Wakil Ketua Komisi I DPR, Sukamta, menyoroti soal transfer data pribadi yang disebut menjadi salah satu kesepakatan dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). Sukamta mengingatkan Pemerintah RI harus memerhatikan pijakan hukum terkait skema transfer data tersebut.
“Bahwa tim negosiator Indonesia jangan sampai menyetujui skema transfer data lintas batas tanpa adanya jaminan perlindungan hukum yang memadai, terutama karena AS belum memiliki undang-undang perlindungan data di tingkat federal yang seperti GDPR di Eropa, yang ada hanya UU PDP di beberapa negara bagian AS,” kata Sukamta kepada wartawan, Jumat (25/7/2025).
Menurut Sukamta, pemindahan data pribadi RI tidak hanya untuk kepentingan perdagangan. Namun, juga menyangkut kedaulatan digital dan keamanan nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Tim negosiator Indonesia harus memahami bahwa transfer data pribadi bukan sekadar isu perdagangan, melainkan juga menyangkut kedaulatan digital, keamanan nasional, dan keadilan ekonomi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sukamta mengingatkan pemerintah RI agar mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dalam menjalankan transfer data tersebut. Dia menyebutkan ada beberapa syarat yang harus dilakukan dalam transfer data, seperti syarat yang setara dan perlindungan hukum timbal balik.
“Mekanisme transfer data, harus tunduk pada UU PDP yang sudah kita miliki, seperti diatur dalam Pasal 56. Setiap transfer data ke AS harus disertai syarat yang setara, perlindungan hukum timbal balik, termasuk hak audit bagi otoritas Indonesia, dan kontrol penuh atas data strategis warga negara. Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka pengelola data pribadi harus memperoleh izin dari para subjek data untuk dilakukan CBDT (Cross Border Data Transfer),” katanya.
Sukamta mendorong tim negosiator Indonesia memahami konteks terkait mekanisme transfer data tersebut. Dia harap para negosiator dapat merundingkan persoalan transfer data secara lebih detail dan sesuai dengan UU PDP
“Salah satunya kita perlu menegaskan kedaulatan data (data sovereignty) dalam perjanjian guna memastikan bahwa data warga tetap berada dalam yurisdiksi hukum nasional, bahkan jika diproses di luar negeri, sebagaimana diatur dalam UU PDP Pasal 2. Dan ini juga sekaligus menjadi momentum bagi Indonesia untuk segera menyelesaikan penyusunan aturan-aturan turunan dari UU PDP, seperti Peraturan Pemerintah (PP) PDP dan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pembentukan Lembaga OPDP. Karena waktu pembentukan lembaga sudah terlambat 9 bulan dari seharusnya maksimal Oktober 2024 lalu,” katanya.
Sebelumnya, Kepala PCO Hasan Nasbi menanggapi soal salah satu poin kesepakatan dagang RI dengan AS, yakni transfer data pribadi RI ke AS. Hasan menegaskan pemindahan data pribadi RI ke AS hanya untuk kepentingan komersial, bukan pengelolaan data.
“Ini semacam strategi treatment management. Jadi kalau barang tertentu itu dipertukarkan misalnya bahan kimia, itu kan bisa jadi pupuk ataupun bom. Gliserol sawit itu kan juga bisa jadi bahan bermanfaat ataupun jadi bom. Pertukaran barang seperti ini butuh namanya pertukaran data supaya tidak jadi hal-hal yang di belakang nanti jadi produk yang membahayakan,” kata Hasan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (23/7).
“Jadi tujuan ini adalah semua komersial, bukan untuk data kita dikelola oleh orang lain, dan bukan juga kita kelola data orang lain. Kira kira seperti itu,” lanjutnya.
Halaman 2 dari 2
(fca/rfs)