bayar mandiri di rumah sakit. Ini bukan hanya soal teknis, tapi menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap sistem jaminan kesehatan kita. Sosialisasi harus jadi prioritas,” bebernya.
Kent pun menegaskan, Pemerintah Pusat dan Daerah termasuk Pemprov DKI Jakarta, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menjadi beban baru, tetapi justru menjadi langkah menuju sistem jaminan kesehatan yang lebih kuat, transparan, dan berkelanjutan.
“Masyarakat tidak menolak membayar lebih, asalkan dibarengi dengan layanan yang lebih baik, sistem yang lebih adil, dan kebijakan yang berpihak pada Rakyat Kecil. Suara warga Jakarta harus menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan. Kenaikan iuran tidak boleh sekadar hitung-hitungan fiskal, tapi harus menjadi cerminan dari keberpihakan negara terhadap hak dasar rakyat yang memang juga di atur di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat 1, yaitu kesehatan yang layak untuk semua warga negara,” pungkasnya.
Perlu diketahui, hingga saat ini pemerintah pusat belum mengumumkan secara resmi besaran kenaikan iuran maupun waktu pasti pemberlakuannya. Peraturan Presiden (Perpres) baru yang akan menjadi dasar hukum perubahan iuran masih dalam proses finalisasi.
(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini