Jakarta –
KPK menahan dua tersangka dari perkara pengadaan liquefied natural gas (LNG) atau Gas Alam Cair, Yenni Andayani (YA) selaku Direktur Gas PT Pertamina (Persero) (27 November 2014-2018 dan Hari Karyuliarto (HK) sebagai Direktur Gas PT Pertamina (Persero). Keduanya diduga memberikan persetujuan pengadaan LNG Import tanpa adanya pedoman pengadaan.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (31/7) menjelaskan pembelian LNG import ini dilakukan dengan penandatangan kontrak pembelian pada tahun 2013 dan 2014. Selanjutnya kedua kontrak digabungkan menjadi satu kontrak di tahun 2015.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asep menerangkan jangka waktu kontrak pembelian tersebut selama 20 tahun, pengiriman dimulai dari tahun 2019 sampai dengan 2039. Adapun nilai total kontrak sekitar kurang lebih USD 12 miliar sesuai harga gas pada saat itu hingga tahun berjalan.
“Bahwa tersangka HK dan YA, diduga memberikan persetujuan pengadaan LNG Import tanpa adanya pedoman pengadaan, memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi dan analisa secara teknis dan ekonomi,” terang Asep.
Tak hanya itu, pembelian LNG tersebut juga tanpa adanya ‘back to back’ kontrak di Indonesia atau dengan pihak lain. Hal ini pun berpengaruh terhadap LNG yang diimport tersebut tidak punya kepastian pembeli dan pemakainya.
“Faktanya, LNG yang di-import tersebut tidak pernah masuk ke Indonesia hingga saat ini, dan harganya lebih mahal dari pada produk gas di Indonesia,” katanya.
Selain itu, Asep juga mengungkapkan bahwa pembelian LNG ini tanpa adanya rekomendasi atau izin dari Kementrian ESDM. Padahal, kebijakan import Gas atau LNG harus ada penetapan akan kebutuhan Import dari Mentri ESDM dan rekomendasi sebagai syarat Import.
“Rekomendasi ini sangat penting untuk menjaga iklim bisnis migas di dalam negeri, karena saat ini Indonesia juga sedang mengembangkan daerah atau wilayah yang mempunyai potensi gas dapat segera diproduksi, agar dapat menghasilkan devisa dan penerimaan negara, seperti Masela, Andaman, Teluk Bintuni dan pengembangan beberapa blok Gas di Kalimantan,”
Tersangka HK dan YA juga diduga dengan sengaja melakukan pembelian LNG Import tanpa persetujuan RUPS dan Komisaris. Padahal pembelian LNG import adalah kontrak jangka panjang selama 20 tahun dan bukan kegiatan operasional rutin dan dengan nilai kontrak materil.
“Penyidik juga menemukan adanya dugaan pemalsuan dokumen persetujuan direksi, kemudian tidak ada pelaporan dokumen persetujuan direksi kepada komisaris yang merupakan kewajiban direksi sesuai dengan AD/ART PT pertamina (persero),” ungkap Asep.
“Dengan sengaja tidak melaporkan ke komisaris, baik rencana perjalanan dinas maupun perjalan dinas yang sudah selesai dari USA untuk penandatangan LNG SPA Train 2 Corpus Christi,” pungkasnya.
Kedua tersangka pun disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
(azh/azh)