Jakarta

    Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI, Taufik Basari mengatakan merefleksikan kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor 1 Tahun 2003 merupakan hal fundamental dalam mengatur status hukum ketetapan-ketetapan MPR sebelum dan sesudah perubahan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Hal itu diungkapkan dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

    “TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 ini merupakan produk penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Ia tidak bisa dilepaskan dari semangat reformasi 1998 dan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada periode 1999-2002,” kata Taufik dalam keterangannya, Rabu (17/9/2025).


    SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

    Dalam diskusi bertema ‘Evaluasi Keberadaan TAP MPR I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002’, Taufik menjelaskan bahwa TAP MPR tersebut menyusun dan mengelompokkan seluruh ketetapan MPR, mulai dari yang dicabut, masih berlaku, hingga yang berlaku sementara sampai terbentuk peraturan perundang-undangan baru.

    “Seringkali TAP MPR ini dilupakan atau dianggap tidak relevan. Padahal, di dalamnya terkandung nilai-nilai dasar yang masih sangat kontekstual dan aplikatif terhadap tantangan bangsa hari ini,” tegasnya.

    Taufik menambahkan publik kini mulai mempertanyakan arah dan praktik politik yang dijalankan para penyelenggara negara. Fenomena jarak antara rakyat dan penguasa, kritik terhadap kebijakan yang dianggap tidak aspiratif, hingga menguatnya oligarki, menjadi sinyal perlunya introspeksi bersama.

    “Kalau rakyat merasa amanahnya tidak dijalankan, berarti ada masalah serius. Kita harus kembali kepada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam TAP MPR, seperti etika kehidupan berbangsa, pemberantasan KKN, dan penguatan demokrasi,” ujarnya.

    Ia menekankan bahwa TAP MPR yang masih berlaku, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003, harus kembali dilihat relevansinya, bukan hanya secara legal, tetapi juga secara etis dan substansial.

    Taufik menilai, TAP MPR Nomor 8 Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), serta TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, memiliki relevansi kuat dengan kondisi saat ini.

    “Etika berbangsa itu bukan hanya untuk pejabat, tetapi juga untuk rakyat. Namun, penyelenggara negara memiliki tanggung jawab lebih besar untuk menjadi teladan,” tutur Taufik.

    Ia mengingatkan bahwa semangat reformasi 1998 adalah fondasi moral dari perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan lahirnya TAP MPR yang menjadi penuntun arah bangsa.

    “Kita tidak ingin kembali ke praktik otoriter, sentralistik, dan oligarkis. Sudah saatnya kita menegaskan kembali bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dijalankan berdasarkan konstitusi,” pungkasnya.

    Berantas KKN

    Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan, Martin Hutabarat menekankan pentingnya memahami kembali posisi MPR pasca-reformasi serta urgensi TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 yang menjadi dasar keberlakuan ketetapan MPR lainnya.

    “Setelah reformasi, kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Tapi TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 menyatakan masih ada beberapa TAP MPR yang berlaku, terutama yang belum diakomodasi dalam bentuk undang-undang. Ini penting untuk dipahami bersama,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Martin menilai bahwa meski sudah ada beberapa undang-undang yang mengatur pemberantasan KKN, regulasi yang ada belum komprehensif sesuai amanat TAP MPR tersebut.

    “Undang-undang kita hanya mengatur sebagian-sebagian, misalnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tapi TAP MPR menginginkan pemberantasan KKN secara menyeluruh,” katanya.

    Martin mengusulkan agar MPR mengambil inisiatif mendorong pemerintah dan DPR untuk merumuskan undang-undang yang mengadopsi isi TAP MPR yang masih berlaku.

    “Pimpinan MPR bisa menyampaikan kepada pemerintah dan DPR bahwa TAP-TAP ini belum dilaksanakan secara utuh. Jika nantinya sudah dituangkan dalam undang-undang, maka sesuai TAP Nomor I Tahun 2003, ketetapan itu bisa dinyatakan tidak berlaku lagi,” pungkasnya.

    (prf/ega)



    Source link

    Share.